on Selasa, 10 Juli 2012

 Secara historis, era penjajahan Belanda ke Indonesia ratusan tahun lalu membawa pengaruh yang luar biasa banyak bagi perkembangan Negara ini. Bukan hanya soal bangunan dan banyaknya warga ekspatriat asal Belanda yang tinggal di Indonesia dan warga Indonesia yang tinggal di Belanda. Melainkan, peninggalan bersejarah zaman penjajahan Belanda berupa bangunan membuktikan bahwa pengaruh Belanda sudah sangat kuat di Indonesia.
Tak hanya itu, peninggalan Belanda semakin kentara dengan pemberlakuan asas konkordansi[1] kitab undang-undang hukum Pidana yang dibawa oleh kolonial Belanda ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan upaya pemberlakuan KUHP yang sebelumnya bernama WvS (Wetboek van Strafrecht) melalui konsiderans berupa perubahan-perubahan urgensif melalui proses konkordansi. [2]
            Pengaruh kuat Belanda dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia ditandai dengan menguatkan pola sistem hukum yang dianut. Secara teoritis, ada sistem hukum yang berlaku di dunia saat ini. 1) Sistem Hukum Eropa Kontinental; 2) Sistem Hukum Anglo Saxon; 3) Sistem Hukum Islam; 4) Sistem Hukum Adat. Pengaruh kuat Belanda di Indonesia mengindikasikan bahwa sistem hukum yang dianut Indonesia lebih kuat pengaruh Eropa Kontinental dengan banyaknya wacana-wacana kritis soal dinamika hukum di Indonesia dengan menggunakan teori-teori ahli Hukum Belanda. Hal tersebut direpresentasikan dalam ratusan produk legislasi yang banyak menggunakan doktrin hukum asal Belanda dalam perumusan naskah akademisnya.
Kendati Indonesia mempunyai sistem hukum sendiri asli milik bangsa Indonesia yakni sistem hukum Adat. Namun, gagasan dan ruang wacana kritis dalam proses pembangunan sistem hukum adat menjadi lebih serius dan mendalam sama halnya dengan sistem hukum lainnya masih belum begitu ramai diperbincangkan dikalangan akademisi hukum. meskipun milik bangsa Indonesia asli, majemufikasinya membuat banyak akademisi hukum sulit untuk me-unifikasi sebagaimana kebanyakan sistem hukum lainnya. [3]


[1] Asas Konkordansi menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Belanda, berlaku juga  di Hindia Belanda atas dasar asas unifikasi.
[2] Baca lebih lanjut UU No 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
[3] Baca lebih lanjut buku Prof. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta

Putusan MK atas Uji Materi Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan
Menyatakan:
-Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; .. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Analisis :
Diketok palunya perkara judicial review (uji materi) UU No 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomo 46/PUU-VIII/2010 melakoni babak baru mengenai akibat hukum yang ditimbulkan. Meninjau pasal yang di-uji materi oleh Macica Mochtar yang merasa kepentingan dirinya dirugikan dengan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Anak yang dilahirkan dari luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya” pasca putusan MK kemudian berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Berdasarkan putusan tersebut, secara garis perdata anak yang dilahirkan melalui hubungan luar nikah/diluar ketentuan UU Perkawinan dapat ditujukan kepada ayah biologis dan keluarga sang ayah dari anak, mengingat selama ini anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal ini memberikan implikasi hukum yang positif bagi perkembangan psikologis sang anak. Karena, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak dengan layak (Vide : Pasal 45 ayat (1) ).
Namun, perlu diperhatikan fakta-fakta hukum yang harus dicermati agar tidak terjadi persinggungan yang kuat antara hukum adat, agama dan legal formal hukum Negara. Dalam pasal 43 ayat (2) secara implisit terkandung makna bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan termasuk menjadi wali bagi anak-anaknya dalam melakukan hubungan hukum. akan tetapi, perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan UUP (nikah sirri, dibawah tangan, dll) secara administratif tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang perkawinan tersebut tidak dicatatkan melalui petugas pencatat perkawinan. Hal ini agak riskan mengingat, perkawinan yang tidak dicatatkan Negara tidak memiliki perjanjian pernikahan yang kuat dimata hukum. bila perkawinan tersebut dicatatkan ke Negara, setidaknya kepastian hukum atas hak-hak anak dari orang tuanya dapat dimintakan pertanggung jawaban. Diluar, pasal-pasal a quo yang dicoba pemohon untuk melegitimasi kepentingan pemohon.