on Sabtu, 31 Desember 2011
Gettyimages
Kehadiran sejumlah program pelaksanaan terpadu dari perusahaan-perusahaan multi nasional setidaknya membantu dalam program pengembangan sumber daya manusia lokal, utamanya mahasiswa. tak heran, melalui program Coprorate Social Responsibility (CSR) perusahaan mengembangkan sayap dan melirik kampus dalam memenuhi tanggung jawab sosial. banyak perusahaan multi nasional yang beroperasi dan berbasis di Indonesia membagikan beasiswa kepada mahasiswa. rasio yang diberikan jelas berbeda dengan beasiswa sekolah di luar negeri yang terhitung jor-joran. penyaluran dana efektif mahasiswa berupa beasiswa penginkatan prestasi dialokasikan secara terbatas. lazimnya tak melewati angka 3 jutaan per tahunnya.

Upaya menghibahkan sejumlah uang tentunya bertujuan untuk mencoba mengembangkan daya finansial mahasiswa dalam menjangkau sejumlah persediaan materil bagi terciptanya insan yang kredibel. mahasiswa diharapkan dan diarahkan dalam program pengembangan wawasan intelektual lewat beasiswa. seperti halnya dalam mencari sumber refrensi literatur yang dapat dijadikan rujukan penerima beasiswa dalam program pengembangan wawasan intelektual.

Sejumlah perusahaan bahkan eksis dalam mencoba menyalurkan program beasiswa peningkatan prestasi akademik mahasiswa. institusi perguruan tinggi tempat mahasiswa bernaung pun turut pula memberikan sejumlah beasiswa bagi mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan. Sebagai contoh paling aktual, Universitas Sriwijaya. institusi perguruan tinggi negeri terbesar di kawasan Sumatera Selatan ini memberikan beragam penyaluran program beasiswa bagi mahasiswa. (lihat : Beasiswa Unsri). bagi calon mahasiswa saja, sudah disediakan beragam beasiswa dalam menempuh pendidikan di Unsri. I-MHERE, PPA, BBM, BUMN, dsb merupakan wujud dari pelaksana teknis insititusi pendidikan dalam menggembleng insan akademis yang benar-benar memiliki kredibilitas tinggi.

Tak hanya itu, sejumlah tawaran magang kerja/double degree dengan sejumlah universitas lokal papan atas dan luar negeri turut pula disediakan. Semua itu bertujuan untuk mensejajarkan mahasiswa Unsri menjadi lebih kompetitif dalam kompetisi global. Yang tentunya, hal tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang termaktub dalam Tri Dharma perguruan tinggi. konkritisasinya, sebagai upaya peningkatan mutu kualitas institusi perguruan tinggi (lihat : Akreditasi Nasional).

kendati demikian, isu hangat yang beredar dalam dunia institusi pendidikan konvergen dengan sejumlah kebiasaan hedonis mahasiswa dalam mendaya gunakan sejumlah uang yang diterima lewat program beasiswa. sudah banyak ditemukan indikasi pelanggaran perjanjian hitam diatas putih mahasiswa penerima beasiswa dengan kenyataan dilapangan. secara yuridik, tak ada ketentuan yang menyatakan tindakan mahasiswa dalam mempergunakan sejumlah uang yang diterima melalui program beasiswa. tidak ada sanksi administratif, akademik, apalagi pidana yang meregulasi aturan yang secara khusus menghukum mahasiswa menyalahgunakan uang program beasiswa. namun, tanggung jawab dan beban moril yang diemban seharusnya dapat dikontemplasikan segenap mahasiswa agar supaya uang tersebut memang dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan serbijak-bijaknya. 

seringkali mendengar temuan kabar miring yang secara spontan mengafirmasikan asumsi saya diatas. banyak mahasiswa dengan santai merincikan sejumlah program yang memuaskan hasrat pribadi penerima beasiswa. tak ada kaitannya dengan pengembangan wawasan intelektual. alih-alih malah mempergunakan uang beasiswa untuk membeli buku/koleksi refrensi yang aktual, malah dipergunakan untuk menyalurkan naluri hedonisme yang semakin instingstual. bak kehausan, uang program beasiswa dilalap habis yang masuk ke rekening penerima beasiswa. bahkan, saking seringnya mengambil uang secara penuh dari alokasi dana beasiswa yang mengucur ke kantong mahasiswa, sub-kemahasiswaan rektorat Unsri seringkali mendapati keluhan mahasiswa yang mengganti nomor rekening lantaran rekening lama yang dipergunakan sebagai transit uang beasiswa menuju kantong pribadi mahasiswa ditarik seluruhnya (baca : penarikan seluruh jumlah uang beasiswa). sehingga, hal itu berimplikasi pada tutup bukunya rekening atas nama penerima yang lama tak disentuh lantaran ketika uang pencairan beasiswa langsung ditarik dan saldo menjadi nol.

sembari melirik kesusah payahan dan jerih memeras keringat saudara-saudara kita yang banting tulang mencari uang Rp 10.000,-. seharusnya kita dapat lebih bijaksana dan merenungkan betapa susahnya mencari uang di bumi Allah. Betapa berartinya uang puluhan ribu bagi saudara-suadara kita yang hingga kini tengah berjuang melawan kerasnya rimba jalanan yang saban hari sewaktu-waktu dapat merenggut keselamatan jiwa mereka. berkeluh kesah merintih nasib orang lain tentu memilik makna dalam ketika aksi nyata dilakukan. berniat untuk membantu sesama pun sudah mendapatkan nilai dimata Allah. bukankah, Allah maha mengetahui hati-hati seseorang ? beasiswa oh beasiswa .. 

Puslitbang Lembaga Pers Mahasiswa Media Sriwijaya




on Jumat, 30 Desember 2011
Dipenghujung tahun 2011 ini pemerintah mengeluarkan kebijakan populis dalam mendata jumlah penduduk di Indonesia. seiring dengan konsep electronic government yang diterapkan pemerintah, digitalisasi berbagai sektor kehidupan perlu diperuntukan. Utamanya, terkait dengan kependudukan.

Semakin besarnya jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun membuat pemerintah kewalahan dalam menyusun statistik kependudukan secara konvensional. Maka, diimplementasikanlah digitalisasi manajemen kependudukan melalui proyek massal pemerintah, berupa elektronisasi data kependudukan di wilayah Indonesia. tak hanya itu, nantinya diharapkan melalui proyek ini tidak akan ada lagi penyalah gunaan identitas kependudukan yang kerap terjadi belakangan ini.
Tren Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun


Lantaran, implikasinya yang secara serius dapat mengancam stabilitas negara maka pemerintah dirasa perlu mempergunakan elektronisasi data kependudukan yang dapat didata secara efektif dan efisien bilaman terdapat kejanggalan. kendati demikian, penggunaan e-KTP jelas bukan tanpa celah. semakin maraknya kejahatan diwilayah mayanita (baca : cyber crime) jelas menjadi ancaman serius pelanggengan proyek ini. apalagi, secara statistik, sebutan lazim bagi para pelaku kejahatan dunia maya (baca : cracker atau hacker) di Indonesia mengindikasikan keprihatinan mendalam. betapa, warga masyarakat Indonesia menempati urutan ke-enam dunia dengan total hacker terbanyak sedunia. 

Dengan kondisi ini, pemerintah jelas harus memiliki pertahanan yang solid dalam meretas 'si peretas'. tujuannya, dapat memblok hacker masuk dalam sistem jaringan (baca : server) yang menjadi pusat data kependudukan. 

SIN
Namun, dibalik semua itu pemerintah jelas membawa angin segar lewat kebijakan ppopulisnya. sebenarnya, bila dikomparasikan dengan negara-negara lain, negara-negara luar telah dengan baik melacak sistem keamanan agar sekuritas server basis data kependudukan dapat aman dan kerahasiaan dokumen penting negara tetap orisinal. itu semua perlu membutuhkan dukungan ekstra pemerintah untuk berkomitmen membuat kebijakan yang benar-benar matang dan terkonseptual secara sistematis. tujuannya jelas dalam mengantisipasi segala bentuk tindakan kriminal yang dapat mengancam stabilitas negara. 

Dibalik itu semua, pemerintah jelas mempunyai misi mulia lewat program e-KTP. penggunaan metode single identity number diupayakan agar warga Indonesia memegang satu nomor identitas yang digunakan seumur hidup. selain itu, hal ini mengantisipasi tindakan KTP ganda yang marak terjadi. isu-isu nasional seperti terorisme, koruptor dsb bermula dari pemalsuan identitas yang dapat mengancam stabilitas negara. secara yuridik, KUHP jelas memberikan ancaman serus terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan perbuatan melanggar hukum seperti yang termaktub dalam pasal 263 KUHP :

"(1) Barangsiapa membuat surat palsu memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebesan utang,atau yang diperuntukkan alat bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun"

"(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika surat itu menimbulkan kerugian"
Senada dengan KUHP, UU Administrasi Kependudukan No 23/1992 lebih terang menjelaskan mengenai sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan pemalsuan identitas. dalam pasal 97 disebutkan :
"Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)"

Berikut alur pelaksanaan program e-KTP yang telah dilakukan hampir diseluruh wilayah Indonesia. 
  1. Pemotretan
  2. Tanda tangan digital ke-1
  3. Scanning 4 Jari Kanan
  4. Scanning 4 Jari Kiri
  5. Iris Mata
  6. Scanning Telunjuk Kanan
  7. Scanning Telunjuk Kiri
  8. Tandang tangan digital ke-2
Berikut syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan pengambilan pembuatan e-KTP secara gratis :
  • Membawa undangan/Surat panggilan pembuatan e-KTp (tiap kepala keluarga dari tiap-tiap domisili mendapatkan satu surat undangan berupa panggilan pembuatan e-KTP. dalam surat tersebut tertera nama-nama yang memenuhi syarat dalam pembuatan e-KTP)
  • Membawa KTP lama
  • Menyerahkan KTP lama dan surat undangan yang ditanda tangani dan distempel oleh petugas
  • Wajib mencermati KTP yang tertera dalam chip
  • Verifikasi sidik jari
  • bila Verifikasi sesuai maka e-KTP berhasil. bila verifikasi tidak sesuai maka e-KTP gagal.
Prosedur Permohonan E-KTP


















on Rabu, 28 Desember 2011

IST
Semakin mengerucutnya persaingan dagang antar beberapa vendor terkenal dunia memunculkan idiom baru bahwa, kini teknologi tengah mencapai titik kulminasi tertinggi pencapaiannya. Tak ayal, ketika persaingan industry berujung pada gulung tikarnya perusahaan lantaran mencoba menduplikasi penemuan teknologi vendor saingan.
Vendor kawakan asal Paman Sam dan Negeri Ginseng menjadi buah bibir ketika, Apple.Inc menuding Samsung meniru produk ciptaannya, I-Pad lewat Samsung Galaxy. Namun, Samsung.Inc berkilah dan justru malah balik menuding Apple meniru spesifikasi teknologi unggulan Samsung. Perseteruan antar kedua pabrikan besar teknologi di dunia ini dianggap sah-sah saja. Lantaran, persaingan bisnis orang rela melakukan apapun sekalipun itu fitnah.
Lantas, di Indonesia kasus serupa menyemai dunia teknologi dalam negeri. Tatkala, Blackberry membumi di Indonesia, banyak vendor-vendor telepon seluler (Ponsel) meniru desain industry, fitur, bahkan merek vendor asal Kanada tersebut. namun, sejauh ini belum ada indikasi RIM (Researc In Motion) menggugat vendor Ponsel medioker asal Indonesia terkait dengan indikasi pelanggaran kekayaan intelektual RIM.
Merek, desain industri, merupakan bagian dari reputasi industri dalam proses marketing label. Membumikan merek dan desain indsutri menjadi demikian penting dalam membangun brand image yang ikonabel dan identik. Banyak cara yang dapat dilakukan demi membangun brand image produk, (i) Periklanan,(ii) Pemasaran, dan (iii) Produktifitas. Ketiganya diharapkan mampu membangun identifikasi produk secara lebih sepsifik.
Untuk itulah, reputasi bisnis yang tak melulu menjadi persoalan bisnis semata perlu mendapatkan perlindungan hukum termasuk upaya hukum dalam mengatasi pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual. Sebenarnya, Indonesia punya beberapa produk hukum yang menjadi sumber hukum formil Hak atas Kekayaan Intelektual. Lebih jauh, daya hukumnya ditenggarai jauh lebih kuat lantaran beberapa produk legislasi merupakan hasil ratifikasi WIPO (World Intelectual Property Organization), TRIP’s dan beberapa traktat lainnya.
Tak pelak, hal ini menimbulkan sejumlah tanda tanya kaitannya dengan duplikasi vendor Ponsel lokal dengan brand interlokal. Belum tersentuhnya upaya hukum dan analitisnya praktisi hukum menyikapi persoalan demikian menjadi tanda tanya besar akan keprofesiannya. Padahal, vendor Ponsel lokal tidak isolatif dalam memasarkan produknya. Tak ada urusan bagi praktisi/akademisi hukum untuk tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya sangat urgen tersebut.
Lantaran, kekayaan intelektual merupakan sebuah karya yang secara substantif muncul dari daya cipta, rasa dan karsa sang empunya. Penghargaan dalam mengapresiasi karya yang sifatnya immaterial tersebut tentu tak dapat diukur dengan uang. Dengan memberikan perlindungan hukum lewat Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah bukti komitmen pemerintah dalam menghargai invensi saintifis.
on Minggu, 25 Desember 2011

Google/IST
Indonesia kini dihadapi pada masalah denasionalisasi yang bermula pada dehumanisasi yang memicu pergolakan pembebesan sejumlah daerah dari NKRI. Kendati, gerakan-gerakan separatis yang muncul di berbagai daerah bukan menjadi hal baru, akan tetapi persoalan klinis yang akut akan nasionalitas setiap individu terdiagnosis rapuh.
Implikasinya, kebanyakan dari mereka mencoba mengorganisir diri dengan membentuk perkumpulan/organisasi yang mengusung satu visi yang sama. Tak ayal, Organisasi Papua Merdeka menjadi sedikit gambaran nestapa manajemen manusia Pemerintah RI. Persoalan pembangunan memicu rawannya krisis nasionalitas diwilayah perbatasan dan pelosok Bumi Pertiwi.
Sulit untuk dibayangkan, bilamana pemerintah akan menemui posisi rumit ketika menghadapi Papua dan kemudian berlangsung secara paralel di seluruh penjuru negeri. Jakarta, yang selama ini diusung sebagai tombak berbagai sektor kehidupan akan diterpa gejolak tak tertahankan yang merapuhkan ikatan erat jembatan sosial masyarakat Indonesia.
Sebelum semua mosaik cerita kayangan tersebut terwujud, akankah Jakarta ‘Bertobat’ dan sedikit berwelas asih layaknya Dewi Kwan Im dalam serial Sun Guo Kong kepada daerah-daerah penyangga stabilitas nasional?
                Belum lepas dari ingatan kita betapa pembantaian sadis yang dilakukan sejumlah oknum yang ditenggarai persoalan bisnis di Mesuji, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Polisi merilis ‘hanya’ Sembilan nyawa melayang dalam peristiwa persoalan agraria tersebut. wilayah yang dibagi oleh Sungai Sodong menjadi Kecamatan Mesuji untuk wilayah Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan untuk wilayah utara dan Kabupaten Mesuji, Lampung Timur, Lampung untuk wilayah selatan.
Google/IST
                Isu pelanggaran Hak Asasi Masyarakat (HAM) di wilayah setempat santer terdengar. Sengketa tanah antara warga dan Perusahaan perkebunan milik PT BMSA dan PT Silva memicu pergolakan yang menukik tajam. Video pembantaian dirilis di Youtube dan mendapatkan respon yang mengancam nasionalisme masyarakat. Betapa, bangsa ini disulap bak bangsa bar-bar. Ketika permasalahan  harus diselesaikan dengan cara yang represif tanpa pikir panjang. Semangat Pancasila tak lagi menjiwai nurani warga. Kanibalistiskah kita ?
                Serupa dengan peristiwa diatas, kasus Ahmadiyah yang sempat menjadi isu global turut pula mewarnai perjalanan negara ini. ketika kita tengah berada dalam kapal pecah yang tengah terombang-ambing dalam lautan lepas. Perlahan, Filsuf Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” menampakan kebenarannya. Ditengah kondisi yang serba sulit dan urgensi kita ‘dipaksa’ untuk tetap bertahan hidup dan berkompetisi mengalahkan yang lainnya kendati dengan strategi kotor sekalipun. Kapitaliskah kita ?
                Jurang pemisah si-kaya dan si-miskin sebagai resonansi dari stratifikasi sosial yang begitu segegatif di Indonesia duduk manis menceriterakan kelamnya bangsa ini. kendati, statistik menyebutkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk yang begitu seignifikan dalam rasio penduduk usia kerja, tak mampu menggiring peningkatan perilaku produktif masyarakat. Masyarakat kalangan menengah keatas digiring dalam sistem neo-liberal yang konsumtif sebagai akibat dari kebijakan perdagangan bebas yang diimplementasikan pemerintahan Indonesia. Konsumtif dan Oportuniskah kita ?

Monopoli Ekonomi Memicu Denasionalisasi
                Free trading malah bukan memicu lesunya Usaha Mikro, Kecil Menengah (UMKM) menjadi lebih bergairah.  Akan tetapi, malah menggulung tikar lepak mereka dan bahkan mematikan usaha mereka. Pemerintah terlalu asik dalam persoalan korupsi yang sebenarnya tak pernah menemui titik temu. Culaskah pemerintah ?
                Bila diakumulasikan, problematika perjalanan bangsa ini dapat dikatakan over limit. Negara ini makin dekat dengan potensi indeks negara gagal (Failed States Index). Konsumtif, kanibalistis, opurtunis, kapitalis, dan culas menjadi deskripsi bangsa ini. ekstrim ? tidak juga. Fakta dilapangan yang menyusun kesimpulan demikian. entah, harus memulai dari mana. Ketika orang justru banyak mengingatkan kepada kita bahwa delta perubahan besar itu bermuara dari perubahan kecil. Umpamanya, dimulai dari diri sendiri. namun, hal tersebut jualah yang justru menjadi boomerang ketika pribadi diri sendiri tak mampu mengontrol nasihat mengingatkan orang lain. Jamrud khatulistiwa dilanda krisis ? siapa yang memulai ? dan, siapa yang akan mengakhiri ? haruskah Tuhan mengirimkan bencana yang menimpa Kaum Nabi Luth hingga Tuhan memulai kembali dar nol kehidupan yang damai dan tenteram. Who knows ?
               
               

Bung Karno pernah mengungkapkan dengan pameo terkenal seantero negeri dengan sebutan "Jas Merah", "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah". ungkapan secara verbal yang dilontarkan oleh founding father bangsa ini secara tersirat terkandung makna bahwa Sejarah adalah bagian penting dalam kehiudpan manusia. dengan adanya sejarah, pigura dunia dengan lukisan abstrak didalamnya menjadi lebih berwarna dan sedap dipandang mata. menyejukkan kalbu dan menghantarkan ketenangan jiwa. 
namun, pelik rasanya bila mengkondisikan titah sepeninggal sejarah di Indonesia. hegemoni Belanda yang menjajah nusantara selama hampir 350 tahun lamanya, meninggalkan peradaban besar dan maha karya luar biasa. mulai dari sistem pendidikan, sistem hukum, sampai bangunan artistik khas Eropa yang kental dengan ornamen Indah nan menawan. 


sayangnya, warisan besar dari bangsa Belanda itu tak serta merta membuat Indonesia semakin kaya. sstem hukum yang notabene merupakan warisan besar kerajaan Belanda yang memberlakukan asas konkordansi sistem hukum Belanda di Indonesia (dulu Hindia Belanda) tak dinyana malah membuat sistem hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini corat-marut. penafsiran pasal demi pasal yang asal-asalan, penyusunan bab per bab undang-undang yang kurang peka dengan realitas sosial membuat banyak produk hasil legislasi nasional menjadi SPAM bagi masyarakatnya sendiri. seperti halnya dengan UU Ketenagakerjaan (No. 13 tahun 2003), UU Pertanian dsb. 
lalu, keberadaan bangunan-bangunan klasik khas Belanda yang artistik turut pula menjadi korban ketidak pedulian bangsa ini akan sejarah panjang yang dialami bangsa ini pada masa lampau. kebanyakan dari gedung-gedung tua tersebut adalah warisan sejarah yang telah usang.


Sebagai contoh kecil, keberadaan gedung-gedung tua arsitektur Belanda di wilayah Tangga Buntung, dekat landmark-nya kota Palembang, Jembatan Ampera. gedung-gedung tua yang artistik tersebut sungguh miris untuk diungkapkan dengan kata-kata. padahal, didalamnya tersimpan pesona budaya akan peradaban masa lampai yang begitu membahana. namun, pada kenyataannya. keberadaan gedung-gedung tua tersebut banyak yang menjadi tempat tinggal (maaf) gelandangan ataupun menjadi saksi bisu kemegahan bangunan Ampera yang terawat dengan laik dan menarik. tak pelak, seolah saya menangkap kegalauan gedung-gedung tua tersebut dengan tangisan dan kegundahan bahwa 'mereka pun ingin hidup'. 

tak ayal, sempat terlintas dalam benak pikiran. bila gedung-gedung tua tersebut bisa bicara, saya yakin mereka akan berdemonstrasi menuntut persamaan hak dengan keberadaan gedung-gedung baru yang lebih futuristik. kesenjangan lapisan sosial masyarakat Indonesia turut pula mempengaruhi kesenjangan bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal peradaban manusia. kebanyakan dari kita, malah mengagung-agungkan bangunan modern nan futuristik yang minim gas buang atau bahkan berbentuk aero dinamis dan tahan gempa. padahal, bangunan-bangunan klasik yang artistik tersebut justru malah memberikan warna cerah dalam lukisan abstrak peradaban manusia. terang saja, keberadaanya yang tinggal dimakan zaman, membuat dirinya seharusnya menjad warna putih ditengah hitam pekat lukisan abstrak peradaban dunia. namun, apa daya. pecnta budaya tak punya daya untuk menghidupkan kembali bangunan klasik yang berdiri di kota Palembang.harapannya kedepan, bangsa ini lebih apresiatif terhadap warisan besar bangsanya. dan untuk kembali mengingatkan kita semua bahwa sejarah adalah bagian indah dalam kehidupan manusia. katakan 'JAS MERAH'.

on Sabtu, 24 Desember 2011

Majalahfranchise.com
Menjamurnya bisnis waralaba mengindikasikan betapa bisnis ini sangat baik untuk dijadkan sebagai ladang investasi yang menarik. Pangsa pasar dan urgensinya kebutuhan bahan pokok masyarakat yang semakin meningkat, membuat sejumlah pengusaha ‘terpaksa’ memutar otak agar bisnis waralaba ini mampu menjangkau seluruh elemen masyarakat.
Tak menyoal apakah dia jetset atau jelata, tak menyoal dia borjuis atau proletar. Yang jelas, ada uang ada barang. Mereka punya uang, kami siap melayani. Prinsip usaha yang satu ini tengah digandrungi oleh banyak pelaku usaha. Kekakuan metoda berbisnis yang selama ini diimplementasikan membuat stratifikasi masyarakat Indonesia semakin terkotak-kotak. Ambil contoh; pusat perkulakan ataupun supermarket yang acap kali disterotipkan sebagai sentra perdagangan kalangan atas. Sedangkan kalangan proletar, berbelanja di pasar tradisional yang kotor dan tidak layak.
Apresiasi positif dari perkembangan bisnis minimarket di Indonesia saat ini, membuat sejumlah pengusaha mencoba untuk mengkombinasikan kedua elemen seperti yang disebtukan diatas. Ambil contoh; Indomaret. Investasi perusahaan ritel satu ini sangat mencengangkan. Dalam beberapa tahun terakhir setidaknya, bisnis ritel satu ini dikuasai oleh dua perusahaan utama yakni Indomaret dan Alfamart. Namun, hegemoni Indomaret dalam menguasai pasar ritel Indonesia dengan bisnis waralaba tetap menjadi nomor satu. Betapa tidak, lihat disekitar anda. Setiap satu blok rumah paling tidak ada satu gerai Indomaret yang bercokol disana. Loh, kok bisa? Pebisnis waralaba dari Indomaret tahu betul kondisi pasar saat ini. Terang saja, sebab halnya konsumsi masyarakat akan tetap ada. Dengan memberikan pelayanan yang baik plus ditunjang dengan fasilitas yang representative setidaknya mampu meningkatkan daya mutu konsumsi masyarakat Indonesia. Bila, selama ini kalangana menengah ke bawah (mid end dan low end) terbiasa dengan berbelanja di Pasar tradisonal yang kotor dan tidak layak, kehadiran Indomaret sebagai sentra pasar modern yang murah meriah membuat sejumlah kalangan beralih menggunakan jasa yang diberikan oleh Indomaret.
Saat ini setidaknya terdapt tiga strategi bisnis jitu yang menjadi tolok ukur perkembangan pesat Indomaret dalam pangsa pasar ritel di Indonesia. Margin yang didapat relevan dengan potensi pasar yang positif. Masyarakat dapat ikut andil dalam pergerakan progresif Indomaret. (i) Waralaba murni, dimana terwaralaba yang mencoba untuk berinvestasi franchise dengan Indomaret mesti meneydiakan lokasi gerai yang akan dibuka (bukan Indomaret yang memberikan). Untuk investas awal, terwaralaba mesti siap menggelontorkan dana investasi sebesar Rp 250 jt sampai Rp 300 jt. Dana ini sudah termasuk, perijinan, fee franchise, pembelian perlatan dsb.  (ii) terwaralaba hanya cukup mengambil alh (take over) gerai milik Indomaret yang sudah ebroperasi. Istilahnya, semacam akuisisi namun masih dengan atas nama PT. Indomarco dengan ritel Indomaret. Jadi, terwaralaba hanya cukup melanjutkan estafet dari lari laju yang telah dilakukan oleh Indomaret. Soal investasi? Tentunya lebih mahal donk dari skema pertama. (iii) nah yang ketiga ini baru dinamakan akuisisi. Sekam waralaba yang terakhir ini adalah mengubah toko/gerai yang sudah ada dan direcycle menjadi gerai indomaret. Biasanya, skema yang ketiga ini adalah contoh dari pengambil alihan (take over) bisnis yang sudah ada dan mengubahnya dengan konsep Indomaret. Investasinya lebih murah ketimbang dua skema diatas.
Dan satu lagi keuntungan yang didapat dari terwaralaba yang menggunakan skema bisnis waralaba ala Indomaret. Terwaralaba tak perlu repot-repot dengan harus mengawasi gerainya dengan aktif. Cukup dirumah, menyalakan televisi yang sudah terinstalasi dengan kamera CCTV yang ada di gerainya, sudah cukup bagi terwaralaba untuk mengawasi gerai yang Ia kelola. Selain tu, terwaralaba tak perlu pula mengurusi masalah tetek-bengek gerai seperti distribusi barang, menjadi kasir, membersihkan gerai ataupun yang lainnya. Karena, hal tersebut sudah menjadi tanggun jawab dari Indomaret selaku partner bisnis terwaralaba.
 Dan kesemua fakta diatas adalah betapa kuatnya pengaruh dari Indomaret dalam masyarakat Indonesia. Secara ekologis, hal ini cukup membantu meningkatkan daya mutu konsumsi masyarakat Indonesia dengan penganan yang higienis dan steril. Serta telah tersertifikasi oleh BPOM selaku badan pengawas obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia. Bagi masyarakat muslim, jangan takut berbelanja lantaran setiap produk Indomaret telah disertfikasi Halal oleh MUI.

Hal inilah yang menjadi fakto kenapa Indomaret begitu lumrah dalam masyarakat Indonesia. Konsep bisnis yang ditawarkan yakni pelayanan public menjadi motor penggerak bisnis ritel satu ini. Tak ayal, hampir semua masyarakat Indonesia sudah keranjingan dengan Indomaret. Bila hendak berbelanja, mereka akan menjawab dengan santai “mau ke Indomaret”.



Google/IST
“Sudah tak terasa yah”, pasti banyak yang bertanya-tanya apa maksud dari petikan awal dari tulisan yang penulis muat kali ini. Sekedar merefleksikan segenap asa yang ada, keberhasilan merengkuh label sebagai seorang mahasiswa Universitas Sriwijaya dan membukukan satu  kursi setelah bersaing dengan belasan ribu calon mahasiswa lain yang ingin mengecap dan mengenyam bangku perkuliahan di Universitas Sriwijaya adalah sebuah prestasi. Calon mahasiswa/i yang berhasil menembus ketatnya persaingan boleh saja memberikan applouse buat diri mereka sendiri pasca menembus tembok persaingan menuju Unsri yang begitu ketatnya.
            Kembali ke petikan awal kalimat pembuka tulisan ini mengenai perasaan seorang mahasiswa yang begitu bangganya menjadi bahagian dari keluarga besar Universitas Sriwijaya. Begini ceritanya, saat penulis mencoba menguak sejumlah kesaksian secara tidak langsung kepada beberapa mahasiswa mengenai perasaannya selama mememegang status sebagai mahasiswa Universitas Sriwijaya maka dapat saya simpulkan sesuai dengan petikan kalimat diawal tadi bahwa sudah tak terasa kita berada ditengah-tengah komunitas intelek.
            Bangga, haru, bahagia menjadi bagian terpenting dari dinamika transisi yang sebelumnya berada pada atomosfer per-sekolahan dan bermetamorfosa menjadi ruang lingkup perkuliahan. Label menjadi seorang ‘maha’ resmi disematkan pada saat pengukuhan mahasiswa baru tahun akademik 2010/2011 di Gedung Auditorium, Universitas Sriwijaya, Indralaya Selasa (3/8) 2010. Tanggal itu seolah menjadi deretan numerik absah yang sakral dikalangan mahasiswa baru, karena ditanggal itulah heroisme ‘hidup’ dibawah panji Unsri didedikasikan. Dihadiri oleh Eddy Yusuf notabene merupakan eks-mahasiswa yang  beralmamaterkan Universitas Sriwijaya jurusan Ilmu Hukum ini, menjadi saksi kuning-nya Auditorium diselimuti almamater baru dari calon Mahasiswa.
             Terkhusus bagi mahasiswa Fakultas Hukum, dinamika kuliah yang dikecap sudah begitu kentara terasa kerasnya akan gemblengan disiplin dari para dosen yang mengajar. Terlebih dalam beberapa mata kuliah wajib yang mesti ditempuh sebagai syarat menjajaki mata kuliah baru pada semester selanjutnya. Pengantar Ilmu Hukum, Ilmu Negara boleh jadi menjadi segelintir bahagian dari beberapa mata kuliah yang kita asup semasa semester ganjil ini. Kedua mata kuliah wajib tersebut, diketuai oleh dosen-dosen senior yang syarat akan pengalaman mengajar baik dalam maupun luar negeri.
            Gemblengan mereka-merekalah yang akan menjadi batu loncatan kita menuju generasi-generasi baru yang cendikia dan berharga. Terlebih kita adalah mahasiswa hukum, maka tugas yang akan kita pikul begitu berat adanya, yakni mengemban amanat untuk menegakan keadilan di bumi pertiwi ini. Ditangan muka-muka yang serius dan lusuh pada saat proses perkuliahan inilah segenap tanggung jawab yang diberikan masyarakat akan digenggam. Dan itu semua, tak lepas dari jasa dosen-dosen yang setia dan rela menyisihkan sedikit waktunya untuk mengajari mahasiswa-mahasiswa yang kadang kurang berperilaku ajeg terhadap dosennya.    
Sekilas mem-flashback keseharian mahasiswa dalam rangka meretas asa menjadi generasi perkasa. Banyak hal yang dapat menjadi dependent variabel (Variabel terpengaruh) dalam mengkonstruksi mimpi yang masih dirajut dalam pintalan benang-benang kusut. Intrik-intrik menggelitik satu ini boleh jadi sebagai satu diantara fondasi menuju generasi perkasa yang gesit, lincah dan intelek pastinya.
Titip Absen
Nah, mendengar frasa yang satu ini sudah tidak asing lagi atau bahkan sudah akrab ditelinga kita terkhusus mahasiswa. Pamornya yang menggaung keseluruh penjuru Unsri membuatnya begitu fenomenal. Baik dari sudut historisnya maupun mekanismenya. Tradisi menahun yang tak pernah berujung, titip absen. Menjadi keseharian yang paling lumrah terjadi di kalangan mahasiswa dewasa ini. Seiring dengan perkembangan zaman, maka semakin cepat pula perkembangan pola/method titip absen yang dikreasikan mahasiswa. Semakin cerdas dosen dan cekatan dalam menindak oknum mahasiswa yang mencoba berbuat tidak jujur, maka semakin cermat pula mahasiswa merubah mekanisme dengan tatanan yang lebih rapi dan cantik. Malah, tak ada kesan malu-malu kucing sedikitpun dalam mengoperasikan praktik titip absen. Pola pikir mahasiswa dibuat bergerak dinamis, untuk menghindari tertangkap tangannya oknum mahasiswa nakal tersebut kedapatan tengah melakukan praktek titip absen. Lazimnya, praktek titip absen ini kerap kali dilakukan ketika dosen-dosen yang tengah mengajar terindikasi memiliki pengawasan lemah dan sering lengah dengan gerak-gerik mahasiswa. Mahasiswa memang lebih lincah dan gesit dalam kondisi urgensi sekalipun. Saya yakin, selagi sistem absensi masih tradisionil seperti sekarang ini (kertas yang ditanda tangani dosen), sampai berpuluh-puluh tahun kemudian, tradisi ini akan tetap ada selagi ideologinya tertanam melalui proses regenerasi praktikal.
3A
            Ada yang tahu apa itu 3A ? ini bukan doktrin Jepang dalam rangka memanis-manisi Indonesia untuk menyerahkan hasil buminya kepada mereka lho. 3A dilihat dari konteks mahasiswa adalah sebuah prinsip dimana hakekat seorang mahasiswa itu sebagai seorang yang berpengaruh. Agent of Change, Agent of Control Social dan Agent of Development. Ketiganya merupakan esensi seorang mahasiswa yang prinsipil. Hal tersebut dikarenakan, pemuda dirasa memiliki kemampuan lebih dalam hal ide dan gagasan. Pemikiran-pemikiran mahasiswa yang inovatif dan penuh dengan ide-ide menjadi salah satu faktor kenapa prinsip 3A pantas disematkan kepada mahasiswa/pemuda. Formulasi dari ketiga aspek filosofis yang fungsional tersebut adalah konsepsi yang paling lazim ditemukan dalam kancah kemahasiswaan. Ide dan gagasan yang inovatif dan dinamis itulah yang mendasari sejumlah petinggi negeri ini berkonsensus menyebut pemuda adalah golongan/komunitas pembaharuan. Pameo yang menyebutkan “Pemuda belum saatnya jadi pemimpin,  namun menjadi pemicu terbentuknya  seorang pemimpin” dirasa tepat bersemayam dalam jiwa-jiwa pemuda dalam hal ini mahasiswa. Tak dipungkiri, sejumlah gebrakan besar yang tercatat dalam sejarah negeri ini, paling tidak peran pemuda terlalu naif untuk dikesampingkan. Keberadaanya yang vital, membuat petinggi negeri ini begitu menghormati jasa pemuda dalam membangun negeri. “yang muda yang berkarya” juga menjadi akronim luas secara definitif kausalitas pemuda. Namun, filosofi pemuda di era sekarang ini menggeser sendiri nilai-nilai historis dan sosilogis dari 3A tersebut. pemuda yang menjadi planner-nya, mereka juga yang menjadi destroyer-nya. Lihat saja, kasus narkoba bergelimangan bak air terjun niagara yang terus mencucurkan airnya tanpa henti. Sehingga, ikhwal yang satu ini meng-create stigma bahwa subjek narkos adalah pemuda. Pemuda lambangnya kebebasan tanpa batas. Padahal salah, apabila menafsirkan demikian. Kebebasan tanpa batas dalam berekspresi tidak diwujudkan dalam konstelasi yang berujung pada perbuatan negatif. Kebabasan tanpa batas adalah, pemberian hak politik kepada pemuda mengekspresikan dirinya dalam konteks abdi masyarakat. Bukan sebagai sampah masyarakat. Sekedar merefleksikan kontenitas yang kontinyuitas, semua itu harus segera direstrukturisasi kembali. Mengkonstruksi kembali prinsip pemuda dalam hal ini mahasiswa adalah pilihan arif ketika tak ada yang mampu mengubahnya. Namun, tak serta merta pemuda dibebankan untuk mengkonstruksi kembali dirinya. Mereka tidak bisa me-manage diri mereka sendiri. Mereka mesti distimulasi, diberikan stimulan agar nantinya komponen yang ada terjalin secara sinergis.
IP Gede
            Apalagi kalau bukan ini tujuan abadi yang hakiki dari seorang mahasiswa. Angan-angan untuk mendapatkan tujuan yang sempurna, rela mereka tempuh meski harus berjibaku dengan beragam cara. Rahasia umum dunia pendidikan Indonesia, urbanisasi kecanggihan teknologi memicu kreatifitas demi ‘mendesak’ agar IP (Indeks Prestasi) beranjak naik. Setidaknya, IP 3.0. Namun, apabila mahasiswa lebih jeli dalam menyikapi legalitas IP sebagai prestasi diri, bukan prestise diri maka hal itu akan berujung pada terbukanya pintu kesuksesan kedepan. Begitu akrab ditelinga kita, IP diatas 3.0 mereka gadang sebagai satu diantara harta mereka yang pantas mereka pamerkan ke khalayak. Padahal, jika ditinjau lebih cermat mendapatkan IP 3.0 keatas adalah sebuah prestasi. Namun, perlu dicatat keberhasilan merengkuh IP setinggi itu diraih atas dasar kemampuan dan aktualisasi diri. Bukan bantuan orang lain ataupun alat bantu yang menguntungkan dirinya (cth : Nyontek). Toh, jikalau terjun kedunia kerja, IP hanyalah formalitas memenuhi syarat administrasi awal ketika beralih ke tataran yang lebih kompetitif. Tentunya, skill dan improvisasi diri lebih diapresiasikan ketimbang ‘main-mainan’ IP di dunia kerja. Sistem di negeri ini yang fluktuatif juga mempengaruhi keberadaan IP itu sendiri. Bukan lagi sebagai sebuah fenomena baru, perolehan skor/nilai IP diatas 3.0 tak serta merta diinterpretasikan sebagai murni prestasi mahasiswa. Lazim di dunia pendidikan Indonesia, aneka cara memuluskan prestasi yang bermuara pada prestise itu kerap dilakukan.
Aktifis Mahasiswa
            HIDUP MAHASISWA ! “kita bangun negeri ini menjadi negara yang lebih baik kedepannya, kita serukan REFORMASI !!!”. Sangat jamak kita dengar petikan-petikan orator dari sang mahasiswa idealis. Inilah konstelasi yang cukup untuk merepresentasikan generasi yang perkasa nantinya. Rajutan-rajutan idealis berbalut tuntutan kritis mewakilkan konteks umum seorang aktifis. Demonstrasi, aksi, kritikan publik adalah bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian sebagai seorang aktifis. Jangan tanya berapa banyak orang-orang berpengaruh dinegeri ini mengawali kiprah sebagai seorang aktifis. Deretan nama besar tak pelak adalah hasil doktrinisasi aktifis yang mewarisi ideologinya secara hierarki vertikal tercetak. Keberadaan organisasi mahasiswa/kepemudaan dewasa ini adalah salah satu wadah penyalur aspirasi pemuda dalam rangka donasi ideologi untuk negeri. Suatu keniscayaan apabila mahasiswa/pemuda berlaku sebagai organ yang ‘ditunggangi’ oleh elit penguasa. Oleh karena itulah, sekali lagi eksistensi mahasiswa/kepemudaan sebagai organ independen jarang sekali ‘termakan’ rayuan populis yang pragmatis bisa ‘dijamah’ dalam tubuh maupun pemikiran mereka. Pemuda/mahasiswa adalah pemicu perubahan. Kisah dramatis 1998 adalah satu diantara contohnya yang dapat mewakilkan gebrakan pemuda/mahasiswa dalam memicu perubahan dinegeri ini. Tahun 1998 adalah tahun dimana titik kulminasi dari rasa frustasi sosial yang semakin meningkat akibat dari kelakuan elite politik pada masa itu. Perjuangan mereka seolah menjadi pemicu perubahan besar di negeri ini. Sejumlah petisi agung yang efeknya luar biasa bagi masa depan negeri adalah produk perubahan/reformasi 1998. Sebut saja, amandemen UUD (bahkan sampai empat kali), dijunjung tingginya HAM, rekonstruksi/reformasi hukum nasional, dan formulasi paham demokrasi yang demokratis. Produk reformasi diatas adalah salah satu income yang didapat masyarakat Indonesia konteks sekarang ini, akibat dari titik balik aksi dan reaksi pemuda Indonesia dalam mewujudkan tataran negara Indonesia yang lebih adil dan beradab. Selaku sebagai aktifis ! why not ?
            ‘Hidup berawal dari mimpi’  (Bondan Prakoso­) sejenak kita mengkontemplasikan diri dalam rangka memenuhi asa hidup meretas menjadi generasi-generasi perkasa nantinya. Perlu diingat, apa tujuan kita sebagai pemuda/akademisi/mahasiswa dalam mengemban visi dan donasi untuk negeri kedepannya. Have fun perlu, cuma manakala kita kembali mentransformasi mindset kita mengarah kearah yang lebih sensitif. Perlu disadari, kita memiliki tanggung jawab moral beriring secara paralel dengan mahasiswa-mahasiswa dari PTN/PTS lain dipenjuru negeri untuk memegang erat panji dibawah Bumi Pertiwi. Pengabdian untuk negeri adalah frasa abstrak nan sakral yang mesti kita wujudkan sebagai akademisi/pemuda/mahsiswa. Kuasi dan fusionisasi dari kompleksitas pola pikir anak negeri dapat mewujudkan konstelasi/tataran negara Indonesia yang lebih bijaksana dan berwibawa. Sehingga, amanat Konstitusi UUD 1945 ‘menciptakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia’ bukan lagi sebuah angan belaka. Namun, hal tersebut adalah sebuah tantangan kedepannya. Pola/kreatifitas mahasiswa dalam mengcreate jalan hidupnya mestilah dicermati secara arif agar dapat menghasilkan laskar dan srikandi yang mumpuni untuk membangun negeri. Pola-pola instan/pragmatis sebaiknya perlahan (harus) mulai ditinggalkan. Karena, negeri ini butuh orang-orang bermoral yang mampu memanajerial bangsa kearah yang lebih normatif dan preskriptif. Birokrat sekarang (era SBY) sudah terkontaminasi ulah kotor yang menebar ‘harum’ bunga bangkainya secara komprehensif sampai ke anak cucunya. Untuk mengantisipasinya adalah sebuah hal yang nestapa dan menggunakan cara apa yang paling jitu untuk meredam penggerogot wibawa bangsa tersebut. Kecuali apabila mereka semua ‘lenyap’ dimuka bumi. Selanjutnya, pola titip absen juga mesti dijadikan sebagai suatu hal yang ‘haram’. Karena apa ? biasa karena kebiasan adalah embrio cikal bakal janin yang lahir adalah individu yang amoral dan tidak jujur.
            Filosofi dibalik makna tersirat yang terungkap dalam prinsip 3A mesti direlung kembali segenap mahasiswa. Siapa mereka sebenarnya ? apa tugasnya ? agar mereka tak kehilangan arah. Kenapa ? karena dampaknya secara nasional, pemuda/mahasiswa kita akan kehilangan jati diri dan eksistensi diri. Fenomena-fenomena tersebut perlahan ibarat pribahasa ‘patah tumbuh hilang berganti’ banyak sebagian jiwa pemuda yang nasionalis kemudian lenyap ditelan masa. Entah, bagaimana tindak tanduk kelanjutannya. Keberadaan tokoh-tokoh muda potensial terkesan fluktuatif dalam menetukan sikap dan tindakan. Mungkin, karena intensitas/kadar emosional pemuda/mahasiswa masih labil, meledak-ledak, mudah didoktrin menjadi pemicu ‘tersengatnya’ mereka oleh doktrin tajam dari para penguasa. Untuk meredam penetrasi penguasa dalam mendoktrin pemuda/mahasiswa, sebaiknya aktiflah sebagai mahasiswa. Bergabung kedalam organisasi kemahasiswaan/kepemudaan nasionalis, agamis ataupun radikalis sekalipun akan membuat kedewasaan dalam menetukan sikap semakin terbina. Guna, memantapkan mindset dalam menemukan pola jati diri sesuai koridor masing-masing pemahaman. Mau kemana saya ? apa jadinya saya nanti ? adalah sekelumit pertanyaan yang erat kaitannya dengan membangun karakter diri lewat organisasi. Metode kebersamaan, prinsip ke-independensian adalah hal yang utama dalam berorganisasi sebagai tolok ukur pengembangan diri. Hingga pada akhirnya, pendewasaan dan penemuan jati diri itu akan terbentuk secara otomatis. Tetapi, satu hal. Menjadi organisatoris yang memang benar-benar aktif dan vokal dalam menyuarakan kejanggalan terhadap ketidak selarasan disekitarnya mesti dipahami betul kontenitas dan kontinyuitasnya. Karena, tak selamanya kita mengenggam label sebagai seorang mahasiswa. Intens di bidang akademik juga mesti menjadi acuan terciptanya kaum intelek yang benar-benar intelektualistis. Jangan hanya berkutat dengan sejumlah agenda rapat-rapat di organisasi, bergumam dan bercengkrama dengan buku-buku serta literatur adalah konsepsi mutlak yang mesti dipegang mahasiswa. Keduanya harus sinergis. agar nantinya, judge mahasiswa berjiwa sosial yang akadmis itu diraih. Tapi, jangan pula dianggap berlebihan. Emosi dan ego untuk menggapai IP tinggi juga jangan sampai ‘menghalalkan’ segala cara untuk meraihnya, kejujuran adalah harga mati. Ingat IP (Didapat dengan cara yang jujur) bukanlah sebuah kesuksesan, IP hanyalah pembuka kesuksesan


Perpustakaanku.wordpress.com
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas RI) kata dasar dari perpustakaan adalah Pustaka. Secara etimologi, pustaka berartikan sebagai sebuah kitab ataupun buku primbon (lihat http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php). Sedangkan, kata perpustakaan adalah sebuah kata yang telah mengalamai revolusi perkembangan kata dengan penambahan awalan  per- dan –an. Secara definitif, perpustakaan dapat diartikan sebagai tempat, gedung, ruang yg disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lainnya yg disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan.
            Relevansinya dengan makna secara definitif yang diterbitkan oleh lembaga pusat bahasa nasional tersebut, lebih sederhana perpustakaan dapat diorientasikan sebagai tempat/pusat untuk meminjam buku. Apalagi, konteksnya mahasiswa perpustakaan boleh jadi adalah surga bagi mereka yang haus akan ilmu. Betapa tidak, saban hari perpustakaan disambangi demi mencapai tujuan yang diinginkan.
            Tak pelak, secara realistis dapat kita apresiasikan bahwa eksistensi perpustakaan sudah sangat urgen bagi masyarakat kita. Terlebih, bagi mahasiswa. Bahkan, evolusi perpustakaan tak hanya berwujud pada statisnya fasilitas yang disediakan. Sekarang ini, demi mengakrabkan telinga masyarakat akan keberadaan budaya membaca membuat pemerintah memberikan akses yang efisien bagi masyarakat yang barangkali sulit untuk menyempatkan diri datang ke perpustakaan, aksesivitas yang efisien tersebut diwujudkan dalam bentuk program Perpustakaan Keliling.
            Di Universitas Sriwijaya, tercatat hampir puluhan perpustakaan dan taman baca yang dapat dijadikan rujukan mahasiswa dalam menggali ilmu yang mereka tekuni. Sebagai induk dari perpustakaan dan taman baca di Universitas Sriwijaya, disediakanlah dua buah gedung khusus yang berlokasi di kampus Bukit Besar, Palembang dan gedung yang berada di kampus Indralaya, Ogan Ilir. Hingga kini, klaim pihak UPT Perpustakaan Unsri mencatatkan bahwa koleksi buku yang disediakan di perpustakaan Unsri sejumlah 160.000 eksemplar.
Namun, acapkali pertanyaan yang menyembul tatkala kita menyambangi perpustakaan sekolah/universitas adalah berapa ‘rupiah’ yang mesti kita bayar ketika buku yang kita pinjam terlambat dari tenggat waktu yang telah ditentukan.
            Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya mematok ‘harga’ sebesar Rp 2.500 untuk satu hari dan satu buku yang terlambat dikembalikan sesuai waktu yang telah ditentukan. Jadi, jangan heran jikalau ada mahasiswa yang secara spektakuler  merogoh kocek hingga puluhan ribu rupiah hanya demi membayar denda ganti rugi akibat keterlambatan dirinya mengembalikan sesuai tenggat watu yang ditentukan. Padahal, bila dihitung secara matematis harga dari buku yang dipinjam acap kali jauh lebih murah dibandingkan dengan rasio denda yang diterima. Lain lagi dengan perpustakaan Unsri kampus Indralaya, nilai fantastis sejumlah ratusan ribu rupiah bahkan sudah cukup lumrah menghiasi buku catatan denda UPT perpustakaan Unsri kampus Indralaya.
            Hingga berita ini diturunkan, nominal sebesar Rp 390.000 adalah torehan fantastis yang tertera dalam buku catatan denda UPT Unsri. Ironi, nominal sebesar itu sangat tidak berbanding dengan harga buku normal yang dikembalikan. Perlu, tinjauan ulang dari pihak UPT Unsri untuk merevisi kebijakan mereka menetapkan sistem denda bagi mahasiswa yang meminjam buku terlambat dari tenggat waktu yang ditetapkan.
            Mengapa ? karena, sistem denda yang diterapkan saat ini sungguh tidak mendidik perilaku dan iklim ber-pustaka ria mahasiswa di Universitas Sriwijaya. Tentu saja, esensi perpustakaan yang menginginkan kuantitas pengunjung datang dengan persentase yang besar akan direduksi sendiri oleh pihak UPT Universitas Sriwijaya. Hal ini justru memunculkan sikap anti pati dan enggan para mahasiswa untuk datang ke perpustakaan. Animo mereka untuk berduyun-duyun datang menyambangi perpustakaan terhambat oleh arogansi pihak UPT dalam memberlakukan sistem denda. Kebanyakan dari mereka yang datang ke perpustakaan hanya sekedar untuk mengisi waktu luang dengan ber-online ria di beberapa net corner yang disediakan oleh pihak stakeholder dari pihak swasta.
            Memang benar, diberlakukannya sistem denda oleh pihak UPT Universitas Sriwijaya ini untuk menindak tegas dengan cara yang lebih preventif oknum mahasiswa nakal yang lambat mengmbalikan buku yang telah ditentukan. Tapi, yang menjadi pertanyaan ialah apakah semua mahasiswa berperilaku sama ? yang jelas, kebijakan ini sungguh sangat disayangkan oleh kalangan mahasiswa. Mereka menganggap, arogansi pihak UPT Unsri dengan memberlakukan sistem denda membuat aktifitas mereka ber-pustaka ria semakin direstriksi.
            Seiring dengan besarnya nominal yang kerap dialami mahasiswa, hal tersebut justru berbanding terbalik dengan fasilitas yang mereka terima. Terlebih ditilik dari hal yang kecil semacam kenyamanan dalam menemukan/mencari buku-buku yang dituju ternyata sangat sulit untuk didapati. Bahkan, ketidak sinkronan validitas data yang terdapat dalam katalog online di UPT Unsri dan kondisi di lapangan sangat mengganggu efektifitas aktifitas yang dilakoni mahasiswa. Selain itu, kenyamanan dalam ber-pustaka juga menjadi kredit tersendiri yang mesti diperhatikan pihak UPT Unsri. Kebebasan mahasiswa dalam melakukan aktifitasnya di perpustakaan seringkali digunakan mahasiswa untuk merokok dan berdiskusi. Tak pelak, disalih fungsional penggunaan perpustakaan ini sungguh menggangu kenyamana ber-pustaka bagi mahasiswa lainnya.
             Lantas, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi polemik yang terjadi sekarang ini. Pemberlakuan sistem denda yang diterapkan di perpustakaan/taman baca di Universitas Sriwijaya sudah cukup baik dalam rangka mengatasi atau menindak tegas oknum mahasiswa nakal yang seringkali lambat mengembalikan buku dari waktu yang telah ditentukan. Namun, pihak UPT Unsri mesti segera mewacanakan revisi kebijakan sistem denda yang mereka tetapkan. Kenapa ? hal tersebut untuk mengantisipasi nominal-nominal denda spektakuler lainnya jatuh bergelimangan baik dedaunan yang jatuh dari rantingnya. Misalnya, dengan membatasi ‘tarif’ denda tertinggi dengan patokan ‘tarif’ sebesar Rp 50.000 saja seiring dengan berapapun rasio hari keterlambatan mengembalikan buku dari waktu yang ditetapkan. Selain itu, perlu juga wacana khusus dari pihak UPT Unsri untuk memberikan semacam reward/penghargaan bagi mahasiswa yang secara teratur datang ke perpustakaan Unsri saban hari dan mengembalikan buku sesuai dengan tanggal yang disediakan. Sehingga, hal ini memunculkan iklim ber-pustaka ria yang lebih kondusif dan animo mahasiswa untuk datang ke perpustakaan akan semakin meningkat. Jangan Cuma punishment/hukuman yang diterima mahasiswa. Oase ditengah fatamorgana semacam itu akan mengambalikan keinginan mahasiswa untuk datang ke perpustakaan. Selain itu, jikalaupun sistem denda ini ditertibkan secara komprehensif juga harus diperhatikan keuntungan relatif antara mahasiswa dan pihak UPT Unsri agar tidak ada yang dirugikan. Revitalisasi sejumlah fasilitas perlu diperbaiki demi tercapainya kenyamanan mahasiswa dalam berpustaka ria. Semisal, penyesuaian sinkronisasi validitas data yang tertera di katalog online dan kenyataan dilapangan mesti segera diperbaiki. Selain itu, pihak UPT Unsri juga mesti menindak tegas oknum mahasiswa yang merokok disepanjang area terbuka di UPT Unsri. Karena, hal tersebut sungguh mengganggu keberadaan mahasiswa lainnya dalam rangka menjalankan aktifitasnya. Sehingga nantinya, perpustakaan Unsri ini bisa kembali ke selayaknya sebuah perpustakaan yang nyaman dan kondusif. Karena, perpustakaan Unsri adalah perpustakaan kita semua.
on Kamis, 22 Desember 2011

Sumber : Matanews.com
Kemacetan panjang yang menyandera pengendara Kamis, (20/12) lalu lalang di Jalan perbatasan Palembang-Indralaya semakin parah. Setelah beberapa bulan lalu mahasiswa melakukan aksi demonstrasi ke Pempro Sumsel terkait dengan pembatasan kuota angkutan batu-bara melintas di Jalan Indralaya tak menuai hasil yang maksimal. Sebagai bukti,deretan truk angkutan batu-bara terpaksa ikut-ikutan kena macet sebagai akibat dari nyungsepnya beberapa kendaraan kedalam rawa-rawa di bibir jalan Indralaya.
Tak pelak, hal ini membuat gusar beberapa kalangan. Mahasiswa menuding, Pempro tidak tegas dalam mengakomodir aspirasi bentukan mahasiswa beberapa bulan lalu. Kendati, hari ini adalah hari istimewa sejumlah mahasiswa, ternyata hal tersebut tentu tak seistimewa peristiwa yang melumpuhkan sejumlah aktifitas akademik di Unsri.
80% mahasiswa dan karyawan yang berdomisili di Palembang, membuat Unsri kampus Indralaya terlihat sepi dan lengang. Tak banyak mahasiswa yang tengah sibuk dengan urusan akademik. Bus Mahasiswa pun sampai pada pukul 10.00 WIB pagi hanya bercokol satu buah bus. Unsri benar-benar lumpuh.
Puluhan bus yang mengangkut ratusan mahasiswa pun memilih untuk memutar kembali ke Palembang. Tak ayal, banyak dari mahasiswa mengurungkan niatnya untuk kuliah. Pilihan pun jatuh dengan menggunakan alternative transportasi lain. Sarana Kereta Api Unsri Indralaya menjadi peraduan 500-an mahasiswa menuju kampus. Membludaknya rasio pengguna dengan moda transportasi yang tersedia ‘terpaksa’ membuat pihak pengelola, PJ Kereta Api menambah gerbong menjadi 10 buah dari yang sebelumnya hanya 3 Buah.
Animo ratusan mahasiswa bahkan menjadi tontonan menarik sejumlah penumpang yang menumpang kereta dengan jurusan lain. Sebagian dari mereka bahkan mengabadikan momen ‘kejar-kejaran’ mahasiswa dengan kamera Ponsel yang dimiliki. Tentu menjadi satu perhatian menarik, ketika Rektor Unsri, Prof.Badia Parizade terlihat dalam kerumunan mahasiswa. kendati mendapat pengamanan khusus dari pihak pengelola, namun terlihat semangat Badia yang tak kalah dengan muda-mudi lainnya.
Konvergen dengan itu, hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi Pempro Sumsel agar dapat mengelola persoalan aksesifitas jalan raya dengan lebih optimal. Pemberlakuan aturan gelap, buka-tutup jalan terang saja menjadi persoalan baru dari sebuah permasalahan. Implikasinya, terjadi penumpukan kendaraan berlebih.
Selain itu, keberadaan Terminal Karya Jaya menjadi persoalan penting terkait dengan kemacetan. Pada titik ini sering kali ditenggarai sebagai biang kemacetan. Pasalnya, dititik inilah pertemuan antara kendaraan yang hendak menuju Indralaya dan Palembang serta kendaraan besar yang tengah berusaha keluar dan masuk ke terminal.
Menjadi perhatian serius bagi Pemro Sumsel dalam menata kelola sistem Jalan raya di Sumsel. Persoalan ini tentu bukan yang pertama. Namun, sepertinya Pemerintah tak belajar dari pengalaman. Terkesan ada unsur pembiaran Pempro dalam mengelola sistem Jalan raya di Sumsel. Kendati, setiap bulannya ada peremajaan Jalan dengan cara tambal sulam. Namun, tetap tak mengurai akar permasalahan.

on Kamis, 15 Desember 2011

Upaya GAM/Net
Sudah hampir enam decade, Indonesia menjadi bahagian penting warga dunia. Semenjak mendapat pengakuan kemerdekaan secara de jure 17 Agustus 1945 silam dari kolonialisme, Indonesia terus menata diri menjadi pesaing ketat kompetisi global. Tak ayal, Indonesia sempat menjadi macan ekonomi dan olahraga Asia pada pertengahan abad 20.
Problematik pengakuan kemerdekaan tentu tak lepas dari perjuangan berdarah tiada henti. Strategi penyerangan pun disusun demi menghantam laju colonial menjajah bumi Indonesia. sejumlah pionir kemerdekaan, pantas disematkan sebagai pahlawan revolusi. Setidaknya, telah mampu melepaskan Indonesia dari bayang-bayang koloni –meskipun sekarang kolonialisme gaya baru – eksploitir SDM dan SDA secara sadistis tidak kembali digulirkan semenjak proposal gagasan Hak Asasi Manusia diperdengungkan.
 Tragedy berdarah yang merenggut ribuan pembela tanah air dalam memrebutkan bumi pertiwi menjadi bukti bahwa bangsa ini serius menatap masa depan yang lebih baik. Beragam langkah ditempuh, mulai dari melakukan perundingan, gencatan senjata, hingga meminta dukungan Negara-negara lain dalam memerangi kolonisasi.
Perlahan tapi pasti, Indonesia tumbuh menjadi sebuah bangsa yang diperhitungkan dalam percaturan global. Potensi demografi yang melimpah ditunjang dengan keaneka ragaman hayati yang memesona menambah khasanah kekayaan nusantara. Namun, kendati dikaruniai kekayaan yang luar biasa, tak membuat Indonesia cukup menjadi sebuah bangsa yang besar.
Persoalan kenegaraan yang sistemik selalu menjadi penghalang kemajuan negeri. Rentetan peristiwa memilukan yang membuncah kegundahan akan rasa ke-Indonesiaan perlahan mulai terkikis. Kaleidoskop Indonesia selama 66 tahun dihiasi lika-liku konflik horizontal yang berujung pada tragedy memilukan.
bermula dari pergerakan komunisme yang digawangi oleh Musso di Indonesia, ancaman bentuk politisasi horizontal membuat derai tawa Ibu Pertiwi makin menukik.  Pembangkang-pembangkang kecil bermunculan. PKI adalah ikon separatisme. Meskipun, PKI tak bertujuan memisahkan diri secara teritori namun PKI meretas asa melepaskan diri secara ideologi.
tantangan berlanjut dengan munculnya gerakan separatisme mengusung pemisahan secara teritori dari NKRI. Organisasi Papua Merdeka, Negara Islam Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka, Referendum Ngayogya Hadiningrat, dan Republik Maluku Selatan adalah contohnya. Gerakan-gerakan ini tentu bukanlah gerakan yang hanya ingin eksis dilayar kaca. Kehormatan dan klaim diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat terus menggema. pengkhianatan kerap menjadi bumbu-bumbu separatisme.
Ketidak becusan pemerintah dalam mengurus daerah-daerah penunjang sentral Jakarta memicu pergerakan separatism di sejumlah wilayah. Selain itu, pengkhianatan pemerintah pusat dalam sejarah pendirian NKRI terhadap daerah turut pula menambah warna. Untuk yang satu ini, kasus paling actual yang menghiasi media-media nasional dan internasional adalah upaya pemerdekaan diri rakyat Papua dari NKRI. Menggugat Pepera 1961 yang merupakan noktah kembalinya Irian Barat ke Indonesia pun dilakukan.
Kendati, warga Papua menuding upaya pemerdekaan Papua dari NKRI bukan sebatas persoalan pembangunan ekonomi, akan tetapi lebih kepada harkat dan martabat sebagai bangsa. Upaya-upaya serius pun dilakukan.menggalang dukungan dari berbagai negara digalakkan.Vanuatu dan Inggris adalah dua negara yang membuat bendera ‘Bintang Kejora’ dikibarkan. Tanah Papua bersiap lepas dari NKRI. Berjiwa negarawan tentu membawa kita pada dukungan moril kemerdekaan Papua. Tak dapat dinafikkan, pemerintah pusat telah salah mengurus pulau cantik nan elok ini. rasa iri yang berkepanjangan terhadap pendatang (Jawa) memicu gerakan pemisahan diri. Sudah 38 tahun lebih OPM mengawal upaya pemerdekaan Papua Barat.  Warga Papua berbeda dengan rakyat Indonesia. perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan dalam berbagai bidang. Dalam bidang IPTEK,masih primitifnya warga Papua membuat rakyat tak mampu bersaing dengan warga transmigran. Dalam bidang budaya, proses Jawanisasi yang dicanangkan rezim orde baru mengikis secara perlahan proses demokrasi lokal. Pengelolaan peradatan dan peribadatan dalam mengusung pemerintahan daerah Papua ‘dipaksa’ menurut Jawa. Tak ayal, warna Papua coba kembali dibangun lewat MRP (Majelis Rakyat Papua).
Menjadi sebuah pertanyaan, pasca kemerdekaan Timor Leste akankah menimbulkan gairah daerah untuk melakukan hal serupa ? ibarat menunggu bom waktu, kejadian tersebut tinggal menunggu waktu. Indonesia dikejar ancaman separatis lewat kapitalis yang dibobok melalui bopeng nasionalis.

on Selasa, 13 Desember 2011
Tensi gejolak di Papua yang semakin memanas beberapa pekan terakhir ini saban hari menghiasi sejumlah media mainstream nasional dan manca negara dalam menyoroti persoalan independenitas rakyat Papua dari Indonesia. tak ayal, peristiwa makar yang ditunjukan aktifis pro kemerdekaan di Papua makin menjadi-jadi.
Free West Papua Campaign/WestPapuaMedia.Info
banyak pihak yang menuding, persoalan kasus Papua bermula dari ketidak adilan pemerintah dalam pemetaan program pembangunan di Indonesia. sentralisasi kekuasaan yang berpusat di Jakarta pada rezim orde baru (Orba) adalah buktinya. provinsi di sejumlah daerah 'terpaksa' menjadi donatur tetap pemerintah pusat (Jawa) dalam menghidupi tanah Jawi yang penuh dengan eksotisme itu. 
termasuk, Papua. wilayah yang terletak secara geografis diufuk timur Indonesia ini adalah negeri cantik nan elok dengan sejuta kaneka ragaman hayati dan hasil hutan yang begitu melimpah ruah. tak pelak, Amerika pun kesemsem dengan wilayah yang satu ini. ditancapkanlah, pilar-pilar kapitalis ala Amerika lewat perusahaan multi nasional yang berlindung dibalik topeng regulasi semu tersebut. PT Freeport Indonesia, salah satu dari perusahaan penambangan emas terbesar di dunia ini menancapkan taring kapitalisnya di Indonesia, tepatnya di Papua. 
isu yang merebak, kapitalisasi di Indonesia bermula dari sebuah perjanjian antara Soeharto dengan Amerika yang membuat persetujuan kerja sama dalam waktu 50 Tahun secara kontinyu. Indonesia mendapatkan kompensasi atas hasil penambangan Freeport di Grasberg dan Abepura. statistik yang menyebutkan, Indonesia mendapatkan 1% keuntungan bersih yang diperoleh PT Freeport per tahunnya. angka ini jelas tak adil. secara realistik, kekayaan alam yang dieksplorasi Freeport adalah milik Indonesia. akan tetapi, angka tersebut terlalu kecil untuk sebuah negara layaknya Indonesia. bukan tanpa sebab hal tersebut diperjanjikan demikian. lantas, kemana sisa persenan rupiah yang mengalir dari kantong elit Freeport ? sebuah misteri dibalik perseteruan umum. politisasi yang bersua menututp-nutupi informasi publik yang merebak.
tak hanya persoalan pembangunan, kelompok mahasiswa Papua atau bahkan LSM dan kesatuan masyarakat adat Papua bahkan menilai Indonesia telah salah mengurus Papua. secara genetis, sebenarnya rakyat Papua yang melanosoid berbeda dengan ras masyarakat Indonesia kebanyakan yang mongoloid. perbedaan persoalan SARA inilah yang membawa rasa kekalutan mendalam dan pertanyaan besar, apakah Papua benar-benar bagian Indonesia ? padahal, saudara-saudara serumpun dengan rakyat Papua lainnya seperti Timor Leste, Papua Nugini, Kepulauan Fiji, Samoa, Melanesia dan sebagainya justru bersuka cita membentuk negara dengan segala bentuk regulasi yang mereka atur dengan cara mereka sendiri.
persoalan sejarah mengenai proses pengembalian Irian Barat semasa kolonialisme pada 1963 ke pangkuan bumi pertiwi banyak disebut aktifis Papua sebagai sebuah peristiwa yang ahistoris. belum lagi berbicara masalah HAM. KontraS bahkan fokus merilis data-data nama warga Papua yang menjadi korban ketidak manusiawi TNI dalam mengawal keamanan di ujung timur Indonesia. kemarahan warga Papua ditunjukan secara konkrit dengan sering kali terjadinya baku tembak antara ekstrimis Papua, OPM dengan TNI di sejumlah titik.
membawa sekelumit problematika yang mendera Papua, inisiasi pun dilakukan. kampanye persuasif, hingga demonstrasi besar-besaran menuntur refrendum warga Papua terus digalakkan. pengibaran bendera "bintang kejora' lazim dilakukan. hidup diwilayah syarat konflik di Papua mengingatkan kita akan film Half Blood Diamond di tanah Afrika antara ekstrimis sipil, RUF dan Pemerintah. penggambaran yang ditonjolkan dalam film yang dibintangi Leonardo di Caprio tersebut nyaris serupa dengan kondisi yang dialami Papua. RUF sama dengan OPM. Tentara Afrika sama dengan TNI.
ironi, tanah yang diberkahi dan tanah yang dikaruniai SDA yang melimpah justru menjadi tanah yang kejam syarat konflik vertikal. menyoal hal tersebut, pemerintah coba meredam aksi paralel yang dilakukan amsyarakat Papua. UU Otsus diberlakukan. kendati UU ini telah lama diimplementasikan, akan tetapi hasilnya tentu tak terasa secara langsung menyentuh warga Papua. permberdayaan lokal warga Papua berubah menjadi pembredelan terhadap sang Putra daerah. proses Jawanisasi yang muncul lewat program transmigrasi membawa pergolakan semakin menjadi-jadi dengan mencalonkan dirinya, warga Papua kelahiran Jawa dalam pemilukada di Papua. hal ini membuat warga Papua sakit hati talk tertahankan. tawaran menggiurkan dari Otsus mulai dari keuangan, pemberdayaan SDM lokal dan pembangunan wilayah bak isapan jempol belaka. Judicial review pun dilakukan. akan tetapi, iktikad baik warga Papua untuk menguji UU Otsus tak menuai hasil. perkara uji konstitusionalitas UU Otsus ditolak MK. 
kendati Papua mendapatkan otoritas khusus berupa Otsus bersama tiga wilayah lainnya di Indonesia, seperti NAD dan DI Yogyakarta bukan berarti menjadi angin segar bagi warga Papua. MRP (Majelis Rakyat Papua) dibentuk sebagai tandingan DPRD Provinsi/Kab/Kota. konferensi MRP ke-III baru-baru ini bahkan mendapatkan perlawanan sengit dari TNI. informasi yang beredar, salah seorang peserta konferensi meninggal dunia. padahal, disinilah terletak proses demokrasi langsung yang diimplementasikan di Papua. dimana, persoalan makar menjadi pergunjingan yang lazim dilakukan. akan tetapi, hal tersebut tak berlaku di Papua. Aceh bisa menjadi contoh faktual betapa implementasi proses demokrasi tidak berjalan mulus. indikasinya, tindakan makar/separatis dilarang oleh konstitusi. hal ini berimplikasi secara meluas sampai pada lapangan hukum internasional. ILWP (International Lawyers For West Papua) mengadvokasi warga Papua dan menguji konstitusionalitas Pepera dihadapan Mahkamah Internasional. namun, kongres ILWP yang berlansung di London itu tak berjalan mulus lantaran, Inggris menolak diadakannya kongres tersebut. 
Bendera Bintang Kejora/WestPapuaMedia.Info
jalan panjang rakyat Papua untuk menikmati harkat dan martabat hidup seperti kebanyakan warga dunia lainnya tak berhenti sampai disitu.OPM semakin nyata meminta dukungan kepada negara-negara lain untuk memberikan bantuan moril demi memerdekakan diri dari Indonesia. demonstrasi di Jakarta pun dilakukan. membawa atribut OPM, bendera Bintang Kejora dsb. sinyalemen betapa warga Papua SERIUS merdeka dari Indonesia. perlahan, pangkuan Bumi Pertiwi mulai lepas dari kehangatannya. ibarat menunggu Bom Waktu, mimpi itu perlahan mulai terealisasi secara nyata. apakah daerah lain akan menyusul ? NII, RMS, GAM ? masih layakkah menyebut bahwa saya adalah Indonesia ?

on Senin, 12 Desember 2011
Dewasa ini, praktik Aborsi telah bergeser menjadi sebuah tindakan yang legal dalam praktik dunia kedokteran. bahkan, dengan justifikasi untuk kepentingan si-Ibu praktik yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan ini menjadi sha-sah saja asalkan dengan jawaban afirmatif seperti yang disebutkan diatas.
secara harfiah, Aborsi (Abortion) diartikan sebagai pengguguran janin. secara etimologi, Aborsi dapat diartikan sebagai upaya yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan sang ibu atas janin yang dikandungnya sebelum keluar dari rahim (Cervix) sang ibu.
Aborsi secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua golongan sekaligus. (i) Aborsi Spontanoeus, aborsi yang satu ini diasumsikan sebagai sebuah peristiwa terhentinya kehamilan yang tidak ditenggarai atas adanya indikasi kesengajaan (dolus) dari si-Ibu. (ii) Aborsi Provocatus, aborsi dalam bentuk ini seringkali dimaknai sebagai sebuah upaya yang disengajakan baik itu terkait dengan intervensi medis dokter ataupun atas permintaan dari sang ibu.
selain itu, Krismaryanto menjelaskan lebih spesifik penggolongan aborsi. (i) Aborsi Provocatus (ii) Miscarriage (Keguguran), (iii) Aborsi Therapeutic/Afedicalis, (iv) Aborsi Eugenetik, (v) Aboris langsung-Aborsi tak langsung, (vi) Selective Abortion, (vii) Partial Birth Abortion.
Dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia (KUHP), pengaturan mengenai masalah aborsi diatur mulai dari rentang pasal 384, 385, 386, 387, 388 dan 389. Secara umum, KUHP Indonesia melarang praktik aborsi di Indonesia. hal tersebut dibuktikan dengan norma plus sanksi yang tegas berupa pidana penjara bagi dader (pelaku utama) yang melakukan praktik aborsi. selain itu, orang yang turut membantu berjalannya praktik aborsi pun dapat dikenai hukuman bilamana terbukti dalam pembuktian pembantu pelaku (mededader) membantu melakukan praktik aborsi.
namun, dalam Pasal 15 UU No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan malah mensiratkan aspek legalisasi praktik aborsi di Indonesia. dengan catatan, praktik penyelenggaraan aborsi didasari atas indikasi medis yang bertujuan untuk menyelematkan jiwa si-ibu. berdasarkan asas perundang-undangan lex specialis derogate lex generalis, maka pengaturan terkait dengan aborsi dalam KUHP terpaksa dikesampingkan dengan regulasi yang baru yang lebih sosiologis.
namun demikian, dalam pandangan dunia barat. terjadi perdebatan panjang mengenai  praktik aborsi diimplementasikan di negara masing-masing. Peru, sebuah negara yang terletak di Amerika Selatan adalah satu dari sekian banyak negara yang menghalalkan praktik aborsi. tentu, dengan dalil dan teori argumentatif yang dikembangkan pakar hukum dan kedokteran yang memerhatikan aspek-aspek penunjang sebuah rumusan kebijakan, berupa landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. di negara-negara dengan latar belakang Islami, langkah konservatisme masih dijunjung tinggi lantaran bertentangan dengan norma dan kaedah agama Islam yang melarang membunuh sesama.
hal ini sejalan dengan praktik politik kenegaraan yang dilakukan di Amerika Serikat. ketika Al Gore dan G.W Bush terlibat dalam persaingan perebutan kursi nomor satu negeri Adikuasa, AS. keduanya mengusung tema politik yang bertujuan untuk mendapat simpati rakyat. kendati praktik ini lebih bernuansa politis ketimbang sosiologis, maka dari itu cukup dimaknai secara positif saja. Al Gore dengan jargon Pro Change-nya mengutarakan betapa sang ibu berhak memilih mengenai masa depan janin yang dikandungnya. akan tetapi, George W Bush berdalih dan mengemukakan pendapat politiknya yang terkenal dengans sebutan Pro Life, langkah ini sebagai antisipasi terjadinya pelanggaran HAM yang tidak boleh direstriksi.
dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), hak untuk hidup (right to life) merupakan kategori dari konsep non-Derogable HAM yang tidak boleh direstriksi (dibatasi) dalam keadaan urgensi (mendesak) sekalipun.