on Senin, 05 September 2011


P
erkembangan dunia usaha dewasa ini sudah semakin berkembang lantaran aksesifitas penggunaan  teknologi yang semakin inovatif mendukung kegiatan transaksional menjadi lebih efisien. Efisiensi dalam ber-wirausaha pun  kini tak hanya sebatas ‘milik’ dunia nyata saja. Melainkan dunia maya pun sudah ‘ikut-ikutan’ berdifusi melakukan aktifitas transaksional. Bahkan, hanya dengan duduk ‘anteng’ didepan PC/laptop seorang pebisnis sudah mampu meraup untung/gain jutaan rupiah perharinya bahkan milayaran rupiah. Hal tersebut  dikarenakan, dengan semakin banyaknya akses untuk melakukan bisnis secara efisien, efektif dan murah meriah tentunya. Tak ayal,  kebanyakan pebisnis cenderung memilih kegiatan transaksi bisnis ‘dbalik layar (dunia maya).
Namun, transaksi bisnis dunia maya (online) atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-commerce ini, bukan tanpa celah. Seabrek polemik mengenai kegiatan transaksional (jual-beli) cukup membuat konsumen dan produsen dirugikan dan kalang kabut. Apalagi ditambah lagi dengan masih belum maksimalnya law enforcement (Penegakan hukum) kepada para pelaku tindak pidana kriminalisasi melalui dunia maya (cyber crime). Saat ini, mekanisme jual beli (transaksi) bisnis online hanya dengan ‘modal’ kepercayaan. Belum ada langkah konkrit untuk membuat transaksi elektronik ini benar-benar dipercaya serta memiliki legalitas dan kepastian/ketetapan hukum yang jelas dan mengikat (imperative).
Gambar 1.1 : Logo Facebook
Maka dari itu, kami (kelompok) kiranya perlu membahas mengenai kejahatan (midsrijven) melalui e-commerce dengan aspek/kajian yuridis normatif efektifitas UU No 8 tahun 1999 tentang pelindungan konsumen serta UU. No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) serta kajian yuridis sosiologis modus operandi kriminalisasi cyber crime.
Dalam kasus penipuan konsumen berkedok transaksi melalui dunia maya (e-commerce) yang dimuat dalam harian Sriwijaya Post, Minggu (5/3) 2011 tentang penipuan belanja online melalui media jejaring sosial facebook. Kami mengambil langkah-langkah ilmiah berupa reaserching berupa analisis UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi transaksi elektronik serta kajian yuridis sosiologis perlunya sebuah lembaga formal dalam struktural ketatangaraan di Indonesia untuk menangani hal-hal bersifat nisbi serta menindak tegas tindakan criminal dalam dunia maya (cyber crime). Dengan memberikan langkah preventif berupa pendataan secara regular usaha-usaha online dibawah main server berupa situs jejaring social, diharapkan nantinya dunia usaha melalui transaksi online ini bias menjamin hak-hak konsumen serta tidak ada pihak yang dirugikan atas kegiatan ini.
Dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan dalam pasal 1(1) ketentuan umum tentang definisi dari pelindungan konsumen. Yakni, segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Jelas, butir-butir yang tertera dalam pasal 1(1) bisa dimaknai sebagai representasi bahwa pentingnya Negara berkomitmen menjamin hak-hak konsumen dalam bertransaksi barang dan jasa dalam dunia usaha. Yang dimaksudkan dengan barang dan jasa dalam UU No. 8 tahun 1999 pasal 1 (4) menyatakan bahwa “Barang” adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Serta pasal1 (5) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Ditinjau dari kasus yang dialami seorang mahasiswi yang beritanya dimuat di harian Sriwijaya Post, Minggu (6/3) 2011 tatkala melakukan transaksi elektronik via media jejaring social, kronologisnya mahasiswi tersebut hendak berbelanja setelah mendapatkan tawaran menggiurkan berupa produk-produk elektronik yang mekanismenya produk-proudk tersebut ditawarkan dengan memberikan gambaran informasi berupa foto-foto yang kemudian dkirimkan ke akun korban dengan harga miring. Berbekal, kepercayaan dirinya kemudian berinsiatif untuk mencoba membeli produk yang ditenggarai distributor produk elektronik berupa laptop dan handphone tersebut berdomisili di Pulau Batam.
Secara normative, UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa dalam pasal 4 huruf (a) menyatakan hak konsumen adalah kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa. Kemudian dijelaskan lagi pasal 4 huruf (c), (d), (e), (f), (g), (h), (i), yakni  hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Disini tertera jelas bahwa secara yuridis normative, Negara telah menjamin hak-hak konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang dan jasa.
             
            Sesuai dengan data yang tertera dalam  pengakuan korban, kesimpulan yang masih berupa hipotesa berupa, pelaku usaha telah melanggar butir-butir ketentuan UU No. 8 tahun 1999 pasal 4 huruf (c) yakni hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan kondisi barang dan atau jasa. Maka dari itu, untuk meminimalisir kejadian serupa terulang rasanya perlu langkah preventif untuk mengantisipasi korban-korban kriminalisasi dunia maya ini terjadi untuk yang kedua kalinya.
            Dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik disebutkan dipembuka bahwa dalam ketentuan umum pasal 1 (9) berbunyi ” Sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara elektronik [Pasal 1 (10), (11)]. Sesuai dengan ketentuan undang-undang ITE, dalam kasus penipuan e-commerce tadi, konsumen termasuk kedalam statusnya sebagai subjek hukum dan distributor tersebut yang dapat dklasifikasikan sebagai pemegang status subjek hukum. Karena, dalam pasal 1 (6) disebutkan bahwa penyelenggaraan system elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat. Dalam kasus tersebut, kami mengklasifikasikan distributor produk elektronik tersebut sebaga subjek hukum karena dianalogikan bahwa penyelenggara system elektronik secara luas [dalam kasus ini, facebook] namun dideterminasikan sebagai individu pemegang sistem elektronik yang dikelola oleh badan usaha, orang dan/atau masyarakat [Pasal 1 (6)] maka pemilik akun facebook berupa distributor tersebut diklasifikasikan sebagai pemegang status subjek hukum dengan kategori badan usaha bukan berbadan hukum.
Gambar 1.2 : Transaksi Elektronik
            Dalam kasus penipuan tersebut, distributor telah melanggar ketentuan umum UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 9 (1) huruf (a) dan (d) mengenai pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang/jasa secara tidak benar atau seolah-olah. Distributor tersebut secara gambling telah melanggar transaksi perdagangan dengan memberikan janji fiktif kepada konsumen dengan mengiklankan produk usahanya secara meluas kepada khalayk melalui media jejaring sosial.
            Dalam kasus yang dihadapi mahasiswi tersebut, terindikasi bahwa telah terjadi pelanggaran perjanjian transaksi jual beli/e-commerce, antara distrtibutor dengan konsumen berupa serta langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi kejadian serupa dengan mempertimbangkan ketentuan yakni ;
1.      UU No. 8 tahun 1999 Pasal 4 (c) berupa konsumen berhak mendapatkan informasi secara jujur. Penulis menginterpretasikan melalui penafsiran hukum berupa penganalogian konstituen UU berupa “mendapatkan informasi secara jujur” yakni mendapatkan informasi secara jelas, terang-terangan, terbuka, legal (memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat mengikat/imperatif), mulai dari penjajakan barang dagangan, proses pembayaran, hingga sampainya barang yang dituju sesuai dengan informasi yang tertera. Maka dari itu, perlu langkah konkrit berupa kajian empirik untuk menanggulangi kasus serupa dengan memberikan  advise/saran/nasehat  berupa ‘setiap orang yang melakukan kegiatan usaha (transaksional barang/jasa) baik itu secara nyata maupun maya, baik itu badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha bukan berbadan hukum perlu mendaftarkan dan diawasi sebuah lembaga khusus yang berwenang membuat sertifikasi/akta yang sah dan memiliki kekuatan hukum yang bersifat tetap dan mengikat’. Hal ini direpresntasikan sebagai realisasi dari perlunya perlindungan hak-hak konsumen transaksi dunia maya yang seringkali dirugikan lantaran beluma adanya undang-undang yang mengatur untuk hal itu”.
2.      Mengesahkan RUU Badan pengawas telematika sebagai lembaga yang diotorisasikan menaungi semua pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat nisbi/maya. dalam kasus mahasiswi tersebut, relevansinya adalah dalam kegiatan transaksi melalui dunia maya hal tersebut adalah untuk menanggulangi tindakan criminal dalam dunia maya dan
3.      Mewajibkan setiap badan usaha/melakukan kegiatan usaha yang bersifat nyata/maya (anitnomi) yang menyelenggarakan sistem transkasi elektronik mesti mendaftarkan diri tentang riwayat dan dokumen perusahaan (baik itu badan hukum atauapun bukan berbadan hukum) sesuai dengan ketentuan UU No. 8 tahun 1997 serta setiap penyelenggara system elektronik baik itu Negara, orang, masyarakat mesti disertifikasi oleh lembaga keandalan sesuai dengan ketentuan UU No. 11 tahun 2008 untuk mengantisipasi kekosongan hukum (rechtsvacuum) terhadap tindak kejahatan melalui dunia maya berupa penipuan transaksi online melalui situs jejaring social.
4.      Apabila, setiap usaha/kegiatan usaha baik itu yang sifatnya nyata/maya telah mendapatkan legalitas yang sah menurut hukum positif Indonesia, maka dari itu konsumen akan akan dengan segera mendapatkan hak-haknya sebagai subjek hukum untuk menggugat pelaku usaha tersebut ke meja peradilan. Hal ini, bertujuan untuk melindungi konsumen agar tidak terjerat dengan pelaku-pelaku usaha nakal yang mencuri hak-hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi.  
5.     Pasal 45 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

 
BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang

Dalam perkembangan secara kontemporer, Negara terus-terusan mengalami evolusi yang luar biasa dalam mengakomodir kepentingan rakyat didalamnya. Unsur-unsur Negara yang menyebutkan rakyat sebagai salah satu bagian didalamnya menyatakan secara jelas bahwa Negara dan rakyat adalah dua mata pisau yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
Ditinjau dari sisi hukum, identifikasi Negara dikenal dengan sebutan Negara jaga malam. Pada tipe ini Negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata lain Negara jaga malam. Pemerintahan yang bersifat monarki absolute.[1]
Tak pelak, dalam pelaksanaan tugas kenegeraan yang lebih efisien maka dibentuklah beberapa macam bagian penting dalam system ketata negaraan dalam mewujudkan efisiensi praktik ketata negaraan. Indonesia, mengantu teori Monstesque yang membagi kekuasaan dalam ketiga bidang. Yang pertama Montesque memperkenalkan lembaga legislative. Inti dari pembentukan lembaga ini adalah mewujudkan konsepsi Negara hukum dengan wadah yang lebih representative dalam sebuah badan legislasi. Yang kedua, lembaga eksekutif. Lembaga ini bisa dibilang merupakan organ vital dalam susunan kekuasaan. Biasanya, eksekutif memegang posisi sebagai kepala Negara/daerah/wilayah. Dan yang ketiga adalah lembaga yudikatif, lembaga ini memproporsikan sebuah kepastian hukum akan adanya sebuah lembaga khusus yang membidangi masalah indisipliner subyek hukum dalam sebuah Negara. Selain itu, sebenarnya ada banyak pilihan teori yang dapat diimplementasikan di Indonesia. contohnya saja, pakar hukum asal Belanda Van Vollen Hoven yang mengkonsepsikan pembagian kekuasaan dengan nama catur praja. Selain itu, Good Now turut pula menyumbangkan pola pemikirannya dalam kedua konstelasi teori pembagian kekuasaan dalam Policy Making dan Policy Executing[2].

B.     Rumusan Masalah
Lembaga kepolisian yang dalam UU Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 disebutkan sebagai sebuah Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam
menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat[3]. Dalam rumusan undang-undang yang termaktub secara dekonstruktif dalam UU No 2 Tahu 2002 disebutkan  bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

C.    Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini ialah salah satu pemenuhkan kebutuhan informasi public dalam menyikapi posisi lembaga kepolisian dalam struktur tata Negara Indonesia. sejauh mana implikasinya terhadapa kemanan dan ketertiban di Indonesia, sejauh mana lembaga tersebut mampu mengeksaminasi dan mereduksi tindak-tindak pidana yang dapat merugikan khalayak ramai[4].

D.    Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh makalah ini :
1.      Melakukukan pendekatan secara kualitatif mengenai penguatan aspek hukum lembaga kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
2.      Melakukan studi pustaka yakni penelusuran literature hukum. Seperti melakukan pedekatan bahan hukum primer seperti : KUHP, KUHAP, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya diluar KUHP dan KUHAP. Kemudian bahan hukum sekunder seperti, buku-buku.























BAB II
Pembahasan
I.  Pendahuluan
Pasukan Polisi Republik Indonesia
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai operasi militer bersama-sama kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.
Hanya empat hari setelah kemerdekaan, tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan polisi ini segera mengganti nama menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia yang sewaktu itu dipimpin oleh Inspektur Kelas I Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotisme seluruh rakyat maupun persatuan bersenjata lain yang patah semangat akibat kekalahan perang yang panjang.
Tanggal 29 September 1945 tentara Sekutu yang di dalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda menyerbu Indonesia dengan alasan ingin menghalau tentara Jepang dari negara tersebut. Pada kenyataannya pasukan Sekutu tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Oleh karena itu perang antara sekutu dengan pasukan Indonesia terjadi di mana-mana. Klimaksnya terjadi pada tanggal 10 November 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya". Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun diperingati oleh rakyat Indonesia.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat perwiranya mampu menggetarkan dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih melihat eksisnya bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Kini tugas Polri yang utama ialah menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri, Polri juga semakin sibuk dengan berbagai operasi, seperti Operasi Ketupat menjelang Idul Fitri, Operasi Lilin menjelang Natal, dan lain-lain[5].
II.                Peran Polri
Dalam ketentuan UU No 13 Tahun 1961 jo. UU No 2 Tahun 2002 Polisi Republik Indonesia diberi mandat oleh undang-undang berupa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[6] Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas [7]:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani olehinstansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan tugas dan wewenang yang djamin oleh undang-undang ini Polri ini tentu mengisyaratkan adanya sebuah peran besar dalam menjaga ketertiban umum. Namun, secara kontekstual  berdasarkan survey yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) imparsial dengan menggunakan  metode multiple random sampling(MRS)[8] mengindikasikan persentase yang begitu besar terhadap ketidak puasan masyarakat terhadap kinerja kepolisian akhir-akhir ini. LSM Imparsial memproporsikan kasus korupsi sebagai bidang yang paling tidak dipuasi oleh masyarakat dengan persentase sebesar 78 % menyatakan tidak puas. Selain itu, penanganan masalah terorisme menjadi aspek kedua ketidak kapabelan peran Polisi dalam mengamanatkan konstitusi.
Padahal dalam ketentuan Undang-undang No 2 Tahun 2002 termaktub dalam Bab V tentang pembinaan profesi kepolisian dalam Pasal 31-32[9].  Dalam ketentuan pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. Sebagai sebuah lembaga yang diamanatkan dalam konstitusi sebagai penjaga stabilitas keamanan Negara terhadap isu-isu nasional yang tengah menggema. sudah seharusnya Polri melakukan penguatan aspek hukum terhadap kredibiltas mereka sebagai sebuah lembaga penegak hukum.
III.             Penguatan Aspek Lembaga Kepolisian
Ada banyak pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam menganalisis keberpihakan hukum terhadap masyarakat. Roscoe Pound sebagai penganut aliran Sosiologi Hukum menyebutkan ada lima poin utama yang mempengaruhi komposisi hukum itu sendiri.
Independenitas Kepolisian, menjadikan lembaga kepolisian sebagai sebuah lembaga hukum yang bebas interventif terutama lembaga-lembaga penegak hukum juga membawa akibat besar dalam sistem hukum. Intervensi terhadap kekuasaan yudikatif misalnya, membuat kepercayaan rakyat terhadap kredibilitas kepolisian menjadi semakin buruk. Oleh sebab itulah, kepolisian seharusnya lepas dari segala hal yang berkaitan dengan campur tangan lembaga Negara lainnya seperti eksekutif dan legislative dalam setiap penyelenggaran ICJ (Integrated Criminal Justice) karena sebagai sebuah lembaga yang memiliki kekuatan Super Power secara konstitusional membuat penguatan aspek indenpendenitas kepolisian menjadi satu hal yang urgensif.  
Akuntabilitas Kepolisian. Independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi uang logam. Oleh karena itu independensi kepolisian harus disertai dengan akuntabilitas. Namun demikian dalam praktek, pengaturan tentang akuntabilitas kepolisian tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya. Hal yang demikian telah memberikan kesan tiadanya transparansi di dalam semua proses hukum. Terutama dalam kasus-kasus yang sedang hangat akuntabilitas dalam setiap proses penyidikan kepolisian harus akuntabel dalam menginformasikan kepada publik.
SDM Kepolisian. Proses rekrutmen terbuka yang lebih akomodatif akan justru membuat lembaga kepolisian menjadi salah satu lembaga penegak hukum yang dipercaya. Kepolisian harus menjunjung tinggi asas integritas kepolisian dengan mengabaikan interest pribadi dalam merusak system kualifikasi perekrutan calon anggota kepolisian. Dengan perbaikan-perbaikan system kualifikasi calon anggota kepolisian menjadi lebih transparan akan jauh membuat peran kepolisian menjadi lebih dipercaya. Selain itu, pembinaan profesi Polisi harus terus dilaksanakan secara berkesinambungan demi menjaga nama baik korps hitam-hitam dalam menjaga stabilitas Negara dengan lembaga-lembaga lainnya.
Budaya Hukum, tumbuhnya degradasi kesadaran hukum antara rakyat dengan kepolisian menjadi noktah hitam ketidak kompetensian lembaga penegakan hukum sekaliber Kepolisian tidak dipercayai masyarakat. Budaya hukum yang kondusif akan membuat kepercayaan masyarakat menjadi semakin meningkat. Sudah menjadi sebuah hal yang lumrah bila Polisi kerap dikaitkan sebagai tukang jagal. Untuk merubah itu, tentu Polisi harus memiliki integritas dan komitmen yang tinggi dalam menjunjung visi keorganisasian.
Kerja Sama Antar Lembaga, penguatan aspek strategis bargaining position Polri dalam menanggulangi kasus-kasus dalam negeri dan mengeskalasi kepercayaan rakyat terhadap kepolisian dapat pula dilakukan dengan jalan koordinasi antara lembaga. Contoh paling baik yang dilakukan oleh kepolisian adalah ketika menyidik kasus Nazaruddin yang menyingkap beberapa isu besar membuat peran Polri dapat dikatakan sangat strategis. Kerjasama antar lembaga kepolisian sedunia atau Interpol adalah salah satu cara Polri menjaga dan memelihara stabilitas Negara.


[1] Prof. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1989
[2] Ibid. Hlm 85
[3] Pasal 1 Ayat (5) UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[4] Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia
[6] Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002
[7] Pasal 14 UU No 2 Tahun 2002
[8] http://news.okezone.com/read/2011/07/18/337/481085/survei-kinerja-terbaik-polisi-cuma-tangani-teroris
[9] Pasal 32 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2002