on Rabu, 28 Maret 2012
Per 1 April 2012, wacana kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi masih menuai badai. Sejumlah parade aksi dipenjuru negeri mengisyaratkan satu bentuk perlawanan masyarakat negeri ini terhadap pemerintah. Efeknya, ribuan massa dari penjuru nusantara berkumpul di Jakarta untuk menyatukan visi, tangguhkan kenaikan harga BBM bersubsidi dan tutnaskan Rezim. Momentum ini tentu menjadi krusial ketika tensi politik dalam negeri masih mengalami pergolakan.
Aksi demonstran meluas. Aceh hingga Merauke merapatkan barisan. Dalam membungkan rezim, membangun kebebasan. Korban bergelimpangan. Puluhan demonstran ditangkap di Jakarta dan ditetapkan sebagai tersangka atas aksi anarkis yang dilakukan. Mahasiswa di Makassar menjadi sasaran amuk warga. Namun, bukan perjuangan bila nir-pengorbanan. 
Benang merah yang diusut dalam isu kenaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintah seolah hanya menjadi retorik semu belaka--Sindikasi APBN Indonesia jebol. Ada pula yang menyatakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi dikarenakan impact of the global capacity, dimana harga minyak dunia meningkat. Isu kenaikan harga BBM bersubdisi bahkan meluas sampai ke bisnis gelap. Banyak warga berlaku curang dengan menimbun BBM. SPBU rata-rata tutup lebih awal. Sejumlah harga Sembako di Pasaran bahkan tumbuh sebelum waktunya. H-5 wacana kenaikan BBM isu kenaikan harga BBM bak selongsong peluru yang bersarang di dalam dada. Mengena ke pusatnya. Berimplikasi secara sistemik hampir keseluruh bidang kehidupan. Padahal, wacana kenaikan harga BBM bersubsidi tinggal menghitung hari. 
Masyarakat tentu ketar-ketir dengan isu wacana yang digulirkan oleh pemerintah. Tak sedikit dari mereka mencoba membaur dengan demonstran sebagai bagian dari gerakan peduli rakyat untuk mengentaskan hak mereka hidup di negara ini dengan jaminan yang layak. Jaminan sosial kehidupan yang layak di Indonesia berada pada titik nadir pada era SBY-Boediono. Makin membentangnya segregasi jarak antara orang miskin dan orang kaya mengindkasikan ketidak berhasilan pemerintah dalam mengentaskan persoalan sosial kemasyarakatan. Kendalanya terletak pada, ketahanan ekonomi dalam negeri yang hanya berporos pada ekonomi makro. UMKM (Ekonomi Mikro) yang banyak diberdayakan oleh masyarakat menengah ke bawah justru terancam gulung tikar sebagai efek domino dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebagai pelengkap validitas argumentasi, jumlah penduduk menengah ke bawah di Indonesia meningkat 30% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan, setiap tahunnya tercatat penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 1 Juta orang.
Ekonom berpendapat, tangguhkan kenaikan harga BBM bersubsidi sampai harga minyak mentah dunia kembali normal. Tentu ini bukanlah solusi yang harus ditawarkan. Bak orang sakit, kondisi Indonesia ini hanya diberikan pil penahan rasa sakit. Bukanlah sebuah terapi penyembuhan secara holistik ke seluruh tubuh. Namun, hal tersebut dapat diantisipasi dengan perubahan pola kebijakan di Indonesia saat ini yang terlalu monopolistis oleh kepentingan korporasi-sentris ketimban kerakyatan. Sebenarnya, isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini dapat diredam dengan sedikit welas asih pemerintah untuk meningkatkan UMR bagi karyawan/buruh. Persoalan memang terletak pada kebijakan. Arif bila pemerintah lebih mementingkan kepentingan domestik ketimbang posisi dalam politik internasional. Sistem ekonomi Neo-Lib yang dirangkai pemerintah berimplikasi negatif terhadap perkembangan pasar modal. Rakyat kalangan menengah ke bawah justru dilematis dengan arus perdagangan global yang mudah merasuki pikiran mereka. Pola kehidupan masyarakat menjadi cenderung konsumtif. Penyebabnya, produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk asing yang jauh lebih murah namun rendah kualitas. Semua terjadi karena, makin tingginya biaya hidup di Bumi Pertiwi diimbangi dengan isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Jelas bila, kita mengatakan bahwa isu kenaikan BBM bersubsidi bakal berdampak sistemik dalam mencekik rakyat. Rakyat dijadikan komoditas dalam pengorbanan persaingan global yang dipertaruhkan pemerintah. Menjadi pertanyaan, pemerintah macam apa yang mengorbankan rakyatnya menjadi tikus percobaan? Jawabannya hanya satu, Revolusi!

on Senin, 05 Maret 2012

Antara
Pasca menyambangi gedung kantor Gubernur Provinsi Sumsel, banyak informasi yang dapat kami rangkum dalam proses kelanjutan pengobatan Dimas. Bukan, Gubernur ataupun asisten Gubernur yang kami temui. Namun, 'hanyalah' kasubah Acara Provinsi Sumsel. Kendati demikian, informasi yang kami sampaikan melalui dialog dapat tersampaikan dengan baik. Terbukti dengan undangan audiensi relawan gerakan peduli Dimas dengan asisten II Provinsi Sumsel dan Kadinkes Provinsi Sumsel. 
Dering telepon bernomor pemerintah mengontak saya secara personal untuk menginformasikan jadwal audiensi kami dengan pemerintah. Jumat (2/3), pukul 09.00 WIB pagi dijatahkan kasubag Acara secara khusus kepada kami. Perbenturan jadwal kuliah membuat kami menolak audiensi pada hari itu. Walhasil, alternatif diberikan pada senin (5/3) pukul 14.00 WIB siang. Sesuai yang dijanjikan, jadwal audiensi kami akan dilakukan secara dilaogis dengan asisten II Provinsi Sumsel dan Kadinkes Provinsi Sumsel. 
Lantas, berita tersebut saya sampaikan kepada rekan-rekan relawan. Kak Dedek yang dituakan menjadi poros  rumusan kebijakan apa yang harus dilakukan. Mental aktifis dirinya langsung mengafirmasi tawaran saya untuk segera melakukan aksi. Dengan catatan, konsolidasi tim harus diupayakan. Agar supaya, kesepakatan bersama tetap terjalin dan tak ada polarisasi kebijakan. Karena, tim ini didirikan atas dasar kebersamaan maka dari itu segala bentuk kebutuhan yang terkait 'Dimas' harus dirapatkan.
Foto: Dok.GPD
Rentang beberapa hari dari tawaran audiensi pertama pada jumat lalu membuat saya sibuk menyibakkan diri mengurusi hal-hal yang berkenaan dengan tawaran audiensi untuk kedua kalinya. beberapa rekan relawan saya kontak demi kelancaran acara. Walhasil, dari puluhan relawan yang tergabung dalam gerakan peduli dimas hanya belasan orang yang muncul dan menampakkan batang hidungnya. 
Tak soal sebenanarnya kuantitas yang dibawa pada saat audiensi. Karena, niatan untuk dialogis jelas tak membutuhkan jumlah personal dalam jumlah besar. Yang terpenting, arah dan maksud tujuannya jelas. Informasi yang disampaikan dipahami secara positif. Dan, berkahir manis dengan diberangkatkannya Dimas ke Jakarta untuk melakukan penanganan medik.
Senin (5/3) pukul 08.00 WIB sebelum waktu audiensi dilakukan saya menyempatkan diri untuk hadir sesuai undangan teman-teman BEM Polsri untuk menyosialisasikan informasi mengenai Dimas di lingkungan Polsri. Ditemani Uni, berdua kami mengalami penundaan waktu yang begitu panjang lantaran menunggu teman-teman BEM Polsri untuk datang menjamu kami. Yang ada, kami hanya terdampar didepan Masjid Polsri sembari disengat nyamuk 'kebon' yang memang tumbuh subur di areal tersebut.
                                                                          ***

Kampanye = Aksi 
Foto : Dok.GPD
Entah sebuah kebetulan atau memang sudah digariskan Tuhan. Dengan armada yang minim, dan targetan pergerakan hanya sekedar aksi kemudian dirubah pada saat briefing tim GPD pra-audiensi. Kesepakatan yang diambil yakni menerima audiensi dan bila tidak menerima titik temu akan melakukan aksi ternyata dipangkas. Usulan kak Dedek untuk mensetting mekanisme audiensi dengan parade kampanye moral justru menjadi heboh. Lengkap dengan spanduk, toa khas orang berdemonstasi massa didoronong untuk bahu membahu merengkuh simpati warga pemrpov terhadap kampanye yang dilakukan.
Tak ada niatan untuk membuat pola audiensi tersebut menjadi heboh. Yang ada hanyalah niatan sekedar mencari simpati sebelum menakar mimpi memberangkatkan Dimas ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung, Dimas dan Ibunya kami bawa menuju lokasi audiensi. Berselang 30 menit kemudian kami tiba di Pemrprov yang sudah ramai dengan kerumunan massa yang terdiri dari pejabat pemrov, Pol PP dan wartawan yang riuh akan kedatangan Dimas. Sebelumnya, deringan nada telepon dan vibrasi nada SMS masuk silih berganti tak ada hentinya. Rata-rata memberikan nada perintah untuk sesegera mungkin datang karena Alex Noerdin sebagai gubernur Sumsel menyambut langsung kedatangan tim Gerakan Peduli Dimas.
Sesampainya disana, saya lantas tak langsung menemui teman-teman yang lebih dahulu melakukan kampanye moral. Bergegas menurunkan Dimas dari mobil yang kami tumpangi membawa Dimas ke Pemrpov langsung disuruh masuk ke sebuah mobil Toyota Vios milik Kabag Dinkes Provinsi Sumsel. Ibu Elsi langsung menghantarkan kami menuju kantor Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel yang berlokasi di komplek RS Moehammad Husin Palembang. Tak sempat saya melihat perjuangan kawan-kawan yang lebih dulu melakukan kampanye moral didepan Gubernur Provinsi Sumsel, Alex Noerdin. Namun, spirit mereka dapat saya jiwai lantaran saya menyadari nurani mereka yang begitu tulus membantu sesama. 
Foto : Dok. GPD
Sesampainya di Kantor Dinkes Provinsi Sumsel, saya, kak Dedek, kak Anshor (wartawan Antara Sumsel), Ibu Titin dan Dimas dijamu oleh beberapa perwakilan Dinkes Provinsi. Disana, kami langsung menengadahi maksud dan tujuan kedatangan kami. Hal tersebut langsung ditampik Ibu Eliz yang menegaskan proses pengaduan informasi kepada pemerintah jangan menggunakan jalan demonstrasi tapi cukup dengan komunikasi persuasif. 
Namun, kami beranggapan bahwa pemerintah perlu diberikan shock therapy agar memerhatikan warganya. Sudah banyak pengalaman yang kami lalui bila memercayai pemerintah. Namun, jangan salah paham bahwa kami ini bukanlah orang yang anti-govermental. Sungguh kami mendukung program pemerintah, namun kami menunggu realisasi program pemerintah seperti yang sudah dicanangkan.
Walhasil, kendati belum menemui titik terang mengenai keberangkatan Dimas ke Jakarta. Paling tidak, kami sudah mengantongi kartu truf Alex Noerdin yang menyatakan bahwa Dimas akan diberangkatkan ke Jakarta untuk mendapatkan rujukan pengobatan dari rumah sakit di Sumsel. Jika tidak direalisasikan, maka dengan mudah tim relawan akan mengendalikan isu-isu populis yang dikeluarkan oleh pemerintah. (*)
on Minggu, 04 Maret 2012
Desa Sementul
Visitasi civitas akademika memang perlu untuk digalakkan. Terutama memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat pedesaan yang sulit untuk mengakses informasi kedunia luar. Sesuai dengan filosofi tridharma perguruan tinggi, penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat. Untuk yang terakhir, hal itulah yang memotivasi sejumlah awak mahasiswa untuk mengunjungi desa Semuntul, Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. 
Awak mahasiswa yang dikomandoi oleh Pembantu Dekan III, Rd. M Ikhsan, SH., MH Sabtu, (3/3) 2011 melakukan visitasi ke Desa yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Seri Bangun tersebut. Kegiatan itu merupakan respon positif dari implementasi tri dharma perguruan tinggi. Menggunakan tiga buah speedboat, puluhan mahasiswa berangkat dari dermaga Talang Betutu menuju Dermaga Desa Semuntul. 
Tiga buah jukung (speedboat) yang kami tumpangi itu pun membelah arus sungai Musi yang bergerak dari hulu ke hilir. Tak ayal, sedikit goncangan ombak yang menghantam bibir jukung pun sempat membuat cemas. Selain karena standar keselamatan yang mesti dipenuhi bila menumpangi kendaraan yang beroperasi diatas air minim (seperti penyediaan jaket keselamatan/pelampung). Selain itu, ukuran jukung yang kecil dan lebar sungai Musi yang begitu luas sempat membuat cemas awak mahasiswa. 
Tantangan tentu tak hanya berhenti sampai disitu. Sampah sungai Musi yang mengambang diatas perairan sungai menambah tensi ketegangan menumpangi sebuah speedboat/jukung. Berkecepatan tak kurang dari 40 Km/Jam, jukung yang kami tumpangi tak ayal menabrak bongkahan kayu dan eceng gondok yang tumbuh subur di sungai Musi. Bahkan, jukung/speedboat yang kami tumpangi sempat mogok selama 15 menit lantaran mesin yang terlilit eceng gondok liar. 
Misteri sungai Musi dan budaya Sumsel yang masih mengenal mitos sempat menghinggapi pikiran yang begitu paranoid lantaran inilah untuk pertama kalinya menaiki sebuah moda transportasi air yang begitu kecil namun berkecepatan tinggi. Misteri antu banyu bahkan terngiang-ngiang. Pengaruh menonton film petualangan yang menampilkan adegan dramatis bertemu binatang raksasa seperti anaconda ataupun yang lainnya menambah paranoid kondisi pada saat itu.
Garis bibir sungai yang membelah wilayah daratan Sumsel itu pun memberikan sensasi tersendiri. Aroma pekat karet dan air sungai yang terkontaminasi limbah industri rumah tangga ataupun pabrik mewarnai perjalanan edukatif kami pada hari itu. Selain itu, satu hal yang kami dapatkan sepanjang perjalanan. Ditengah arus keras sungai Musi yang memberikan penghidupan bagi masyarakat disekitarnya, ditengah-tengah beridirnya pabrik-pabrik megah yang mencakar langit di pinggiran Sungai Musi ternyata masih ada warga masyarakat kita yang mesti hidup dalam kondisi sulit. Bahkan, sebelum sampai di Desa Semuntul terdapat banyak pemukiman warga di bantaran sungai yang masih tegolong dalam kondisi sulit. Tak terlihat, tiang-tiang listrik dengan kabel yang mengaliri rumah-rumah warga. Tak terlihat, mesin yang mengolah air tanah menjadi air bersih. Yang ada hanyalah gubuk kecil yang lapisan luar hanya diselimuti daun pandan. Sangat primitif. Menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan stakeholder terkait untuk bahu membahu mengankat harkat dan martabat bangsa. Jangankan untuk fasilitas standar perkampungan seperti sekolah, Pusat Kesehatan ataupun kantor administrasi kependudukan. Hal-hal yang sifatnya umumpun mereka tak mampu. 
Akan tetapi, sesampainya di dermaga Desa Semuntul. Semua kecemasan dan kekalutan yang mendera seketika sirna. Lantaran, melihat sambutan warga sekitar yang berkumpul di Masjid setempat begitu meriah. Puluhan siswa MTS/SMP, SMA/MA berkumpul di masjid yang menjorok kearah sungai sudah siap menyambut kedatangan kami. 
Desa kecil yang penduduknya rata-rata bekerja sebagai buruh tani dan nelayan itupun terkurung dalam dekapan akses informasi yang sulit. Kendati listrik sudah mengaliri rumah-rumah warga. Namun, menurut pengakuan warga arus listrik baru masuk selama dua bulan semenjak program PNMP 2011 digulirkan. Tepatnya, bulan desember silam menghantarkan warga dari kegelapan menuju terang benderang. Mereka diajak untuk melihat cakrawala dunia yang semakin jauh meninggalkan mereka. Kendati demikian, hal tersebut tak mengurangi semangat mereka dalam memperjuangkan nama desa dan keluarga. Terbukti, sudah banyak masyarakat asli Desa Semuntul yang sukses ditanah orang. Itu memberikan gambaran betapa kesulitan hidup justru memberi cambuk untuk mengangkat harkat diri menjadi lebih baik. 
Terbatasnya fasilitas yang terdapat di Desa Semuntul tak membuat warga patah arang. Peran serta pemerintah setempat untuk menyetarakan kehidupan warga mulai dilakukan. Tapi memang, sebagian warga yang tinggal masih tergolong lemah secara ekonomi. Tampak, deretan rumah warga khas rumah panggung yang fondasinya berupa kayu reot masih tetap digunakan. Kendati hal tersebut tak terlalu berpengaruh, namun kesenjangan ekonomi diwilayah kecil pedalaman tersebut terlihat sangat kentara. Masih tampak rumah-rumah warga yang dilapisi jerami. Namun, tak banyak rumah-rumah warga yang telah dibangun secara permanen dengan material semen dan batubata. Tak jauh berbeda, salah satu sekolah yang kami sambangi, SD Negeri 5 Rantau Bayur setali tiga uang. Berdiri diatas lahan basah, membuat bangunan sekolah mesti didirikan dengan menggunakan turap-turap penyangga. Bahkan, lantai yang digunakan pun masih berupa lantai kayu. Paling tidak, pasokan listrik telah masuk ke Desa ini. Bahkan, payment point yakni pembayaran listrik secara personal pun sudah dimiliki warga. Hasil pengamatan kami, terdapat dua titik payment point pembayaran listrik untuk wilayah Desa Sementul.
Jangan tanya tentang akses hiburan disana. Televisi boleh jadi merupakan primadona hiburan favorit bagi masyarakat Desa Sementul. Paling tidak, untuk akses kesehatan Desa ini dapat dikatakan lumayan baik. Terdapat satu puskesmas dan satu pos kesehatan Desa yang berdiri di Desa Sementul. Masyarakat Desa jelas terbantu dengan masuknya program PNPM yang berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup. Kendati, Desa Sementul Kec.Rantau Bayur merupakan wilayah Banyuasin Perairan, yang batas-batas wilayahnya dikelilingi oleh aliran sungai dan hamparan sawah. Tampak, beberapa unit motor terparkir diwilayah yang hanya dilalui ruas jalan kecil berukuran 1,5 meter. Walaupun,sulit bagi masyarakat untuk menempuh akses darat yang mudah menembus batas wilayah. Paling tidak, masyarakat setempat sudah berpikir maju dengan membeli sepeda motor dalam mendukung aksesifitas mereka dalam menekuni pekerjaan sehari-hari. Kedatangan kami dalam menyosialisasikan pendidikan dan beasiswa di Desa Sementul ini pun paling tidak memberikan harapan bagi warga masyarakat setempat dan terkhusus kepala Desa setempat yang menginginkan nama Desanya menjadi lebih bermartabat. Tampak, sinaran cahaya harapan dari setiap siswa-siswa sekolah yang menghadiri kegiatan tersebut. Bahkan, orang-orang tua, ibu-ibu berkumpul layaknya menyaksikan agenda akbar Desa. Namun itulah, ditengah-tengah keterbatasan mereka dalam menggapaik akses informasi dan komunikasi global, anak-anak Desa Sementul memiliki potensi besar dalam meneruskan estafet kepemimpinan negeri. Ingat, sejarah mengatakan bahwa pemimpin besar di negeri ini lahir dari komunitas masyarakat terbelakang.