on Sabtu, 25 Februari 2012
 'jadilah engkau api penyadaran kehidupan, jadilah engkau api penyadaran sang kebenaran haruslah dijaga dan dikabarkan'


Paruh waktu harus kami habiskan untuk membantu pengobatan Dimas--Bocah penderita tumor. Bukan materi yang kami berikan, tapi spirit hidup dan kepedulian nurani yang kami pertaruhkan. Terkadang, sempat terlintas dibenak, untuk mengurungkan niat membantu. Namun, niat itu terparkir dalam kungkungan semangat dan komitmen yang kian membara. 
Banyak proses yang kami lalui, kendati tak selalu linear dengan ekspektasi yang muncul. Paling tidak, jejak langkah yang kami lalui memberikan pengalaman berharga betapa susahnya hidup menjadi manusia. Kenapa? lantaran, susahnya membuat orang lain mengerti akan kondisi saudaranya yang tengah berjuang dalam sangkar kesendirian yang mendera. 
Hari-hari kami lalui sembari berlari melawan waktu yang kian menghimpit. Aktifitas pribadi yang terus merongrong terpaksa urung perihal urgensinya kondisi Dimas. Tak banyak memang, orang yang mampu dan mau melakukan apa yang kami lakukan. Bukan bersikap egosentris, akan tetapi sifat manusia yang kurang mampu memanajemensisasi diri dan memantapkan konsistensi pribadi sering menjadi alasan pembenar. 
jejak demi jejak kami tapaki demi memuluskan niat dan memantapkan iman bahwa membantu sesama adalah hal yang utama. Tak ayal, setiap proses yang diminta mau tak mau harus kami lalui kendati harus pulang dengan perasaan kecewa. Namun, semua itu tuntas ketika pihak Dinas kesehatan provinsi Sumsel memasukkan Dimas sebagai pasien ke-163 yang mendapat rujukan ke RS Pusat atas biaya yang telah ditanggung oleh Pemprov Sumsel. 
Secara umum, memang tak ada hambatan berarti yang menghadang alur proses administrasi kelengkapan data surat rujukan Dimas ke Jakarta. Upaya publikasi pun tak ketinggalan. Ibarat kereta, tiap gerbong selalu rapi beriringan. Jejaring sosial menjadi sasaran publikasi. Basis informasi yang besar, dan kuantitas pengguna yang luar biasa menjadi alasan. Tetap, media-media lokal --Koran lokal-- diberdayakan. Kendati zaman makin maju, namun media cetak tak mungkin layu diterjang abu zaman.
Betapa sisa-sisa semangat terus membara seiring dengan hembusan angin kencang menghilangnya sebagian relawan. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama. Bak pribahasa, hilang satu tumbuh seribu. Puluhan relawan yang sebelumnya memantapkan misi bergabung dan bergerak dibawah panji "Gerakan Peduli Dimas". 
Sudah saatnya memang, operasi penyadaran massal perlu digalakkan.Terkadang, masyarakat sengaja tutup mata dan bungkam seribu bahasa. Alangkah nestapanya negeri ini, sudah dipenuhi individu-individu akibat pengaruh kapitalisme global. Bertinggal di komplek elit BSI, tak membuat warga sekitar aktif bahu membahu menolong sesama. Justru, 'orang jauh' yang merasa peduli akan kondisi sebagai warganya yang tersisihkan. 
Seharusnya, warga sekitar lingkungan perumahan Dimas malu. Bukan malah tak tahu menahu. Ketika orang-orang di penjuru nusantara sibuk mementaskan peran sebagai orang baik, warga sekitar justru dengan 'bangga' melongok lakon kesedihan yang dilakoni.  Ironis, nurani bangsa ternyata hanya sekejap mata yang hilang ketika terhapus oleh debu derita.
Sengatan matahari menjadi layu ketika api semangat yang dikobarkan jauh lebih membara. Debu kotoran menjadi rapuh lewat teriakan kemanusiaan yang kami dengungkan. Cemoohan masyarakat menjadi runtuh ketika komitmen dalam meretas asa membumbung tinggi melampaui diskreditasi masyarakat. Semua itu kami lakukan atas dasar kemanusiaan. Tidak lebih. Kami hanya mencoba untuk menjadi yang terhilang oleh karena halangan. Kami hanya ingin tetap menggalang tatkala penggalang justru melah menghilang. 
on Rabu, 22 Februari 2012
"Segarnya udara pagi menyambut senyapnya tidur dalam lelapnya mimpi. Tak disangka, waktu telah menunjukan pukul 06.30 WIB. Sembari memperdendangkan lagu favorit, coba kupejamkan kelopak mata yang masih sayup menerima partikel cahaya yang masuk mengerubuni kornea mata. Berselang beberapa menit, mata ini terbelalak. Mengingat, pagi nanti menyambangi RSI Siti Khadijah."

Sepintas, memang tak banyak yang tahu betapa sulitnya mengurus urusan adminsitratif layanan umum di bidang jasa Kota Palembang. Perlu, tenaga ekstra untuk memberikan stimulus cakra kesabaran yang terus merengek untuk segera menyelesaikan perkara. Namun, itulah konsekuensi yang harus diemban tatkala mengafirmasi diri bahwa tugas ini adalah bentuk ibadah. 
Berangkat pagi, pukul 08.00 WIB, tujuan saya langsung mengarah ke bilangan Demang Lebar Daun. Tepatnya, Rumah Sakit Islam Siti Khadijah. Lantaran, sendirian tugas yang mesti dilakukan terasa sedikit berat. Kendati demikian tak melunturkan niat untuk menuntaskan proyek kemanusiaan ini.
Sebagai catatan, sebelumnya tim gerakan peduli Dimas telah menempuh berbagai cara menembus barikade birokrasi yang mengawal prosedur persyaratan pengobatan gratis. Alurnya dimulai dari persyaratan teknis, seperti kartu tanda pengenal (KTP) dan kartu keluarga (KK). Kemudian, ditambah dengan persyaratan khusus yang diminta langsung oleh petugas Jamsoskes RSMH yang langsung mendisposisi berkas surat ke dinas kesehatan Provinsi Sumsel. 
Berbagai upaya kami tempuh, termasuk menunggu dokter yang akan ditugasi mengurus surat rujukan pasien ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sebenarnya, pihak RSMH dan bagian Jamsoskes RSMH telah memberikan sinyalemen positif terkait pemberangkatan pengobatan Dimas ke Jakarta. 
Namun, ketika disposisi surat yang diantar salah seorang relawan ternyata mengalami benturan dengan dua berkas khusus yang menurut petugas Dinkes Provinsi merupakan prosedur wajib yang mesti dilalui. Implikasinya, bila kedua berkas tersebut tak segera dipenuhi, maka pasien bisa saja ditolak oleh pihak RSCM Jakarta yang menjadi rujukan rumah sakit se-Indonesia.
Kedua berkas tersebut merupakan, surat rekomendasi dari Direktur RSI Siti Khadijah dan surat rujukan dari Puskesmas setempat dimana pasien berdomisili. Syarat yang kedua, mampu dipenuhi. Namun, hambatan justru datang pada saat proses pemenuhan syarat yang pertama. Tak puas dengan informasi yang diberikan oleh pihak Dinkes Provinsi, hal tersebut langsung kami konfirmasi kepada pihak RSI Siti Khadijah yang dalam hal ini Kepala Bagian Humas RSI Siti Khadijah, Aris.
Aris mengatakan pihaknya merasa aneh dengan apa yang telah diminta oleh pihak Dinkes terkait dengan pemenuhan syarat khusus yang mesti dicantumkan dalam lampiran berkas rujukan. Sembari menyodorkan berkas yang telah tim penuhi, menurutnya berkas tersebut telah komplit dan tidak perlu ada penambahan syarat lagi. 
Lantas, hal ini langsung kami tanyakan kembali kepada pihak Dinkes Provinsi. Mereka justru malah balik menuding bahwa RSI Siti Khadijah sebelumnya pernah melakukan hal yang sama terkait dengan surat rujukan. Bahkan, pihak Dinkes memberikan contoh surat terdahulu yang pernah melakukan rujukan ke pusat. Tanpa panjang lebar, waktu kian mepet kami pun kembali menyambangi RSI Siti Khadijah. Dengan sedikit nada emosi dan nafas yang terengah-engah, memang benar bahwa RSI Siti Khadijah pernah melakukan hal serupa sebelumnya. Barangkali karena RSI Siti Khadijah tengah ada agenda rutin, yakni ulang tahun membuat petugasnya sedikit bingung untuk melakukan pekerjaan. Konsentrasinya buyar ketika disodorkan sejumlah urusan rumit yang komplikatif seperti ini ditengah euforia yang akan mereka selenggarakan.
on Selasa, 21 Februari 2012
Buang Koruptor Pada Tempatnya (Penjara)
Pernah mendengar berita yang memberitakan kondisi pengelolaan sampah di negeri ini ? Terakhir, Pewartaan media mainstream terkait dengan kondisi persampahan di negeri ini diliput oleh stasiun televisi, TV One. Seperti biasa, sebagai TV berita, TV One  memberikan pola kritis yang konstruktif terhadap sajian berita yang ditampilkan. Namun, terkadang kaedah jurnalistik yang berlaku umum kerap kali diabaikan dalam proses pemublikasian otentifikasi data sebelum diterbitkan. Sebagai contoh terakhir adalah menyoal kondisi persampahan di Indonesia.
Menilik masalah persampahan di Indonesia, sudah semestinya hal ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia untuk menangani kasus pengelolaan sampah. TV One menyebutkan, sampah yang dihasilkan oleh Ibu Kota bisa mencapai 6000 Ton per harinya!. Tentu hal ini menjadi riskan, ditengah banyak kota yang beramai-ramai bersaing memprebutkan Piala Adipura sebagai kota terbersih, namun menjadi ironis lantaran kebersihan kota hanya ditinjau dari beberapa titik. Tidak komprehensif. 
Terkadang, terlintas dalam benak pikiran pentas bersih-bersihan tersebut hanya sekedar formalitas yang penuh dengan unsur manipulatif. Palembang, dalam beberapa tahun menjadi bahan perbincangan lantaran grafik indeks perkotaan modern mengalami peningkatan. Konkritnya, Palembang menyabet gelar Piala Adipura sebagai kota terbersih di Indonesia. 
Namun, bila hal tersebut ditelaah dalam kajian empirik, tentu sangat kontras dengan realitas di lapangan. Seolah menjadi dalih, wacana kota terbersih yang didengung-dengungkan hanyalah servis politis dalam meneggelamkan sisi kelam kota Palembang.
Kota Palembang yang beranjak metropolitan tentu menghadapi arus deras globalisasi yang menghanyutkan nilai-nilai dan norma hukum adat yang berlangsung dalam tempo yang cukup lama. Komposisi ini justru makin diperparah dengan edukasi moral yang makin minim diajarkan di tingkat sekolah-sekolah. Menjadi ironis, sebagai kota yang berbudaya Palembang justru menjadi kota yang berbahaya. Pesatnya perkembangan ekonomi di sejumlah kota di Indonesia, yang ditandai dengan berdirinya kondiminium megah justru menjadi penyumbang penghasil sampah terbesar. Pernah anda menonton informasi promosi riil estate yang biasa disiarkan di Metro TV. Seperti biasa, developer jelas menyodorkan keuntungan yang dapat didapat ketika membeli salah satu tipe/cluster yang ditawarkan. Banyak program yang ditawarkan, seperti halnya One Stop Living Concept, Water Treatment, Free Access, Bebas Banjir, Bebas Macet dll. Semua dibeberkan dalam rangka promosi rutin yang dilakukan perusahaan pengembang. Memang, sepintas apa yang ditawarkan mereka seolah menjadi lokasi hunian nyaman bagi keluarga. Semua lengkap, mau RS standar Internasional ada, mau akses ke Bandara cepat, mau belanja tinggal jalan. Namun, satu hal yang menjadi ironis adalah pasca pendirian real estate itu sendiri lantas mau dibawa kemana limbah yang dihasilkan oleh super blok nan megah menjulang tinggi mencakar langit tersebut? Wajar bila Jakarta langganan banjir lantaran semakin sempit revitalisasi lahan lantaran alih fungsi lahan yang menjadi pusat bisnis dan investasi. Limbah dan sampah yang dihasilkan dari super blok tersebut justru mengalir ke perumahan-perumahan penduduk disekitar areal super blok.
Tak hanya bergelayut dalam persoalan sampah yang dihasilkan oleh manusia, dibalik itu negeri ini seolah menjadi kaya akan manusia seperti sampah. Yang kotor, tidak bermoral, pendusta dan hanya menjadi kerugian bagi kebanyakan orang. Saban hari, kita menyaksikan berita yang memberitakan kasus korupsi. Triliunan milyar uang negera dirugikan oleh ulah koruptor. Namun apa? koruptor masih tetap gagah dengan dandanan necis plus senyum manis yang mampir ke kamera wartawan. Sembari melambai-lambaikan tangan meminta dukungan tanpa pernah merasa "diri ini penuh dosa" ?. Apa harus, Tuhan mengirimkan azab seperti halnya kaum Nabi Luth dan membinasakan satu generasi yang dipangkas oleh air bah dan digantikan tunas-tunas baru yang memberikan harapan cerah untuk berpikir lebih jernih dan bersih. Negeri ini memang kaya(k) sampah.
on Sabtu, 18 Februari 2012


Salah satu bentuk diskriminasi
Kesalahan mendasar yang paling fundamental dialami bangsa Indonesia adalah krisis jati diri. sifat penjilat dan bermuka dua adalah kesalahan fatal yang sangat krusial menjalar kedalam volkgeist bangsa Indonesia. pameo yang menyebutkan bilamana warga masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah tamah adalah kebohongan besar dalam diri bangsa Indonesia. jati diri bangsa yang compang-camping ini terus mengoyak batin ibu pertiwi yang tengah menangis perihal kelakuan warga yang duduk dan berdiri, menggantungkan hidup dan melapangkan hati di Bumi Ibu Pertiwi.
sungguh ironi, image Indonesia dimata dunia yang dikenal sebagai negara yang ramah akan kehadiran tamu asing adalah bullshit. hal tersebut adalah kebohongan besar yang terpatri dalam jiwa-jiwa negarawan palsu yang saat ini tengah ‘menyibukkan diri’ membuat program penctraan diri demi popularitas tanpa batas. hingga dikenal sebagai orang dermawan. padahal strategi tersebut adalah untuk menjatuhkan lawan.
lantas, siapa yang mesti disalahkan ? behavioralisme masyarakat Indonesia yang ewuh pakewuh adalah karakteristik busuk masyarakat Indonesia. muka-muka penjilat yang lapar akan amanat (jabatan, red). kerap muncul disektar kita. berlagak tamah namun tersirat kelakuan yang serakah. sungguh, ini adalah sebuah diskriminasi yang sangat akut yang tengah menjadi pandemi bagi masyarakat Indonesia. penyakit ini lebih ganas bahkan langsung terasa sekejap mata. penyakit hati jauh lebih menyakitkan ketimbang rasa sakit yang dirasakan langsung oleh tubuh kita. diskriminasi kadang membuat kita menjadi geram, kesal bahkan bila terendap dalam waktu yang cukup lama maka akan absurd dan irasional.
kegelisahan yang saya rasakan betapa masyarakat Indonesia sudah sedemikian ‘menjilat’ terlihat dari berbagai sektor kehidupan. mulai dari jasa pelayanan publik, aksesifitas sarana publik, hingga interaksi horizontal sesama jelata pun kerap diwarnai tindak diskriminasi, sekalipun itu kecil. ambil contoh, bila anda menaiki sebuah moda transportasi publik yang biasa anda gunakan ketika anda hendak mencapai tempat kerja ataupun kuliah, saban hari yang bakal anda temukan lazimnya di Indonesia pelayanan yang biasa-biasa plus sambutan tak menyenangkan dari awak bus yang mengendarai transportasi umum tersebut. namun, bila anda jeli melihat situasi kondisi akan kontras kejadiannya bilamana tamu besar/gubernur/walikota/pejabat yang menaiki moda transportasi tersebut. sambutan yang super ‘wah’, bila perlu disambut dengan karpet merah, senyum sumringah nan lebar akan menjadi pemandangan utama ketika yang datang adalah elitis negeri. bahkan baru-baru ini, informasi yang merebak bahwa disebuah daerah kecil di Indonesia segera akan disambangi Presiden Indonesia, SBY. akses jalan yang bakal dilalui SBY diberitakan bakal diperbaiki hingga sang-Presiden lancar, aman, dan nyaman melintasi ruas jalan daerah tersebut. sempat terbesit pertanyaan yang terlintas dalam benak pikiran, sebenarnya negara ini milik elitis ataukah rakyat ? bila mengedepankan rakyat sudah jelas tertera dalam amanat konstitusi negara Indonesia yang termakntub dalam Pasal 2 UUD’45 bahwasannya kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan melalui UU. namun, fakta dilapangan ? nol besar.  lantas, bila mengedepankan elitis dengan alasan penghormatan rasanya kurang etis menyebutnya sebagai sebuah penghormatan. bagi saya pribadi, mereka hanyalah sekelompok orang tak berguna, lantaran yang menjalani hidup adalah saya. terus terang, kerja keras sayalah yang menghantarkan saya kedepan pintu gerbang kesuksesan (tinggal takdir Tuhan YME) bukan atas hasil kinerja elitis. mereka cuma datang seketika, ingat sesaat dan lupa selamanya. sekelompok kaum minoritas yang tidak tahu diri, menggantungkan hidupnya dari sebuah marker hitam berharap kelak mereka yang mencalonkan diri sebagai pejabat pemerintahan bakal dipilih dengan suara terbanyak dan berasumsi bahwa disenangi banyak kalangan. toh, yang dicari oleh masyarakat negeri ini bukan ketampanan ataupun kekayaan calon elitikus, melainkan kompetensi diri. namun, karena pada dasarnya sudah tidak tahu malu, yah apa mau dikata ?
satu lagi, saya pernah menangkap gerak komunikas verbal dari seorang dosen saya di kampus merah-ku tercinta. masih cukup relevan dengan tulisan saya satu ini. singkat cerita, tutur sang dosen adalah mengeluhkan tindak diskriminasi karyawan terhadap dirinya sebelum menjabat sebagai elit kampus. contoh kecil yang bisa ditarik pelajaran bahwa janganlah sekali-kali membedakan seseorang lantaran status, latar belakang ataupun tingkat sosial dan edukasional yang mereka dapat. namun, hargailah seseorang tersebut karena bila kita mau dhargai. berilah dirinya penghormatan dan jamuan yang baik sekalipun itu pahit karena urusan pribadi yang menumpuk. sambutlah dengan senyuma walaupun tersirat senyum palsu tatkala pikiran tengah melanglang buana jauh ditengah samudera. ingatlah, dunia ini ibarat minum air. tidak akan selamanya. satu hadits yang saya harap cukup untuk mengkontemplasikan pola pikir kita menjadi lebih baik
“Pada surah 4, An-Nissa’, ayat 140 Tuhan berfirman”
“…Tuhan akan mengumpulkan orang2 Munafik dan yang tak beriman di Neraka”
Semua ayat2 lain yang mengacu orang2 Munafik mengisyaratkan mereka ke neraka selamanya.
Tuhan telah berfirman. Dia telah mengeluarkan perintah-Nya; jelas dan tegas. Jangan membeda2kan para utusan-Nya, hubungan kalian dengan mereka adalah suatu hal yang terpisah. Bila kau lakukan itu, tidak saja bahwa kamu itu tak patuh pada Tuhan tetapi juga per definisi, adalah tak beriman. Tak ada di dalam Quran Tuhan memerintah kita untuk bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya tetapi justru Dia-lah, namun demikian, memerintah kita untuk menerimanya sebagai utusan dan percaya kepadanya dan berjuang serta mendukungnya dan mengikuti cahaya terang yang dikirimNya bersamanya

Libur lagi..libur lagi. entah ini sudah menjadi kebiasaan bangsa Indonesia yang kerap meliburkan diri atau memang ada motif yang cukup positif bagi semua kalangan. yah, memang benar bila hari libur adalah waktu yang tepat untuk dijadikan sarana merefresh diri tatkala jenuh pada pekerjaan yang tengah dilakoni.
Indonesia adalah negara dengan hari libur terbanyak
namun, “bila terus-terusan libur ?”, sebagai bangsa yang sedang berbenah menuju bangsa yang dihormati seharusnya keberadaan hari libur ini setidaknya bisa diminimalisir. karena apa, contoh Jepang dan Korea yang hanya memiliki hari libur sebanyak hitungan jari (diluar kalender Georgia yang setiap minggu adalah hari libur). Jepang dan Korea adalah dua negara dengan ras yang berada. bangsa mereka dihormati lantaran keuletan dan disiplin mereka yang tinggi. sanjungan kepada kedua bangsa tersebut sudah hampir diketahui di pejuru dunia. siapa yang tidak kenal dengan Toyota? siapa yang tidak kenal dengan Samsung? kedua produk tersebut adalah residual dari bukti nyata bahwa bangsa tersebut adalah bangsa yang ulet, tangguh dan rajin. lalu, apa relevansinya ? tentu ada. betapa, kedisiplinan dibangun dari kesadaran dari segenap pihak terkait (pemerintah dan rakyat) untuk lebih reaktif dan reponsif atas tugas yang diemban sebagai warga negara yang baik. mereka sekolah sama seperti bangsa Indonesia, mereka bekerja sama seperti Indonesia tapi satu yang beda. mereka sedikit hari libur yang membuat eskalasi produktifitas kinerja mereka juga meningkat.
Indonesia? jangan tanya. surat keputusan bersama tiga menteri (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Pendayagunaan dan Reformasi Birokrasi, Menteri Agama, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. yang menetapkan bahwa hari ini, Senin (16/5) adalah rangkaian cuti bersama berhubung besok selasa (17/5) 2011 bertepatan dengan hari raya umat Budha, Waisak. saya masih toleran bila dijatuhinya ketetapan (Beschiking) mengenai Hari Raya Umat Budha, Waisak. namun, yang saya agak geleng-geleng kepala adalah kenapa senin (16/5) 2011 sehari sebelum perayaan waisak digulirkan harus diliburkan dengan SKB Tiga Menteri atas nama cuti bersama.
banyak pula, yang keberatan dan menolak keputusan SKB Tiga Menteri ini. salah satunya adalah Sukarta. dalam petikan wawancaranya yang saya kutip dari Tempo Interaktif dirinya menyebutkan “Kami tetap menghormati surat keputusan bersama tersebut,” kata Sekretaris Daerah Kota Surakarta Budi Suharto saat ditemui, Senin, 16 Mei 2011. Namun, mereka tetap memutuskan untuk tidak libur dengan pertimbangan pelayanan kepada masyarakat. Keputusan tersebut telah disebar ke semua satuan kerja, beberapa saat setelah pemerintah memutuskan cuti bersama.” begitu katanya.
bukan tanpa alasan kenapa saya keberatan dengan keputusan SKB Tiga Menteri secara legal formal dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. (i) Indonesia sudah terlalu banyak hari libur. hal ini membuktikan dari ekses behavioral dari para penetap kebijakan kita yang secara implisit bsa diasumsikan adalah pendamba hari libur. lagipula, kekuatan hukum SKB Tiga Menteri tersebut masih jauh dibawah tata aturan peraturan per-UU-an yang berlaku di Indonesia (Lihat UU No.10 Tahun 2004 ttg Asas Per-UU-an). artinya, secara yuridis tak menyoal seharusnya instansi-instansi swasta ataupun negeri untuk tidak menaati aturan tersebut. karena sifatnya tidak imperatif dan sifatnya(SKB 3 M) hanya Mogen (kebolehan). (ii) Hari Libur bersifat tidak mendidik.Korea Selatan bisa diambil contoh, negara tersebut hanya mempunyai 11 hari Libur nasional. bandingkan dengan Indonesia, yang mencapai 70-an hari libur nasional plus hari-hari dipaksa ‘diliburkan’. perlu dicermati dengan seksama, korelasi hari libur dengan pembangunan bangsa. semakin sedikit bangsa itu hari liburnya maka semakin besar pula kemungkinan bangsa tersebut untuk maju. Korsel dan Jepang adalah contoh nyata perhal sedikitnya penanggalan mengenai hari libur. karena apa, dengan sedikit hari libur pekerja bisa secara produktif bekerja dengan rajin, siswa/siswa bisa dengan rutin belajar setiap harinya. berbeda dengan Indonesia, hari libur begitu banyak. libur sering dimaknai dengan kebebasan. bebas dari belenggu pekerjaan, bebas dari tugas-tugas yang bekeberatan, bebas dari segala tuntutan. hal inilah yang sangat saya khawatirkan, kultur sebagian besar bangsa Indonesia yang mengasosiasikan libur sebagai bebas (free) sangat miris sekali. mengapa ? kewajiban sebagai negarawan yang baik yang patuh pada regulasi kewargaan negara yang baik luput dan tereduksi lantaran ekses dari asosiasi hari libur. inilah yang sangat dikahwatirkan, tugas dan kewajiban negara kemungkinan besar lalai perihal definisi libur sebagai kebebasan. bila, anda rajn mengoleksi dan gemar menonton film-film produksi Hollywood yang menayangkan mengenai kehdupan masyarakat Amerika yang dinamis, penuh tuntutan pekerjaan namun ada sis edukatif yang dapat dipetik dari penggalan adegan yang dilakoni yang bisa dijadikan contoh yang positif bagi bangsa Indonesia ini. yakni, tidak lepas tanggung jawab. film-film produksi Hollywood seringkali menceriterakan skrip film dengan adegan seroang yang bekerja namun pada hari liburnya yang Ia lakukan adalah menuntaskan pekerjaan dan berkumpul bersama keluarga. bukan, berleha-leha dirumah sembari tidur-tiduran dan bangun pagi yang menjelang siang. sangat kontras dengan kultur bangsa kita. walaupun film tersebut hanya adegan fiktif, namun hal tersebut dapat mewakili kehidupan sesungguhnya bangsa Amerika. karena, adegan dtersebut merupakan adegan yang jarang menjadi bahasan publik lantaran adegan tersebut biasa-biasa saja. nah, adegan-adegan biasa seperti inilah yang sebenarnya menjadi taste dan naturalnya film tersebut. jadi, cukup sekali untuk menggambarkan kehidupan publik amerika secara shortcut dalam sebuah film.
maka, seharusnya pemimpin negara ini berkaca dan mencontoh negara-negara lain yang lebih dahulu maju. bukan, sistem ekonomi ataupun politik yang ditiru, bukan mekanisme pemilihan umum yang ditiru, bukan pula sistem pendidikan yang perlu ditiru dan diimplementasikan di Indonesia supaya negara ini maju dan menjadi bangsa yang disegani. tapi, contohlah pembanguna  karakter disiplin dan manajemen massa yang mesti dipelajari oleh pemimpin bangsa ini. pembangunan perencaan ekonomi secara pragmatik ataupun visioner adalah ekstensfikasi dari tugas seorang pemimpin. bagaimana bangsa ini bisa maju bila pemimpinnya sendiri ‘meliburkan diri’ dari tugas kenegaraannya. (lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2011/05/16/brk,20110516-334711,id.html).
Satu kutipan menarik yang dapat saya rangkum dari sebuah pernyataan terbuka dari Andreas Harsono ketika saya beserta dua orang delegasi LPM Media Sriwijaya lainnya mengikuti pelatihan manajemen web se-Sumatera. Saya, Maman, dan Ardian mewakili LPM Media Sriwijaya untuk turut serta dalam pelatihan yang digeber di Universitas Lampung ini. Sedikit deskripsi mengenai Andreas Harsono. Pria berkulit putih yang merupakan alumnus Harvard University ini seolah membuka cakrawala berpikir saya sebagai seorang jurnalis. Sederhana sebetulnya. Tak ada yang istimewa dari pernyataan seorang Andreas Harsono yang merupakan salah seorang jurnalis besar di nusantara. Pernyataannya simpel namun syarat akan makna yang dilontarkannya kepada partisipan PMWS 2011 cukup membuat otak saya seolah bergelayut. Disela-sela presentasinya mengenai Citizen Journalism, ia menyebutkan satu lontaran kalimat provokatif berupa “DetikCom adalah contoh media yang tidak baik”. Perihal apa Andreas melontarkan pernyataan demikian, hal tersebut merupakan refleksi atas pertanyaan salah seorang peserta yang bertanya mengenai “Pagar Api”. Sebelumnya, saya jelaskan dulu apa itu “Pagar Api” ?
Bagi kalangan jurnalis, istilah pagar api bukan barang baru yang mampir ke telinga si kuli tinta. Utamanya pers mahasiswa, pagar api adalah konotasi bagi sebuah layout grafis media online yang memisah batas secara tegas antara berita dan iklan. Antara idealisme dan profesionalisme. Jadi, si-penulis buku yang mengelaborasi sebuah pemikiran kreatif berbalut akidah jurnalistik “Agama Saya adalah Jurnalisme” itu menerangkan betapa bagi seorang jurnalis itu utamanya adalah berpikir merdeka. Relavan dengan jargonnya Teknokra “Tetap Berpikir Merdeka” bukan tanpa alasan kenapa sang empunya argumen berkata demikian, hal tersebut merupakan refleksi semakin tereduksinya permainan warna jurnalistik oleh pigura duniawi yang tidak artistik.
Kecenderungan media (sekarang) yang orientasinya bisnis-sentris mengindikasikan betapa esensi dan semangat seorang jurnalis itu semakin runtuh. Kegamangan media terhadap sejumlah ekspansi bisnis membuat tuntutan terhadap media semakin menyelekit. Media dituntut untuk tetap mengedepankan kaedah jurnalistik yang berlaku umum ketimbang memproporsikan kebutuhan finansial media yang semakin kompetitif dimakan zaman. Media yang diharapkan masyarakat adalah pemberitaan yang aktual, faktual dan terpercaya. Bukannya malah menjadi wahana baru bagi pebisnis dalam memasarkan produknya lewat media. Bak pribahasa ada gula ada semut, media sekarang menjadi seperti syurga baru bagi pengusaha. Hal ini sempat diulas Andreas Harsono yang mendeskripsikan 9 elemen jurnalistik.
Berangkat dari pemikiran Andreas, reformasi media sudah selayaknya digalakkan. Saya teringat dengan kampanya tim Cipta Media Bersama yang pernah menyambangi FH Unsri untuk memberikan semacam sosialisasi dan edukasi bagi insan pers mahasiswa yang ideal. Antara lain, kesetaraan media, advokasi media, dan kita butuh pembela.
Kekeliruan dan tantangan yang paling besar bagi insan pers secara kontekstual masih berada pada bias ideologi dan pemahaman. Andreas Harsono memaparkan secara eksplisit betapa insan pers saat ini menghadapi dilema antara idealisme dan profesionalisme. Kesalahan mendasar yang secara gamblang dapat kita ketemukan dalam pemberitaan yang saban hari menghiasi layar kaca dan headline media cetak nasional mengerucut pada pemberitaan yang tidak seimbang, memberitakan kesedihan, dan berakar pada adagium bad news is a good news. Pemaknaan bahwa berita yang sedikit dibumbui ‘penyedap’ menjadi corong media cetak nasional yang semakin besar seolah membuat ruang gerak jurnalis idealis semakin sempit. Sudah selesai sampai disitu ? belum jawabanya. Jurnalis kita masih berada pada dua bias. Bias agama dan bias Indonesia. telaah subjektif yang sedikit member nuansa edukatif pemikiran bahwa jurnalis kita menghadapi tantangan dalam pewartaanya. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Muslim kerap membuat wartawan yang seiman meluputkan diri dari perhatian masyarakat dunia tentang kedok dibalik insania agamanya. Jurnalis terkadang menghadapi dilemma diantara seabrek fakta dan realita yang tengah menghadap didepan matanya. Namun, lagi-lagi bias agama dan rasa ketidak manusiaan harus disingkirkan agar agama sendiri tidak di jadikan sebagai kambing hitam. Contoh kasus, pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik yang mengundang perhatian media internasional seperti CNN, NBC dll justru tak diminati secara serius dan ekslusif oleh wartawan lokal. Wartawan lokal cenderung main aman dalam memposisikan dirinya sebagai seorang jurnalis dan agamis. Perbedaan paling gambling adalah ketika wartawan nasional dan wartawan internasional meliput kasus yang sontak membuat gaung Bhinneka Tunggal Ika terusik. Andreas Harsono menjelaskan hal itu kepada saya betapa sebenarnya media-media nasional mengalami segregasi pemikiran dengan media internasional. Lantas, mestikah kita menjadi seorang atheis dan apartis untuk menjadi seorang jurnalis idealis ? tentu saja tidak. Yang dibutuhkan tentunya hanya keberanian. Berani dalam mengambil sikap yang tidak berani diambil oleh orang lain. Berani dalam berbicara ketika orang lain bungkam dan diam seribu bahasa. Berpikir merdekalah, karena itu hak kita. Hak politik yang diberikan Negara kepada kita mengapa kita tidak menikmatinya. Tetap Berpikir Merdeka !
Dok.Media Sriwijaya
Terkait dengan semaki urgensinya badan konsultasi dan bantuan hukum di lingkungan kampus merah, FH Unsri sengaja mengadakan semacam pertemuan dengan sivitas akademika FH Unsri. Bertempat di ruang Prof. Zainal Abidin, SH Rabu (28/5) program BKBH yang digawangi Fahmi Yoesmar, S.H., M.S dkk ini mencoba menarik ulur segenap potensi yang terdapat pada mahasiswa dan dosen-dosen FH Unsri. Menurutnya, program BKBH ini pun tidak hanya terbatas pada pengajar saja, melainkan pula peserta didik yang tengah mengenyam pendidikan strata satu (S1) turut pula disertakan dalam pengembangan program BKHB kedepan. “mahasiswa akan terlibat dalam proses pengembangan BKBH” tutur Fahmi Yoesmar yang kini menjabat sebagai Pembantu Dekan I bidang akademik FH Unsri.
Tak banyak yang disyaratkan agar dapat menjadi anggota BKBH. Bagi mahasiswa, apabila telah merengkuh kredit semester sebanyak 130 SKS hal tersebut sudah cukup membuka peluang mahasiswa untuk dapat mengaplikasikan teori yang dipelajari semasa duduk dibangku kuliah dan terjun langsung ke lapangan menyelesaikan dan memperbantukan masyarakat dalam menangani persoalan hukum. Namun, mahasiswa yang telah memenuhi syarat adminstratif sebagai anggota BKBH akan diuji kelayakan terlebih dahulu, untuk mengetahui kompetensi mahasiswa dalam membantu BKBH menjadi solusi cerdas biro bantuan hukum paling efektif.
Lanjut, Fahmi Yoesmar dalam sajiannya dihadapan tim Asia Foundation dan segenap sivitas akademika menerangkan sejumlah program kerja yang bakal dicapai BKBH kedepan. Antara lain, BKBH akan mengadakan workshop pengembangan kurikulum Fakultas Hukum. Kemudian, dilanjutkan dengan mendatangkan Techincal Assistance sebagai narasumber. Pengenalan modul pada PLKH, pelatihan peningkatan instruktur PLKH pun menjadi perhatian serius Fahmi Yoesmar dalam mengembangkan BKBH kedepan.
Sampai-sampai, dirinya mengutarakan perhatiannya demi menjaga asa konsistensi dan kompetensi anggota BKBH maka akan dilakukan pelatihan bagi para pengelola/pengajar BKBH dengan materi, pola pembimbingan dan evaluasi.
Tak ayal, tim Asia Foundation menyampaikan keterkesanannya terhadap program BKBH FH Unsri ini. perwakilan Asia Foundation mengindikasikan terbuka lebarnya program kerja sama antara Asia Foundation dengan FH Unsri. melalui program E2J (Equipment, Educating, dan Justice) coba dirangkum Asia Foundation agar elemen kampus dapat menjadi produk unggulan dalam pengentasan masalah hukum. Pasalnya, program E2J ini menggabungkan dua unsure yang dielaborasi secara langsung melalui kekuatan CSO dan kekuatan Fakultas Hukum. Diharapkan, kekuatan CSO yang advokatif dan Social and Public Campaign itu dapat bekerja secara simultan dengan riset/penelitian yang lazim digerakkan dunia kampus.
Sekedar informasi, Tim Asia Foundation menyediakan fullbright Scholarship bagi alumnus FH yang pingin melanjutkan studi ke Negeri Paman Sam secara free alias gratis.
on Jumat, 17 Februari 2012
Sumsel Post
Telah hampir satu bulan program afiliasi kemanusiaan ini dijalankan. Tak ubahnya air laut, gelombang nurani itu pasang surut. Maklum, kegiatan berlabel aktifisme ini memang nihil materi. Akan tetapi, seiring dengan niat awalan yang bertujuan untuk membantu sesama ini, selalu kesulitan itu menuai jalan dari-Nya. Kendati harus dirong-rong dengan seabrek aktifitas pribadi yang terkadang tak kenal kompromi, namun semua itu masih dapat diatasi meskipun harus rela dengan berat hati meninggalkan kegiatan lain.
Pembentukan program gerakan peduli dimas sendiri ternyata membawa angin segar betapa misi kemanusiaan ini masih berada dalam lalu lintas rel yang linear dengan roda kereta. Disitulah sejumlah lembaga mencoba mengikatkan diri untuk menggerakkan program gerakan peduli Dimas. KSI, LPM,Walhi, Bumbata, BEM Unsri, dll bersatu. 
Awal kegiatan gerakan peduli Dimas dimulai dengan pagelaran konferensi pers. Memang tak banyak insan pers yang datang pada saat konferensi pers di sekretariat Walhi berlangsung. Terhitung hanya empat wartawan dari empat media cetak/online di Sumsel yang datang pada saat konfrensi pers. Namun, perlahan publikasi media itu makin meningkat. Terbukti dengan 'diburunya' nomor ponsel saya (karena tertera pada banner program peduli dimas) oleh sejumlah wartawan yang menanyakan publikasi media menyoal kondisi Dimas. 
Baru-baru ini, media cetak lokal meliput pewartaan terkait kondisi Dimas. Kendati berita yang disampaikan agak sedikit dilebih-lebihkan, namun paling tidak pers memberikan kontribusi nyata soal penyebar luasan informasi. Pasalnya, untuk meningkatkan program penyadaran massal masyarakat terhadap kondisi masyarakat diluar sana yang tersisihkan dibutuhkan peran serta media sebagai mediator informasi kepada khalayak.

on Kamis, 16 Februari 2012
Berangkat dari pengalaman pribadi, namun coba saya singkap untuk sekedar berbagi pengalaman penting yang barangkali bermanfaat bagi insan pembaca yang budiman dan blogger yang berbudi pekerti.
Periode perkuliahan semester genap di FH Unsri ditandai dengan bermacam kesibukan aktifitas kampus yang kembali menggeliat. Pasca libur semester ganjil setahun silam, denyut kehidupan kampus kembali bermula dengan hiruk pikuk aktifitas civitas akademika yang kembali berdetak. 

Sejuta asa digenggam, memperbaiki nilai semesteran atau sekedar meningkatkan prestasi nilai yang diraih. Semua melebur menjadi satu ketika jadwal perkuliahan kembali digulirkan. Seperti biasa, pra-perkuliahan selalu diisi dengan proses pengisian kartu rencana studi (selanjutnya KRS) yang akan ditempuh selama satu semester mendatang. Ada tipikal mahasiswa yang dengan gagahnya menyodorkan kartu hasil studi (selanjutnya KHS) berupa hasil nilai semester sebelumnya kepada pembimbing akademik (selanjutnya PA). Namun ada pula tipikal mahasiswa yang pesakitan membawa bongkahan map berisi data akademik kepada PA. Akan tetapi, semua itu hanyalah sepercik hikmah akademis yang dapat dipetik untuk menjadi pembelajaran selanjutnya.

Pendidikan sebagai asa meraih cita-cita
KRS menandai bahwa inilah preface (kata pengantar) mahasiswa untuk menapaki satu semester mendatang. Terkadang, KRS seringkali menimbulkan kompleksitas permasalahan yang bersifat traditif. Dis-sinkronisasi jadwal mata kuliah satu dengan yang lain jamak terjadi. Seolah sudah menjadi tradisi turun temurun, tak ada penyelesaian akomodatif yang melibatkan segenap elemen terkait untuk menuntaskan persoalan demikian. Semua itu hanya dibiarkan membesar bak jamur yang merambah kulit hingga membuat kulit menjadi pesakitan.
Peralihan sistem akademik di Unsri dari manual ke otomat ternyata tak selalu linear dengan ekspektasi awal yang berasumsi bahwa sistem baru dapat menyelesaikan persoalan akademis yang kian akut.
Barangkali, Unsri masih butuh adaptasi terhadap sistem yang terbilang baru di belantika per-akademikan perguruan tinggi Sumsel. Walaupun daerah lain telah lebih dulu melakukan penyelerasan sistem dengan faktor-faktor pendukung lainnya. Tetap saja, bagi Unsri hal tersebut bukan menjadi acuan. Sembari melirik Unsri world class university 2015, seharusnya implementasi sistem yang baru telah siap pakai dan matang dalam proses manajemensasinya.

Baru-baru ini pengalaman saya dapat dijadikan cambukan bagi Unsri yang mencoba bermetamorfosis menjadi universitas kelas dunia. Kelas dunia macam apa ? patut dipertanyakan. Secara, untuk pengelolaan aspek penting penunjang metamorfosa Unsri menjadi kelas dunia harus dipenuhi. Sebelumnya, mimpi Unsri untuk menjadi top dunia harus ditapaki dulu secara perlahan mulai dari top Sumatera. Benar bila secara statistik Unsri merupakan perguruan tinggi nomor wahid di luar Pulau Jawa. Namun, bila ditinjau skala nasional, Unsri bisa dibilang masih terbelakang.

Belum efektifnya jadwal perkuliahan di Unsri secara manusiawi, ditambah dengan masih banyaknya pegawai Unsri dibawah standar kompetensi internasional, plus infrastruktur penunjang efektifitas perkuliahan menambah deretan panjang daftar perbaikan yang harus sesegera mungkin diatasi oleh pemimpin Unsri (rektor, pen) dan ketidak seimbangan arus informasi satu fakultas ke fakultas/lembaga lain. Semua berjalan sendiri, mengurus keperluan sendiri tanpa peduli menghiraukan tetangga akademik yang barangkali tengah morat-marit mengelola aktifitas kampus di fakultas/jurusan masing-masing. Padahal, civitas akademika Unsri berhak dan wajib untuk berdifusi bersama-sama berkomitmen membangun Unsri terdepan dengan persatuan dan kesatuan civitas akademika selaras dengan koordinasi yang apik tanpa perlu memandang keterpurukan dan latar belakang masing-masing.

Contoh sederhana adalah, egoisme akademik antara Lembaga Bahasa dan FH Unsri. Ini perlu saya informasikan lantaran, inilah Unsri memperlakukan mahasiswa yang katanya manusiawi?. Kendati bukanlah sebuah hal yang patut untuk dibesar-besarkan dan menjadi isu masif, namun perlu ditelaah kenapa peristiwa ini selalu menjadi persoalan klasik yang tak menuai solusi. Persinggungan antara FH Unsri dan Lembaga Bahasa menjadi contoh konkrit egoisme akademis yang kadang terlintas dalam benak "inikah jenis kejahatan akademik yang dialami mahasiswa"

Layakkah mahasiswa menganggap bahwa kedua belah pihak telah mendzalimi hak mereka untuk menempuh pendidikan secara wajar tanpa perlu memandang hambatan yang menuai badai. Sulitnya melakukan lobi akademis kepada masing-masing penanggung jawab kedua belah pihak yang bersikukuh dengan pendiriannya betapa apa yang telah mereka lakukan adalah satu hal yang wajar dan menjadi kebenaran absolut dan sulit untuk dibantah. Terkadang, dosen yang seharusnya menjadi 'teman' bagi mahasiswa justru menjadi petaka betapa ketika kasus tersebut dibawa kedosen. Kondisi malah berbanding terbalik dari ekspektasi awal yang berasumsi bahwa kondisi pilu sedemikian rupa dapat diatasi dengan solusi yang arif. Alih-alih keluar dengan lapang dada, mahasiswa terpaksa harus mengelus dada sembari mendengar pernyataan sang dosen yang kerap menyesakan dada.

Barangkali tak banyak mahasiswa yang berani mengungkapkan sedikit ketidak validan manajemen kampus di Unsri. Kebanyakan dari mereka bungkam dan bergumam dalam hati seraya menunggu seseorang untuk berani berdiri di garda terdepan mengadvokasi dirinya. Selama tim pengelola kampus di Unsri masih L4 (lu lagi-lu lagi), maka kecil kemungkinan untuk mengubah wajah Unsri menjadi lebih baik. Layaknya pesan dalam botol, mungkin Unsri butuh pencerahan dalam menakhodai kapalnya.
on Rabu, 15 Februari 2012
Foto:Marzukialie.com

Kedatangan ketua DPR-RI, Marzuki Alie ke tanah kelahiran, Palembang menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat Palembang umumnya dan civitas akademika Unsri khususnya. Terang saja, pamornya dengan jabatan tinggi di pemerintahan RI plus cap masyarakat bahwa dirinya adalah kelahiran Palembang makin menarik minat warga berbondong-bondong mendengar paparan ilmiah dari sang ketua DPR.
Tak hanya itu, menjadi daya tarik tersendiri mengingat Marzuki merupakan alumnus Unsri lulusan Fekon Unsri. tentu, menjadi satu hal yang membanggakan mengingat alumnus Unsri mampu memimpin lembaga yang katanya merupakan representasi rakyat tersebut. dengan pengamanan ekstra ketat, kampus FH Sore yang biasa digunakan mahasiswa FH kampus Palembang disulap bak perayaan festival dengan tumpukan kendaraan yang tengah parkir di lapangan parkir FH Sore. Petinggi Unsri pun menyempatkan hadir melihat wajah alumni yang sukses membangun negeri.
Marzukie datang ke Palembang jelas bukan hanya sekedar kunjungan kerja dsb. Ia menyempatkan diri untuk memberikan materi kuliah umum bagi segenap civitas akademika Unsri. Selasa (14/2) bertepatan dengan Hari Valentine Marzuki mampir ke Unsri untuk menyoal masalah kenegaraan. Ia tak main-main, yang disambangi adalah Fakultas Hukum yang terkenal dengan logika hukum dan argumentasi yang proaktif. Bak masuk kandang macan, Ia berbicara mengenai paham kenegaraan ditengah mahasiswa hukum yang antusias mendengarkan dan menyaksikan ia memberikan paparan materi kuliah umum. Termasuk memberikan kritik, komentar atau bahkan sanjungan dan hujatan.

Foto:seputar-indonesia.com
Ditengah-tengah isu hangat yang merebak di ruang parlemen, Marzuki datang dengan berbicara masalah kenegaraan. Padahal, kompleksitas polemik yang menjamur di DPR seolah menjadi cambuk atas apa yang dipaparkan oleh dirinya. Betapa tidak, Ia berbicara dengan idealisme mengenai paham kenegaraan. Bagaimana menjadi seorang negarawan yang berdiri diatas kaki khalayak, bukan malah menjadi politisi yang cenderung Oligarki. 
Lantas, satu hal yang patut diacungi jempol oleh sosok Marzuki. Sosoknya yang bersahaja membuatnya tetap kokoh berdiri sebagai Ketua DPR-RI kendati isu tak sedap tengah menghampiri anak buahnya di media. Wajar, bila seharusnya Marzuki mengunjungi daerah-daerah untuk memberikan materi kuliah sebagai rasa memumpuk iman secara holistis agar nantinya kasus-kasus yang menerpa anggota DPR tidak kembali terulang. Sudah jamak kita dengar bahwa anggota DPR melakukan penyelewengan. Laiknya terdakwa, anggota DPR banyak mendapatkan label negatif dari masyarakat. Mulai dari tukang tidur, penjahat kelamin, koruptor dll menjadi cap buruk masyarakat dalam menilai anggota DPR secara individu dan DPR secara kelembagaan secara menyeluruh. Penting bila sejak dini sudah ditanamkan pilar-pilar kebangsan yang harus di jaga asa agar nantinya tidak ada Max Moein-Max Moein lainnya yang melakukan tindakan prostitutif dalam tubuh DPR.


Google
Profil Singkat
H. Marzuki Alie, SE, MM (lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 6 November 1955; umur 56 tahun) adalah Ketua DPR-RI periode 2009-2014 asal Partai Demokrat. Marzuki Alie juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal di Partai Demokrat, partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono.

  • Riwayat Pendidikan :
  • Marketing Politics - PhD Program, Universiti Utara Malaysia
  • Corporate Finance - Magister Manajemen UNSRI, Palembang
  • Production Management - Fakultas Ekonomi UNSRI, Palembang
  • SMA Xaverius I Palembang, jurusan IPA
  • SMP Negeri IV Palembang
  • SD Negeri 36 Palembang.