on Sabtu, 12 Mei 2012

Pengaruh Konstruksi Sosial dalam Proses Penegakan Hukum
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri 2010)

 H.L.A Hart dalam bukunya Law, Liberty and Morality mengajukan satu pertanyaan penting bagi kalangan intelektual hukum di dunia. Yakni, apakah hukum itu dipengaruhi oleh moralitas ?  Apakah entitas hukum itu menjadi tak terpisahkan dari pengaruh interaksi sosial penegak hukum dalam memutus satu perkara ? Apakah secara afirmasi dapat pula diajukan pertanyaaan, apakah moralitas secara implikatif berpengaruh terhadap paradigma hukum ?
Pertanyaan-pertanyaan demikian tentulah tak dapat dijawab secara simplikatif, mengingat kompleksnya konvegensi antara hukum dan moral yang menjadi perdebatan sengit diantara kaum intelektual hukum di dunia. Namun, dalam konteks sosial masyarakat Indonesia secara umum, putusan hakim sangar erat dipengaruhi oleh entitas moral yang melekat dan terinternalisasi dalam pola pemikiran penegak hukum. Karena, konstruksi sosial masyarakat dimana Ia dibesarkan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam menjawab setiap persoalan kritis yang menyangkut tentang legitimasi hukum sebagai panglima di muka bumi.
 Sudah menjadi hal yang lazim di dalam kalangan akademis, bahwa hukum itu tak selalu berbanding lurus dengan realitas di masyarakat –Das Sein dan Das Sollen­­. Cita hukum untuk menuntun masyarakat dalam kotak simetris berupa aturan tak selalu mulus dengan pola penegakan hukum di masyarakat. Secara sosiologis, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya paradoks hukum. Diantaranya, berasal dari penegak hukum itu sendiri, dapat pula karena faktor undang-undang, dan terakhir dapat terjadi karena kultur masyarakat.
Ketiganya secara implisit memiliki paralelitas dalam mengusung proses penegakan hukum yang manusiawi. Aparat penegak hukum bahkan dapat disebut sebagai simbol kekokohan fiat justitia ruat coeloum. Fungsinya sebagai corong undang-undang (bila menerapkan aliran penerapan hukum legisme) ataupun sebagai konstruktor hukum (bila menerapkan aliran penerapan hukum freirechtslehre) menjadi penting mengingat pola transisi tekstual ke kontekstual dipertaruhkan.
Hukum dapat saja menjadi sangat konservatif dari alienasi hukum berupa intrik-intrik sosial bilamana sang algojo lihai dalam memainkan peran dengan menyelimuti diri dengan filosofi Dewi Themis. Bukan malah membelalakkan mata dalam mengusung peran sebagai pengadil. Mendalam soal faktor penghambat penerapan hukum berupa aparat penegak hukum itu sendiri, pengaruh konstruksi sosial tempat dimana sang pengadil menempa diri menjadi kunci pertama.
Konstruksi sosial memicu adanya satu resonansi otak dan frekuensi pendengaran yang kemudian diformulasikan dalam proses pengolahan data di wilayah logika yang nantinya menjadi faktor penegakan hukum. Menjadi penting, seberapa baik konstruksi sosial tersebut yang berupa institusi, agama, Negara dan budaya dalam membentuk karakter dan budaya hukum yang aspiratif, memenuhi rasa keadilan masyarakat secara holistis dan memangkas kultur dan perilaku koruptif yang dapat mengkorupsi moral public dalam balutan konspirasi hukum yang terus dibudidaya sejumlah pakar hukum di Indonesia.
Menjadi pertanyaan, apakah konstruksi sosial di masyarakat secara absolute dapat diafirmasi sebagai metode yang baik dalam memengaruhi pergaulan hukum di Indonesia?. Lantas, bagaimana dengan budaya ewuh pakewuh Jawa yang secara spiritual menyatu dalam pola tingkah laku masyarakatnya. Yang kemudian dikonversikan dalam bahasan formal berupa proses penegakan hukum? Bahkan, sejumlah pakar sebut saja Abraham Amos menyangsikan pengaruh budaya dan konstruksi sosial dalam proses penegakan hukum. Hukum punya cara sendiri dalam memutus perkara di masyarakat.Tak peduli apakah hal tersebut membelakangi moralitas yang berlaku di masyarakat sebagai residu dari konstruksi sosial. Ketika hukum erat dikaitkan dengan persoalan moralitas maka hukum akan menjadi bias ideologis.
 Karena hukum ada berkat pemahamannya sendiri. Yang dikonstruksikan dalam nalar ideologis yang terlepas dari anasir-anasir asing berupa budaya agama dan institusi. Inilah yang menjadi poin kenapa proses penegakan hukum di Indonesia kerap kali goyah dalam menapal batas, bersalah tidak bersalahnya seseorang dalam proses persidangan di muka pengadilan. Karena, pengadil (Hakim) kerap dipengaruhi oleh presensi yang ditarik dari pengalaman hakim. Hal ini memunculkan stereotype yang buruk terhadap hukum. Hukum tidak lagi dipandang sebagai jurus jitu dalam mengentaskan persoalan kebangsaan, kerakyatan, dan kemanusiaan.
 Hukum dijadikan sebagai komoditas dan praktik komersil yang memangkas esensi hukum itu sendiri. Pendidikan hukum menjadi rancu ketika memvonis satu persoalan. Salah satu kesimpulan yang paling krusial adalah merekonstruksi pola pendidikan hukum di Indonesia yang lepas dari alienasi berupa konstruksi sosial yang sangat kuat memengaruhi aparat penegak hukum di Indonesia. Karena, law is a liberty and morality.


Reformis Agama dan Premanisme 
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri 2010)

"Seolah terjadi apa yang dinamakan conspiracy of silent yang sudah dipraktikan oleh Negara."
Ketika perbenturan masalah agama dengan ideologi bangsa terus mencuat, kecenderungannya Negara kerap mengabaikan persoalan-persoalan krusial yang potensial mengakarkan konflik horizontal di masyarakat. Terkadang, apa yang dinamakan Negara tersebut justru memberikan intervensi moral lewat aparat-aparat yang kerap ‘mengoboy’ dalam memerangi hak-hak warga Negara.
Fenomena seperti ini sering muncul atau bahkan dimunculkan untuk membiaskan visi konstitusi. Negara mengabaikan persoalan-persoalan fundamental kebangsaan yang berujung pada perpecahan. Islam selalu menjadi topeng akan bopengnya birokrasi negeri ini.
Hukum di negeri ini seolah tumpul akan tindakan-tindakan heroisme sejumlah ormas yang mengatas namakan Agama. Negara, agama dan kultur diusung demi menumpas hak-hak kerakyatan yang sangat asasi. Padahal, sangat bias akan ket
Baru-baru ini Polisi membubarkan sebuah diskusi ilmiah yang dimotori oleh Komunitas Salihara di Jakarta. Terkait dengan kedatangan Irshad Manji, feminis Islam lesbian ke Jakarta. Pembubaran itu dipelopori oleh Front Pembela Islam (FPI). Negara telah dituding melanggar amanat konstitusi yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 28 e ayat (3) tentang kebebasan berpendapat. Konstitusi juga menjamin kebebasan warga Negara dalam mengekspresikan pendapat dalam satu syarikat. Tidak ada larangan oleh Negara dalam memberikan kewenangan kepada masyarakat Indonesia untuk mendirikan organisasi, perkumpulan dan menyatakan pendapat di muka umum.
Hal ini seolah menjadi bias ketika sejumlah oknum yang menamakan diri pembela agama mereduksi pasal-pasal konstitutif dalam undang-undang dasar. Seolah terjadi apa yang dinamakan conspiracy of silent yang sudah dipraktikan oleh Negara. Secara paralel, peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan substantif terus terjadi. Kaum minoritas menjadi persangkaan subjektif oleh kaum mayoritas.
Membuka tahun masehi 2012, rasa persatuan akan kebangsaan kita diusik oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab. Kebebasan masyarakat dalam beribadat terganggu setelah teror dan intimidasi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok berlanjut. Kali ini korbannya adalah jemaat Gereja Yasmin. Sejumlah kelompok masyarakat anti pembangunan gereja Yasmin menebar teror dan memboikot pendirian gereja di Bogor. Polisi seolah jadi macan ompong dan dikebiri oleh kelompok fundamentalis. Padahal, dalam kode etik profetik kepolisian yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 1997 mengamanatkan bahwa Polisi berhak dan wajib menjaga dan memelihara keamanan tertib masyarakat (kamtibmas) dari ancaman dunia luar yang dapat menggagung stabilitas Negara. Namun faktanya, Polisi menafsirkan pasal tersebut dengan tambahan pengecualian.
Tampaknya publik tak akan lupa dengan pengabaian Polisi yang hadir dalam aksi anarkistis anggota FPI yang menyerbu markas Ahmadiyah di Cikeusik. Beberapa Polisi yang berjaga tak kuasa menahan serbuan 1500-an anggota FPI yang mengepung markas Ahmadiyah. Walhasil, sejumlah korban bergelimpangan. Anggota Ahmadiyah yang tertangkap oleh FPI diamuk massa hingga tewas. Tak sampai disitu, korban bahkan yang sudah tewas pun masih disiksa dengan hantaman benda-benda tumpul hingga tubuh anggota Ahmadiyah tersebut remuk dan hancur.
Persidangan pada 31 Mei 2011 yang diadili oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Serang, Banten memvonis Adam Damini (Koordinator penyerangan ke Ahmadiyah) dengan Pasal 170 KUHP tentang penganiayaan secara bersama-sama dengan kurungan penjara selama 3 (tiga) tahun. Secara historis, konflik horizontal yang muncul ini dprakarsai oleh sejumlah reformis agama. Namun, besar kemungkinan kegiatan mereka juga diprovokasi atau ada intervensi moral dari imperium.
Tak dapat ditampik, persinggungan persoalan agama dan rasial di Bumi Indonesia kerap muncul seiring dengan akses informasi yang mudah digapai. Pengaruh media memberikan peran dalam memotori gerakan reformis agama untuk menumpas ketidak sepemahaman dengan kepercayaan agama lainnya. Sebagai komparasi, gerakan melat yang dilakukan reformis nasionalis Mesir memberikan pengaruh yang nyata bagi Indonesia untuk bisa menyamai gerakan-gerakan Muslim serupa di belahan dunia lainnya. Tak pelak, hal ini mengilhami mereka untuk mentransformasi diri menjadi laskar Tuhan dan Khalifah.
Morfin-morfin kecil seperti inilah yang kemudian terakumulasi dan menjadi bom atom bagi lingkungan disekitarnya. Benih gejala pra-terorisme tumbuh. Gerakan reformis agama bermetamorfosa menghantui perasaan masyarakat yang terbiasa dengan persoalan keberagaman. Persoalannya adalah terletak pada sulitnya mengkonfrontir mereka untuk dapat berpikiran terbuka dan bersama-sama memahami persoalan kebangsaan yang kerap menggoyahkan stabilitas Negara. Sebagai konsideransi, wacana konsolidasi dalam ruang diskursus public perihal menyikapi kasus-kasus konflik horizontal yang krusial perlu digalakkan. Para pemuka agama tidak seharusnya memberikan pernyataan provokatif yang pragmatis. Supaya Negara ini aman dan damai, perlu satu konsep kenegaraan yang bias agama, gender, budaya. Semua itu sebenarnya sudah menjelma dalam lima prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menjadi pertanyaan, sudahkah kita mengamalkannya dengan maksimal ?

on Sabtu, 05 Mei 2012

Bursa Dagang Pasal Jalanan, Praktik Korupsi Komersil Kepolisian
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri’10)

Satu persoalan pokok dan penting yang kerap menghantui pengendara motor di jalan raya adalah momok petugas kepolisian (Satlantas Polisi) yang gemar menilang pengendara motor. Ulah nakal aparat kepolisian rompi hijau di jalur lalu lalang kendaraan memunculkan idiom baru bahwa indeks persepsi korupsi oleh ICW terjadi lewat proses transaksional jalanan. Jual beli pasal diperdagangkan. Polisi kerap mengusung pasal-pasal ambivalen. Ditambah lagi bila pelaku yang ditilang adalah orang yang belum paham secara spesifik mengenai hukum.terkhusus, hukum jalanan (UU No 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, pen).
Tak ayal, proses barter di rimba kota makin memperkokok posisi Institusi Kepolisian sebagai pasar korupsi tersubur di Indonesia. Tak mengenal waktu, tak mengenal tempat. Bursa dagang pasal begitu menjamur di insititusi ini. Tak jarang, pelaku pelanggaran lalu lintas dan angkutan darat kerap disuguhi pasal-pasal dengan hukuman berat dan sebagainya. Mengingat, masih banyaknya warga masyarakat Indonesia yang masih buta hukum maka pengaruh buruk dalam pikiran masyarakat terhubung dengan formula hukum = berat. Padahal, secara teoritis hukum = aman. Roscoe Pound dari aliran Sosiological Jurisprudence mengatakan bahwa “…law as a social tool and social engineering
Dalam data rilis terakhir yang disadur dari laporan ICW tahun 2007 menunjukkan grafik peningkatan institusi kepolisian yang berada di garda terdepan dalam menyuburkan praktek korupsi komersil di Indonesia.

Peringkat Institusi Terkorup di Indonesia

Peringkat Terkorup
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
Instansi
Skor
Instansi
Skor
Instansi
Skor
I
Partai Politik
4,2
Parlemen
4,2
Polisi
4,2
II
Parlemen
4,0
Polisi
4,2
Parlemen
4,1
III
Polisi
4,0
Pengadilan
4,2
Pengadilan
4,1
IV
Pengadilan
3,8
Partai Politik
4,1
Partai Politik
4,0
Sumber : Diolah dari data ICW Independent Report dan Global Corruption Barometer

            Sementara temuan BPK pada empat institusi primer penegak hukum di Indonesia
memperlihatkan tingkat penyimpangan yang mengkhawatirkan. Kepolisian tetap menduduki peringkat tertinggi dengan temuan penyimpangan anggaran di tahun 2007, yakni 303 temuan, disusul oleh Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

No
Institusi/Lembaga
Temuan Pemeriksaaan
Belum Ditindak Lanjuti
Jumlah
Nilai
Jumlah
Nilai
1
Kejaksaan Agung
108
8.759,851
84
8.377,849
2
Kepolisian Republik Indonesia
303
533,970
US$ 1.349,34
€ 927,69
303
533,970
US$ 1.349,34
€ 927,69
3
Mahkamah Agung
24
5,815
15
5,815
4
Komisi Pemberantas Korupsi
9
0.00
1
0.00
Sumber : Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK-RI Semester I Tahun 2007.

            Sungguh ironis, sebagai sebuah institusi penegak hukum yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat justru malah memberikan rasa tidak aman kepada masyarakat. Polisi justru berubah menjadi makelar yang mengkomersilkan pasal-pasal di jalanan. Dalam indeks survey yang dilakukan oleh Imparsial pada Juli 2011 di DKI Jakarta menunjukan angka fantastis masyarakat akan kinerja kepolisian yang jatuh diambang ketidak puasan. Sebanyak 61,2 % masyarakat yang disurvey menyatakan ketidak puasan mereka terhadap kinerja kepolisian. Penilaian publik terus menyoroti kinerja kepolisian yang mengalamai degradasi profesi. Sebanyak 61,2 % masyarakat menyatakan ketidak berhasilannya Polisi dalam mendekam praktek korupsi di Indonesia. Dan hanya 14,8 % masyarakat yang menyatakan bahwa Kepolisian telah berhasil.
            Semangat anti korupsi yang dituangkan oleh pucuk elit anti-koruptif ternyata tak diamini oleh kebanyakan bawahan Kepolisian. Menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa Polisi rompi hijau kerap menjadi bajak jalanan bagi pengendara motor. Penafsiran hukum ala kadarnya, ditambah dengan pengetahuan hukum yang semenjana membuat Polisi lapang menggerus kantong masyarakat yang terkadang dalam kacamata hukum yang sebenarnya tak seberat pasal yang diterapkan oleh Polisi.
            Seolah-olah, pemasungan pasal kerap dijatuhkan oleh Polisi kepada masyarakat yang tengah mengendari kendaraan bermotor. Tarif ratusan ribu hingga jutaan rupiah, bahkan kerap disodorkan oleh Polisi kepada masyarakat. Maka dari itu, perlu penyadaran secara berkala bagi masyarakat untuk diberikan sosialisasi pengendara yang baik dan efektif agar terhindar dari praktik korupsi transaksional di jalanan.
            Sarana yang paling tepat tentunya memberikan layanan edukasi secara berkala kepada masyarakat--terkhusus kepada pengendara motor. UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalanan (UU LLAJ) perlu digodok bagi pengetahuan masyarakat mengingat besarnya jumlah pengendara motor di Indonesia. Sehingga, Kepolisian memang benar-benar memberikan pengayoman kepada masyarakat dengan edukasi lalu lintas yang tertib dan aman. prosedur penilangan pun harus benar-benar diutarakan mengingat dalam Pasal 2 huruf a UU LLAJ bahwa lalu lintas dan angkutan jalanan harus dilakukan dengan asas transparansi. Jadi, pengendara motor yang terlanjur melanggar lalu lintas memang benar-benar secara transparan dijelaskan apa dan bagaimana pelanggaran lalu lintas bisa terjadi. Termasuk, memberikan patokan denda yang sesuai dengan pedoman UU LLAJ. Hindarilah pikiran untuk menyuap polisi dengan mematok harga yang diajukan. Karena, secara tidak langsung anda telah mengafirmasi dan melakukan praktik Korupsi. Bukankah, hukum dibuat untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Maka dari itu, pahamilah peraturan yang ada, jadikanlah pedoman, bila terdapat pelanggaran ataupun penyelewengan pasal segera laporkan kepada institusi terkait untuk segera ditindak lanjuti. Berikut tips cerdas berwawasan hukum untuk menghindari praktik transaksi pasal di jalanan.

  1. Prosedur Penilangan
Polisi yang memberhentikan pelanggar wajib menyapa dengan sopan serta menunjukan jati diri dengan jelas. Polisi harus menerangkan dengan jelas kepada pelanggar apa kesalahan yang terjadi, pasal berapa yang telah dilanggar dan tabel berisi jumlah denda yang harus dibayar oleh pelanggar. Pelanggar dapat memilih untuk menerima kesalahan dan memilih untuk menerima slip biru, kemudian membayar denda di BRI tempat kejadian dan mengambil dokumen yang ditahan di Polsek tempat kejadian, atau menolak kesalahan yang didakwakan dan meminta sidang pengadilan serta menerima slip merah. Pengadilan kemudian yang akan memutuskan apakah pelanggar bersalah atau tidak, dengan mendengarkan keterangan dari polisi bersangkutan dan pelanggar dalam persidangan di kehakiman setempat, pada waktu yang telah ditentukan (biasanya 5 sampai 10 hari kerja dari tanggal pelanggaran).

1. Penilangan Ringan

No
KLASIFIKASI PASAL
JENIS PELANGGARAN
denda utk kend.tdk bermotor (Rp)
denda utk sepeda motor (Rp)
denda utk mobil penumpang pribadi(Rp)
denda utk mobil penumpang umum(Rp)
denda utk mobil bak/boks(Rp)
denda utk bus/truk(Rp)
denda utk truk gandeng(Rp)
1
Psl. 91 (1) & (2) PP 43/93
Kewajiban pejalan kaki untuk berjalan pada bagian jalan yang diperuntukan baginya atau pada bagian jalan yang paling kiri bila tidak terdapat bagian jalan yang dimaksudkan dan menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
10.000
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
2
58 Yo Psl. 17 (1) UULAJ
Mengemudikan kendaraan tidak bermotor tanpa memenuhi persyaratan rem, lampu, tuter bagi kendaraan tidak bermotor.
15.000
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
3
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yo Psl. 8 (1) A UULAJ Yo Psl. 17 (3) & (4) PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar rambu-rambu perintah atau larangan.
tdk ada
15.000
25.000
30.000
30.000
50.000
75.000
4
61 (1) Yo Psl 23 (1) d Yo Psl 8 (1) b UULAJ Yo Psl 21 (1) & (4) PP 43/1993
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar marka jalan yang berupa garis utuh membujur tunggal atau ganda gerakan LL/Jalur.
tdk ada
10.000
25.000
30.000
30.000
50.000
75.000
5
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yp Psl 8 (1) d UULAJ Yo Psl. 22 (2) PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar marka jalan sebagai garis berhenti bagi kendaraan bermotor yang diwajibkan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas atau rambu stop.
tdk ada
10.000
15.000
25.000
25.000
50.000
75.000
6
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yo Psl. 8 (1) C UULAJ Yo Psl. 29 PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar ketentuan cahaya yang diberikan alat pemberi isyarat lalu lintas.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
50.000
75.000
7
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yo Psl. 55a PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar larangan melewati kendaraan lain dipersimpangan atau dipersilangan sebidang.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
50.000
75.000
8
61 (1) Yo Psl 23 (1) d UULAJ Yo 55b PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar larangan melewati kendaraan lain yang sedang memberi kesempatan menyeberang pejalan kaki atau pengendara sepeda.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
50.000
75.000
9
61 (1) Yo Psl 23 (1) d UULAJ Yo Psl 65 PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar kewajiban pemakai jalan untuk mendahulukan kendaraan yang mendapat prioritas sebagai yang dimaksud ayat 1 Psl 65 PP 43/1993.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
60.000
75.000

Pelanggaran Sedang

No
KLASIFIKASI PASAL
JENIS PELANGGARAN
denda utk kend.tdk bermotor(Rp)
denda utk sepeda motor(Rp)
denda utk mobil penumpang pribadi(Rp)
denda utk mobil penumpang umum(Rp)
denda utk bak/boks(Rp)
denda utk bus/truk(Rp)
denda utk truk gandeng(Rp)
1
56 (1) Yo Psl. 13 (3) UULAJ
Mengemudikan kendaraan bermotor tanpa dilengkapi tanda bukti lulus uji bagi mobil bus, mobil barang, kendaraan umum, kereta gandeng dan kendaraan khusus di jalan.
tdk ada
tdk ada
25.000
50.000
50.000
75.000
150.000
2
57 (2) Yo Psl. 14 (2) UULAJ Yo Psl 197 (1) & (3) PP 44/93
Mengemudikan kendaraan bermotor tidak dapat menunjukkan STNK atau STCK beserta BTCK.
tdk ada
20.000
50.000
50.000
50.000
100.000
125.000
3
57 (2) Yo Psl 14 (2) UULAJ
Mengemudikan kendaraan bermotor tidak dilengkapi TNKB/TNCK yang sesuai dengan ketentuan.
tdk ada
15.000
40.000
40.000
40.000
75.000
100.000