on Senin, 01 Oktober 2012


Semenjak perubahan/amademen Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD)1945 ketiga digulirkan, terdapat perubahan secara fundamental terhadap sistem politik di Indonesia. mengawali epik demokrasi secara sentralistis dibawah rezi orde baru, amandemen UUD 1945 hingga yang ke-empat pada 9 November 2002 mengawali kiprah baru bangsa Indonesia dalam mengawal konstitusi dan hukum sebagai payung berkehidupan bangsa dan bernegara. Esensi dari sebuah epik demokrasi tersebut melandasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia merupakan Negara Hukum” hal ini melimitasi setiap abuse of power pemerintah untuk melakukan apa yang disebut dengan excess du povoir(Pelampauan Wewenang) dan detournement du povoir(penyalah gunaan wewenang). Ekses-ekses wewenang dapat direduksi seiring dengan dikonstruksinya bangunan kokoh dalam bingkai kerangka Negara hukum.
Perubahan-perubahan secara radikal tersebut mengerucut terhadap sistem pembagian kekuasaan di Indonesia. Merujuk pada teori Montesquie yang diilhami dari John Locke yang dalam bukunya l’espirit des lois membagi kekuasaan dalam tiga sub-kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif yang secara subsumtif diterapkan di Indonesia. Pembagian kekuasaan tersebut mengacu pada teori separation of Power dan distribution of power. Sejalan dengan pendapat kedua ahli hukum ternama tersebut, Lord Acton memberikan pemaparan yang sempurna menyoal kekuasaan yakni “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” terjemahan bebasnya : “kekuasaan itu cenderung korupsi, dan kekuasaan yang absolut(mutlak) itu pasti korupsi. Berangkat dari pemikiran Lord Acton itulah, untuk melimitasi kekuasaan yang tendensi terhadap suatu lembaga sebagai prefrensi kemajuan Demokrasi di negeri tercinta maka pemisahan dan penegasan pembagian kekuasaan perlu dilakukan.
Hal inilah yang melandasi tulisan diatas sebagai sebuah preseden normatif bagi kelangsungan epic demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga yang berdiri berdasarkan hasil amandemen ketiga UUD 1945 secara tegas didalam Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 7 dan 24 C UUD 1945 secara jelas wewenang MK diberikan oleh UUD berupa, berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang bersifat final terhadap pengujian UU terhadap UUD (Judicial review), memutus sengketa kelembagaan Negara, membubarkan partai politik, dan memberikan saran kepada DPR terhadap proses pemakzulan (Impeachment) Presiden.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran hukum itulah yang kemudian merefleksi terhadap tindak tanduk MK sebagai pengawal konstitusi di negeri ini. MK ditenggarai bukanlah badan supra-politik yang mampu menjangkau eksesif wewenang yang disandangkan pada MK. Wewenang MK dalam menguji UU terhadap UUD tidak dimaksudkan bahwa MK dapat membentuk norma positif baru yang mengikat. karena itu sudah menjadi tugas DPR sebagai Positive Legislation sebagaimana Pasal 20 butir (a) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini sejalan dengan nomenklatur DPR itu sendiri sebagai sebuah lembaga legislatif. Terkait dengan MK yang kerap melakukan penambahan norma baru terhadap undang-undang yang diujikan ke MK hal ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana MK dapat konsisten dengan amanat konstitusi sementara MK kerap dipayungi dengan gelar pengawal konstitusi. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa pintu masuk MK dalam mengadakan sebuah norma baru terhadap norma yang belum ada dibentuk oleh Legsilatif adalah melalui keputusan konstitusional bersyarat (Conditionally Constitutional).
Penyisipan norma baru dalam UU Pemilu membuat noktah baru dalam lembaran hukum di Indonesia. MK yang sejatinya dalam UU diamanatkan untuk memegang kekuasaan menguji UU terhadap UUD bukanlah sebuah lembaga Positive Legislator dalam membentuk norma baru. Uji materi yang dilakukan anggota DPD terhadap UU Pemilu tentu memicu perdebatan mengenai legal standing pemohon dan posita-nya mengenai pengujian UU Pemilu. Perlu dipahami bilamana DPD ingin melakukan pengujian UU dengan berniat untuk melakukan penambaha norma baru, maka secara teoritis jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan legislative review bukan dengan melakukan Judicial Review