on Kamis, 11 April 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Semenjak meningkatnya agresi militer di sejumlah negara yang ditenggarai persoalan eknomi dan wilayah, persoalan krusial terkait dengan entitas wilayah dan etnik menjadi motif utama yang diusung dalam berlangsungnya perang. Bahkan, motif perang yang paling agung didefinisikan Agung Setyo Wibowi, dkk adalah karena agama. Perang atas nama agama digambarkan sebagai perang paling mengerikan yang pernah terjadi selama masa dunia. Tak ayal, perubahan zaman dimulai dari perang, dan pergolakan perang ditimbulkan atas dasar keyakinan (faith). [1]
Banyak hal yang ditimbulkan dari pelaksanaan perang. Mulai dari korban jiwa (termasuk anak-anak), harta benda (property, fasilitas umum, dll) dan wilayah. Barangkali inilah yang melatar belakangi Brian-Kellog Pact 1928 di Paris (General Treaty for Renunciation of War) untuk menolak terjadinya perang dalam keadaan apapun. [2] walaupun tidak secara signifikan, penanda tanganan (signatory) dari negara pihak di Briand-Kellog Pact 1928 ini diterima secara komprehensif, namun hasil dari pakta ini dikonsiderasi dalam bentuk General Act for the Pacific Settlement of Disputes yang disepakati di Jenewa, Swiss yang mewajibkan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan kasus di Komisi Konsiliasi.
Namun, konfrontasi antar kepentingan membuat pakta ini tidak dilaksanakan secara konsisten oleh negara pihak (state party). Karena, persoalan perang sulit untuk dihindarkan. Negara-negara lebih memilih perang untuk mengakhiri konflik yang terjadi.
Sehubungan dengan itu, maka perlu pengaturan yang sangat multiregulasi dalam hal melindungi potensi-potensi penderitaan dan kerusakan pasca perang (post war) untuk dijadikan sebagai rambu-rambu bagi para pelaku perang agar tidak melampaui kebolehan (gebod) dibawah hokum internasional (governed by the international law). Pengaturan mengenai perang ini diatur dalam dua Hukum Humaniter Internasional moderen terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag, yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan Hukum Jenewa atau Hukum Humaniter. [3]
Hukum Den Haag lebih cenderung mengatur persoalan mengenai kapan suatu negara dibenarkan dapat melaksanakan perang (Jus ad Bello) dan hokum yang berlaku saat perang (Jus ad Bellum). Hukum Den Haag, atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh dipakai. [4]
Selain itu, konvensi Jenewa atau yang lebih dikenal sebagai Hukum Jenewa (Laws of Geneva) merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan dengan masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:
  • Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949)
  • Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)
  • Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949]
  • Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907)
Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari proses yang dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut telah “mencapai partisipasi universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap konflik bersenjata internasional.[5]
Kendati sudah diatur secara universal soal perlindungan rakyat sipil dari target atau sasaran perang, namun pihak-pihak yang berperang kerap kali melakukan pelanggaran dalam hokum perang terkait dengan pelarangan rakyat sipil sebagai sasaran perang. Sekarang ini, meningkatnya kasus-kasus peenyerangan wartawan secara frontal oleh negara-negara yang bertikai membawa dampak buruk terhadap perkembangan hokum humaniter internasional menjadi sebuah regulasi kuasi yang sulit untuk ditegakkan.
2.      Rumusan Masalah
a.       Sejauh mana Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan terhadap jurnalis independen dan koresponden perang selama pertikaian berlangsung.
b.      Pembedaan konsep ‘Journalist Independent’ dan ‘Personnil Media or War Correspondent’ dalam Hukum Humaniter Internasional
c.       Urgensi mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan perang





BAB II
PEMBAHASAN
Ad. 1 Jurnalis di Medan Perang
Setiap tahunnya, jumlah wartawan yang tewas saat meliput selama konflik bersenjata yang tengah berlangsung semakin meningkat. Pada tahun ini sendiri, enam orang jurnalis terbunuh dalam perang yang berlangsung di Afghanistan. [6] ada beberapa alasan kenapa pekerjaan jurnalis menjadi sangat beresiko. Disatu sisi, mereka ingin sedekat mungkin dengan kejadian sehingga nilai berita yang akan dituliskan menjadi semakin bernilai. Disisi lain, kebenaran yang diungkapkan oleh wartawan boleh jadi menjadi ancaman bagi pihak-pihak yang tengah bertikai. Namun, hokum humaniter internasional menyediakan secara khusus perlindungan jurnalis independen dan personil media selama konflik bersenjata tengah berlangsung. Hingga kini, data yang masuk ke CPJ (Commission Protecting Journalist) menyebutkan bahwa sebanyak 978 jurnalis dari seluruh dunia terbunuh semenjak 1992 lantaran meliput saat pertikaian konflik bersenjata tengah berlangsung. Angka tersebut belum ditambah dengan 592 jurnalis terbunuh yang pelakunya diberikan impunitas dan 232 jurnalis yang mendekam dibalik penjara diseluruh dunia. [7]
Korban ini belum bertambah dengan jumlah jurnalis yang hilang atau ‘dihilangkan’ selama meliput perang. Pada tahun 2003 saja, 42 orang jurnalis meninggal di seluruh dunia. 14 jurnalis dan staf media kehilangan tempat tinggal, dua orang jurnalis hilang dan lima belas jurnalis lainnya luka-luka akibat meliput kegiatan perang dan pasca perang di Irak. Selain itu, peneyerangan secara sengaja berlangsung di medan perang, seperti Timur Tengah, Bombardir NATO terhadap Radio Televisi Serbia di Belgrade (dulu Ibukota Yugoslovia) pada 1999 dan pemboman tentara Amerika di Kabul dan Baghdad terhadap jurnalis televise Al Jazeera.  [8]

Ad.2 Perlindungan Jurnalis dalam Hukum Humaniter Internasional
Jurnalis Independen
Jurnalis independen harus secara jelas dibedakan dengan koresponden perang, yang secara aktif menjadi anggota yang mewakili unit militer. Berdasarkan artikel 79 Protokol tambahan I, jurnalis dan personil media di wilayah konflik ditetapkan sebagai rakyat sipil dan mendapatkan perlindungan sama halnya dengan rakyat sipil. Istilah "wartawan" mencakup "semua perwakilan media, yaitu semua mereka yang terlibat dalam pengumpulan, pengolahan dan penyebaran berita dan informasi, termasuk kamerawan dan fotografer, serta staf pendukung sebagai driver dan interpreter "[9]
Selama melaksanakan profesinya, wartawan harus diperlakukan sebagai warga sipil selama dia tidak bertindak sebaliknya, yaitu secara aktif terlibat dalam aksi pertempuran. Sebagai contoh, setiap orang kehilangan perlindungan sebagai warga sipil dengan mempersenjatai dirinya. Reporter tanpa batasan menunjukkan tindakan wartawan yang melakukan dapat menyebabkan hilangnya status sebagai sipil menurut hokum humaniter internasional. [10]
Perlindungan sipil diatur dalam sejumlah besar perjanjian hukum internasional.
Menurut Art. 79 Prot
okol tambahan I, semua tindakan ini berlaku untuk perlindungan wartawan dan personil media juga. Menurut Art. 48 Protokol tambahan I, pihak musuh  harus membedakan warga sipil dari anggota unit militer selama konflik tengah berlangsung. Oleh karena itu, penyerangan fasilitas sipil dan / atau warga sipil dilarang menurut hokum humaniter internasional.  
Menurut Art. 51 Prot. Tambahan I, penduduk sipil harus dilindungi dari segala
efek operasi militer. Ayat 4 meliputi larangan serangan sewenang-wenang
yang ditargetkan
kepada masyarakat sipil. Operasi militer harus diarahkan pada kombatan dan
fasilitas militer. Oleh karena itu, prinsip proporsionalitas sudah harus dipertimbangkan dalam
perencanaan operasi militer.
Untuk alasan ini, penggunaan bom cluster di daerah penduduk merupakan pelanggaran internasional hukum humaniter. Misalnya selama konflik bersenjata antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006, pasukan militer Israel menggunakan bom cluster dalam wilayah Libanon selatan. Para Wakil Sekretaris-Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan PBB Jan Egeland mengkritik penggunaan bom cluster sebagai perbuatan "tidak bermoral". Langkah-langkah perlindungan ini tidak hanya dianggap di dalam sengketa internasional, tetapi juga dalam konflik bersenjata non-internasional, yaitu antara negara dan aktor non-negara dalam negara. Dalam konflik ini, kedua belah pihak juga harus ketat membedakan antara anggota tempur unit dan warga sipil, dan melindungi kedua dari efek pertempuran. Art. 8 Paragraf 2 (e) (i) Statuta Roma tentang benturan karakter non-internasional dirumuskan juga. Setiap orang yang tidak terlibat dalam aksi pertempuran tidak dapat langsung diserang.
Jika jurnalis atau personil media menjadi korban dari serangan sengaja ditargetkan pada
mereka, ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Menurut Art. 85
Paragraf 5 Protokol tambahan I, seperti pelanggaran hukum kemanusiaan internasional dianggap sebagai kejahatan perang. Statuta Roma dalam Art. 8 Para. 2 (b) (i) menetapkan tanggung jawab di bawah hukum pidana internasional untuk serangan yang menargetkan warga sipil. Kebutuhan militer hanya mungkin menjadi pembenaran untuk tindakan seperti serangan kepada masyarakat sipil yang tidak secara langsung ditargetkan pada warga sipil
tetapi memiliki bantalan pada mereka dalam arti
jaminan kerusakan.
Resolusi 1738, yang telah disetujui oleh Dewan Keaman[11]an di 20
06, mengacu
pada implementasi praktis dari tindakan perlindungan bagi jurnalis dan
personil media. Menurut resolusi tersebut, negara anggota diwajibkan untuk mempertimbangkan
kemerdekaan profesional dan hak-hak lainnya dari wartawan. Sekarang, setelah
beberapa  tahun,
aktifitas sehari-hari bagi para jurnalis, dalam arti definisi yang disebutkan di atas,
di daerah konflik bersenjata atau kerusuhan tidak berubah.
Koresponden Perang
Seorang koresponden perang adalah jurnalis yang bekerja untuk salah satu pihak yang merugikan atau yang menyertai sebuah unit militer. Menurut Art. 79 Prot. Tambahan I, wartawan yang ikut dalam angkatan bersenjata kehilangan status mereka sebagai warga sipil dalam konflik bersenjata dengan bergabung unit militer. Mereka
 ikut ke dalam anggota militer tetapi bukan dari pasukan. Jika "embedded journalist"
terluka atau tewas dalam aksi pertempuran, itu tidak merupakan serangan langsung terhadap penduduk sipil
seperti yang akan terjadi dengan ‘journalist independent’. [12] Koresponden perang, jika mereka ditangkap saat menjalankan profesi mereka, memiliki perlindungan tawanan perang menurut Art. 4 Para. 4 Konvensi Jenewa III. Menurut artikel 13 Konvensi Jenewa III tawanan perang tidak boleh mengalami pembalasan. Mereka harus diperlakukan sedemikian rupa bahwa kehidupan mereka dan kesehatan tidak terancam setiap waktu. Koresponden perang dapat ditahan, yaitu kebebasan bergerak mereka mungkin dibatasi.
Jaminan hak-hak tawanan perang sebagai akibat dari konflik bersenjata internasional
termasuk penyediaan makanan yang cukup, pakaian dan komoditas sehari-hari lainnya. Selanjutnya,
mereka harus diberikan perhatian medis, terutama jika orang tersebut merupakan
tawanan terluka atau menderita sakit. Menurut Art. 3 Konvensi Jenewa III tawanan tidak memiliki hak yang sama dari tawanan perang dalam kasus konflik non-internasional, tetapi ia harus dijamin minimal hak. Oleh karena itu, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan memalukan, dan eksekusi tanpa keputusan sebelumnya oleh pengadilan yang bebas, sangat dilarang. bantuan medis harus diberikan kepada orang-orang yang terluka.[13]
End of Impunity          
Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiian.
Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pada 1 Juli 2002Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den HaagBelanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika SerikatTiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.
Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili karena kejahatan perang antara lain adalah Karl Dönitz dariJerman, mantan Perdana Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan mantan Presiden Liberia Charles Taylor. Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milošević juga diadili karena kejahatan perang.
Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat padaPerang Dunia I dan Perang Dunia II; penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II; serta pendudukan Timor Timur oleh Indonesia antara tahun 1976 dan 1999.


BAB III
Kesimpulan
Korban Jurnalis yang terbunuh atau terluka dalam konflik bersenjata semakin tahunnya meningkat. Mereka tidak hanya dalam risiko selama aksi pertempuran tetapi juga karena pelaporan tentang latar belakang cerita yaitu korupsi. Profesi wartawan harus dibagi antara koresponden perang dan "Jurnalis Independen". Hukum humaniter internasional mengatur dalam dalam Art. 79 Prot. Tambahan I untuk kedua perlindungan sebagai warga sipil dalam konflik bersenjata. Mereka tidak dapat ditargetkan secara langsung dan tidak dapat digunakan sebagai perisai. Pasukan militer harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi warga sipil di daerah konflik melawan efek dari operasi militer. Namun, wartawan yang berpatisipasi dalam serta setiap kegiatan militer kehilangan status kekebalan sebagaimana rakyat sipil yang dlindungi oleh hokum humaniter internasional.  Misalnya, dengan melengkapi diri dengan alat-alat  bersenjata atau menjadi mata-mata bagi pihak yang merugikan.
Menurut Art. 79 Prot. Tambahan I perlindungan untuk koresponden perang berbeda dari diberikan status "jurnalis independen". Dalam kasus penangkapan, koresponden perang memiliki Hak yang harus diperlakukan sebagai tawanan perang, menurut Art. 4 Para. 4 Konvensi Jenewa III. Ini termasuk akses ke perawatan medis untuk luka serta penyediaan dengan makanan yang cukup dan sehari-hari komoditas lainnya. Orang-orang tawanan tidak boleh disiksa atau dieksekusi tanpa pengadilan sebelum pengadilan yang independen. Peralatan media tidak fasilitas militer, bahkan jika mereka digunakan untuk propaganda atau untuk menghasut penduduk untuk melakukan kekejaman terhadap kelompok ras atau agama atau minoritas lainnya. Menurut Art. 52 Prot. Tambahan I, mereka harus dilihat sebagai objek sipil. Misalnya, sebuah stasiun radio tidak dapat ditargetkan secara langsung dan harus dilindungi terhadap setiap efek operasi militer. Saat ini, kategori perlindungan baru dalam hukum kemanusiaan internasional harus dibahas. Keamanan kelompok yang ada orang yang dilindungi, misalnya anggota pelayanan medis, adalah penting dan tidak boleh melemah. Namun, ini tidak dapat digunakan sebagai untuk tidak melindungi jurnalis sebaik mungkin. Bagian utama dari karya jurnalis dalam konflik bersenjata adalah pengamatan tindakan tempur serta melaporkan dari latar belakang konflik. Ini laporan yang diperlukan untuk mencegah kekejaman atau setidaknya untuk membawa pelaku sebelum sidang. Kategori baru orang yang dilindungi dalam konflik bersenjata harus mencakup tanda untuk membuat mereka dikenali sebagai wartawan. Banyak serangan terhadap jurnalis tidak pernah diteliti karena kesalahan dikelola oleh pengakuan. Wartawan akan selalu ditargetkan tetapi masyarakat internasional secara keseluruhan harus melakukan yang terbaik untuk mencegah tindakan tersebut. Serangan terhadap wartawan merupakan ancaman bagi perdamaian dan kesejahteraan semua negara di dunia. Pekerjaan mereka adalah cara yang diperlukan untuk sistem demokrasi.




[1] Agung Setyo Wibowo et.al, Para Pembunuh Tuhan, Kanisius,                                                                             
[2] Lihat lebih lanjut klausul Briang-Kellog Pact di http://www.yale.edu/lawweb/avalon/imt/kbpact.htm
[3] Pictet, Jean (1975). Humanitarian law and the protection of war victims. Leyden: Sijthoff. ISBN 90-286-0305-0. hal. 16-17
[5] Lihat the Geneva Conventions of 12 August 1949 published by International Committee Red Cross
[6] Hilde Farthofer, Mag. Paper presented at the SGIR 7th Pan-European International Relations Conference, Stockholm, 9-11 September 2010 hal 1 for further information, see http://cpj.org CPJ is an abbreviation for Commission Protection Journalist.
[7] Lihat http://www.cpj.org/
[8] Alexander Balguy-Ballois, “The Protection of Journalists and Personnil News Media in Armed Conflict”, International Review of the Red Cross, Vol. 86, No. 853, March 2004
[9] Reporters Without Border, Handbook for Journalists, Chapter 10, hal. 94
[10] For this and other advice regarding the actions of journalists in armed conflicts, cf.: Reporters Without
Borders, Handbook for Journalists, Chapter 9, Principle 8
[11] S/RES/1738 (2006)
[12] Jugacf. Verschingel (2008), hal. 452 et seq
[13] Ibid. Geneva Convention of 1949
on Senin, 01 Oktober 2012


Semenjak perubahan/amademen Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD)1945 ketiga digulirkan, terdapat perubahan secara fundamental terhadap sistem politik di Indonesia. mengawali epik demokrasi secara sentralistis dibawah rezi orde baru, amandemen UUD 1945 hingga yang ke-empat pada 9 November 2002 mengawali kiprah baru bangsa Indonesia dalam mengawal konstitusi dan hukum sebagai payung berkehidupan bangsa dan bernegara. Esensi dari sebuah epik demokrasi tersebut melandasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia merupakan Negara Hukum” hal ini melimitasi setiap abuse of power pemerintah untuk melakukan apa yang disebut dengan excess du povoir(Pelampauan Wewenang) dan detournement du povoir(penyalah gunaan wewenang). Ekses-ekses wewenang dapat direduksi seiring dengan dikonstruksinya bangunan kokoh dalam bingkai kerangka Negara hukum.
Perubahan-perubahan secara radikal tersebut mengerucut terhadap sistem pembagian kekuasaan di Indonesia. Merujuk pada teori Montesquie yang diilhami dari John Locke yang dalam bukunya l’espirit des lois membagi kekuasaan dalam tiga sub-kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif yang secara subsumtif diterapkan di Indonesia. Pembagian kekuasaan tersebut mengacu pada teori separation of Power dan distribution of power. Sejalan dengan pendapat kedua ahli hukum ternama tersebut, Lord Acton memberikan pemaparan yang sempurna menyoal kekuasaan yakni “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” terjemahan bebasnya : “kekuasaan itu cenderung korupsi, dan kekuasaan yang absolut(mutlak) itu pasti korupsi. Berangkat dari pemikiran Lord Acton itulah, untuk melimitasi kekuasaan yang tendensi terhadap suatu lembaga sebagai prefrensi kemajuan Demokrasi di negeri tercinta maka pemisahan dan penegasan pembagian kekuasaan perlu dilakukan.
Hal inilah yang melandasi tulisan diatas sebagai sebuah preseden normatif bagi kelangsungan epic demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga yang berdiri berdasarkan hasil amandemen ketiga UUD 1945 secara tegas didalam Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 7 dan 24 C UUD 1945 secara jelas wewenang MK diberikan oleh UUD berupa, berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang bersifat final terhadap pengujian UU terhadap UUD (Judicial review), memutus sengketa kelembagaan Negara, membubarkan partai politik, dan memberikan saran kepada DPR terhadap proses pemakzulan (Impeachment) Presiden.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran hukum itulah yang kemudian merefleksi terhadap tindak tanduk MK sebagai pengawal konstitusi di negeri ini. MK ditenggarai bukanlah badan supra-politik yang mampu menjangkau eksesif wewenang yang disandangkan pada MK. Wewenang MK dalam menguji UU terhadap UUD tidak dimaksudkan bahwa MK dapat membentuk norma positif baru yang mengikat. karena itu sudah menjadi tugas DPR sebagai Positive Legislation sebagaimana Pasal 20 butir (a) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini sejalan dengan nomenklatur DPR itu sendiri sebagai sebuah lembaga legislatif. Terkait dengan MK yang kerap melakukan penambahan norma baru terhadap undang-undang yang diujikan ke MK hal ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana MK dapat konsisten dengan amanat konstitusi sementara MK kerap dipayungi dengan gelar pengawal konstitusi. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa pintu masuk MK dalam mengadakan sebuah norma baru terhadap norma yang belum ada dibentuk oleh Legsilatif adalah melalui keputusan konstitusional bersyarat (Conditionally Constitutional).
Penyisipan norma baru dalam UU Pemilu membuat noktah baru dalam lembaran hukum di Indonesia. MK yang sejatinya dalam UU diamanatkan untuk memegang kekuasaan menguji UU terhadap UUD bukanlah sebuah lembaga Positive Legislator dalam membentuk norma baru. Uji materi yang dilakukan anggota DPD terhadap UU Pemilu tentu memicu perdebatan mengenai legal standing pemohon dan posita-nya mengenai pengujian UU Pemilu. Perlu dipahami bilamana DPD ingin melakukan pengujian UU dengan berniat untuk melakukan penambaha norma baru, maka secara teoritis jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan legislative review bukan dengan melakukan Judicial Review