on Senin, 01 Oktober 2012


Semenjak perubahan/amademen Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD)1945 ketiga digulirkan, terdapat perubahan secara fundamental terhadap sistem politik di Indonesia. mengawali epik demokrasi secara sentralistis dibawah rezi orde baru, amandemen UUD 1945 hingga yang ke-empat pada 9 November 2002 mengawali kiprah baru bangsa Indonesia dalam mengawal konstitusi dan hukum sebagai payung berkehidupan bangsa dan bernegara. Esensi dari sebuah epik demokrasi tersebut melandasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia merupakan Negara Hukum” hal ini melimitasi setiap abuse of power pemerintah untuk melakukan apa yang disebut dengan excess du povoir(Pelampauan Wewenang) dan detournement du povoir(penyalah gunaan wewenang). Ekses-ekses wewenang dapat direduksi seiring dengan dikonstruksinya bangunan kokoh dalam bingkai kerangka Negara hukum.
Perubahan-perubahan secara radikal tersebut mengerucut terhadap sistem pembagian kekuasaan di Indonesia. Merujuk pada teori Montesquie yang diilhami dari John Locke yang dalam bukunya l’espirit des lois membagi kekuasaan dalam tiga sub-kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif yang secara subsumtif diterapkan di Indonesia. Pembagian kekuasaan tersebut mengacu pada teori separation of Power dan distribution of power. Sejalan dengan pendapat kedua ahli hukum ternama tersebut, Lord Acton memberikan pemaparan yang sempurna menyoal kekuasaan yakni “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” terjemahan bebasnya : “kekuasaan itu cenderung korupsi, dan kekuasaan yang absolut(mutlak) itu pasti korupsi. Berangkat dari pemikiran Lord Acton itulah, untuk melimitasi kekuasaan yang tendensi terhadap suatu lembaga sebagai prefrensi kemajuan Demokrasi di negeri tercinta maka pemisahan dan penegasan pembagian kekuasaan perlu dilakukan.
Hal inilah yang melandasi tulisan diatas sebagai sebuah preseden normatif bagi kelangsungan epic demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga yang berdiri berdasarkan hasil amandemen ketiga UUD 1945 secara tegas didalam Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 7 dan 24 C UUD 1945 secara jelas wewenang MK diberikan oleh UUD berupa, berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang bersifat final terhadap pengujian UU terhadap UUD (Judicial review), memutus sengketa kelembagaan Negara, membubarkan partai politik, dan memberikan saran kepada DPR terhadap proses pemakzulan (Impeachment) Presiden.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran hukum itulah yang kemudian merefleksi terhadap tindak tanduk MK sebagai pengawal konstitusi di negeri ini. MK ditenggarai bukanlah badan supra-politik yang mampu menjangkau eksesif wewenang yang disandangkan pada MK. Wewenang MK dalam menguji UU terhadap UUD tidak dimaksudkan bahwa MK dapat membentuk norma positif baru yang mengikat. karena itu sudah menjadi tugas DPR sebagai Positive Legislation sebagaimana Pasal 20 butir (a) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini sejalan dengan nomenklatur DPR itu sendiri sebagai sebuah lembaga legislatif. Terkait dengan MK yang kerap melakukan penambahan norma baru terhadap undang-undang yang diujikan ke MK hal ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana MK dapat konsisten dengan amanat konstitusi sementara MK kerap dipayungi dengan gelar pengawal konstitusi. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa pintu masuk MK dalam mengadakan sebuah norma baru terhadap norma yang belum ada dibentuk oleh Legsilatif adalah melalui keputusan konstitusional bersyarat (Conditionally Constitutional).
Penyisipan norma baru dalam UU Pemilu membuat noktah baru dalam lembaran hukum di Indonesia. MK yang sejatinya dalam UU diamanatkan untuk memegang kekuasaan menguji UU terhadap UUD bukanlah sebuah lembaga Positive Legislator dalam membentuk norma baru. Uji materi yang dilakukan anggota DPD terhadap UU Pemilu tentu memicu perdebatan mengenai legal standing pemohon dan posita-nya mengenai pengujian UU Pemilu. Perlu dipahami bilamana DPD ingin melakukan pengujian UU dengan berniat untuk melakukan penambaha norma baru, maka secara teoritis jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan legislative review bukan dengan melakukan Judicial Review
on Selasa, 10 Juli 2012

 Secara historis, era penjajahan Belanda ke Indonesia ratusan tahun lalu membawa pengaruh yang luar biasa banyak bagi perkembangan Negara ini. Bukan hanya soal bangunan dan banyaknya warga ekspatriat asal Belanda yang tinggal di Indonesia dan warga Indonesia yang tinggal di Belanda. Melainkan, peninggalan bersejarah zaman penjajahan Belanda berupa bangunan membuktikan bahwa pengaruh Belanda sudah sangat kuat di Indonesia.
Tak hanya itu, peninggalan Belanda semakin kentara dengan pemberlakuan asas konkordansi[1] kitab undang-undang hukum Pidana yang dibawa oleh kolonial Belanda ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan upaya pemberlakuan KUHP yang sebelumnya bernama WvS (Wetboek van Strafrecht) melalui konsiderans berupa perubahan-perubahan urgensif melalui proses konkordansi. [2]
            Pengaruh kuat Belanda dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia ditandai dengan menguatkan pola sistem hukum yang dianut. Secara teoritis, ada sistem hukum yang berlaku di dunia saat ini. 1) Sistem Hukum Eropa Kontinental; 2) Sistem Hukum Anglo Saxon; 3) Sistem Hukum Islam; 4) Sistem Hukum Adat. Pengaruh kuat Belanda di Indonesia mengindikasikan bahwa sistem hukum yang dianut Indonesia lebih kuat pengaruh Eropa Kontinental dengan banyaknya wacana-wacana kritis soal dinamika hukum di Indonesia dengan menggunakan teori-teori ahli Hukum Belanda. Hal tersebut direpresentasikan dalam ratusan produk legislasi yang banyak menggunakan doktrin hukum asal Belanda dalam perumusan naskah akademisnya.
Kendati Indonesia mempunyai sistem hukum sendiri asli milik bangsa Indonesia yakni sistem hukum Adat. Namun, gagasan dan ruang wacana kritis dalam proses pembangunan sistem hukum adat menjadi lebih serius dan mendalam sama halnya dengan sistem hukum lainnya masih belum begitu ramai diperbincangkan dikalangan akademisi hukum. meskipun milik bangsa Indonesia asli, majemufikasinya membuat banyak akademisi hukum sulit untuk me-unifikasi sebagaimana kebanyakan sistem hukum lainnya. [3]


[1] Asas Konkordansi menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Belanda, berlaku juga  di Hindia Belanda atas dasar asas unifikasi.
[2] Baca lebih lanjut UU No 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
[3] Baca lebih lanjut buku Prof. Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta

Putusan MK atas Uji Materi Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan
Menyatakan:
-Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; .. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.

Analisis :
Diketok palunya perkara judicial review (uji materi) UU No 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomo 46/PUU-VIII/2010 melakoni babak baru mengenai akibat hukum yang ditimbulkan. Meninjau pasal yang di-uji materi oleh Macica Mochtar yang merasa kepentingan dirinya dirugikan dengan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Anak yang dilahirkan dari luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya” pasca putusan MK kemudian berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Berdasarkan putusan tersebut, secara garis perdata anak yang dilahirkan melalui hubungan luar nikah/diluar ketentuan UU Perkawinan dapat ditujukan kepada ayah biologis dan keluarga sang ayah dari anak, mengingat selama ini anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal ini memberikan implikasi hukum yang positif bagi perkembangan psikologis sang anak. Karena, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak dengan layak (Vide : Pasal 45 ayat (1) ).
Namun, perlu diperhatikan fakta-fakta hukum yang harus dicermati agar tidak terjadi persinggungan yang kuat antara hukum adat, agama dan legal formal hukum Negara. Dalam pasal 43 ayat (2) secara implisit terkandung makna bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan termasuk menjadi wali bagi anak-anaknya dalam melakukan hubungan hukum. akan tetapi, perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan UUP (nikah sirri, dibawah tangan, dll) secara administratif tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang perkawinan tersebut tidak dicatatkan melalui petugas pencatat perkawinan. Hal ini agak riskan mengingat, perkawinan yang tidak dicatatkan Negara tidak memiliki perjanjian pernikahan yang kuat dimata hukum. bila perkawinan tersebut dicatatkan ke Negara, setidaknya kepastian hukum atas hak-hak anak dari orang tuanya dapat dimintakan pertanggung jawaban. Diluar, pasal-pasal a quo yang dicoba pemohon untuk melegitimasi kepentingan pemohon.

on Minggu, 17 Juni 2012

Perbedaan Mendasar Jaminan HAM dalam Konstitusi RIS dan UUD 1945 (Pasca-Amandemen)


  1. Pembahasan

J
auh sebelum berdirinya apa yang dinamakan sebuah Negara, dasar pemikiran yang dirumuskan dalam bentuk naskah otentik merestrukturisasi jalan terbentuknya sebuah Negara. Hal tersebut, menjadi pedoman (way of life) bagi komunitas masyarakat yang membentuk consensus sosial untuk mendirikan sebuah Negara. Perumusan dasar tersebut merangsang pola-pola kehidupan bernegara yang terjalin secara harmonis menuju era kebangkitan sebuah komunitas masyarakat yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan,
Teori-teori klasik pembentukan Negara yang dimulai dari beberapa fase [1], seperti fase persekutuan komunitas (Primus Interpares), fase kerajaan, fase negara (Staat), dan fase demokrasi ini merupakan proses yang dihasilkan dari ikhtisar/rangkuman pembentukan Negara yang dibentuk melalui landasan konstitusi.
Kata konstitusi mulai dikenal seiring dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan sosial dan hukum di Eropa. Sejumlah Negara Eropa sendiri—Negara yang menganut sistem Hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental—membedakan penafsiran dari segi fonetis antara konstitusi dan UUD. Dikotomi tersebut menuai penafsiran secara unifikatif dan disebutkan secara beriringan. Miriam Boediarjo, dalam bukunya menyebutkan bahwa terjemahan konstitusi dan UUD ini merupakan kebiasaan ilmuwan hukum Jerman dan Belanda. [2]
Kedua ilmuwan hukum beda Negara tersebut biasa menyebutkan dua kata—konstitusi dan UUD— yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari yang memakai kata Grond (=dasar) dan Wet (=Undang-undang), serta Grund (=dasar) dan Gesetz (=Undang-undang). [3]
Akan tetapi perlu dicatat dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J Van Apeldoorn) diadakan perbedaan antara pengertian UUD dan Konstitusi. UUD diartikan sebagai rumusan dalam bentuk terulis sedangkan konstitusi tidak tertulis.
Mengingat, pentingnya sebuah konstitusi yang dipedomani sebagai dasar-dasar kehidupan bernegara. Maka, tugas konstitusi untuk meyelaraskan rumusan-rumusan kenegaraan agar tercipta harmonisasi kehidupan bernegara.
Dalam amandemen terakhir UUD 1945, disebutkan dalam secara khusus dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia yang terdiri dari satu pasal dan beberapa paragraph tambahan. Dalam Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, pasal ini mengisyaratkan adanya satu bentuk pengakuan hak asasi yang paling asasi dan tidak boleh direstriksi. Serupa dengan konsep non-derogablenya DUHAM (deklarasi universal hak asasi manusia), dalam Pasal 3 DUHAM “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu”. Memang, politk hukum perumus konstitusi negeri ini pasca transisi banyak dipengaruhi dari deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM).
Dalam konstitusi RIS, pada Bagian 5 mengenai Hak dan Kebebasan Dasar Manusia. Dalam bagian ini terdapat banyak pasal yang mengatur mengenai hak-hak dan kebebasan manusia dalam mempertahankan kedaulatan dirinya dan melepaskan penjara pasca-kolonial yang terbukti merangkum banyak hal. Terhitung dari pasal 8 hingga pasal 33 Konstitusi RIS mengatur persoalan-persoalan pokok mengenai Hak asasi manusia.
Bandingkan dengan UUD 1945 yang hanya memiliki satu pasal (Pasal 28) yang terdiri dari 10 ayat dan belasan butir. Sementara itu, jangkauan Konstitusi RIS dalam rumusannya mengindikasikan bentuk penghargaan hak asasi hingga pelosok negeri. Hal ini dibuktikan dengan rumusan Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang berhak dan bebas tinggal di perbatasan Negara”. Sementara itu, perbedaan mendasar dan kuat yang membedakan antara Konstitusi RIS dan UUD 1945 adalah jaminan konsitusi terhadap warganya dan jaminan warga terhadap konsitusi yang begitu kuat. Dalam pasal-pasal urgensi mengenai Hak asasi manusia lewat konstitusi RIS tidak hanya keberpihakan konstitusi terhadap rakyat yang menjamin hak asasi masyarakatnya. Akan tetapi, jaminan warganya terhadap konstitusi yang begitu kuat. Terbukti dengan bukti-bukti tekstual yang tersurat dalam beberapa pasal dalam Konstitusi RIS.
Dalam Pasal 10,11,12 dst pada awal kalimat pembuka banyak disebutkan dengan “Tiada seorang djuapun” pada bunyi-bunyi pasal dalam konstitusi RIS. Terlihat, fungsi kuat sebuah naskah hukum dapat dipahami dengan sebuah ancaman/imperatifitas/represifitas terhadap warga bahwa setiap warga masyarakat tidak dapat dengan alasan apapun mereduksi hak-hak dasar yang dimiliki sesamanya. Bandingkan dengan UUD 1945 pasca amandemen, setiap awal kalimat pasal hanya berbunyi “Setiap orang”, yang mana dalam pemahaman tekstual hukum setiap orang hanya memiliki hak karena pasca frasa pertama ‘setiap orang” akan diikuti kata “berhak” yang menunjukan pendakuan yan terlalu subyektif.


[1] Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, 2005
[2] Boediardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, 1978, Jakarta. Hal. 95
[3] Ibid. Hal 95
on Senin, 11 Juni 2012


            Dewasa ini, perkembangan teknologi yang makin global seiring dengan pertumbuhan alat-alat Bantu teknologi yang tidak lagi menggunakan tenaga mekanik manusia. Jenjang kehidupan manusia menjadi makin efisien dalam melaksanakan setiap pekerjaan yang dilakoni. Faktanya, akses informasi dari ujung dunia sekalipun dapat anda akses hanya dengan duduk dirumah melalui media komunikasi internet. Tak hanya benefit yang didapat dari makin jamaknya perkembangan teknologi sekarang. Sejumlah kerugian juga dapat ditemukan melalui penggunaan teknologi. Salah satunya adalah pencurian data, penipuan berbasis komersialisasi perdagangan melalui dunia maya adalah rangkaian persitiwa penggunaan teknologi sebagai basis kehidupan.
            Kemajuan teknologi tentunya dimanfaatkan banyak kalangan untuk menggunakannya sesuai dengan si-user berniat untuk apa dirinya melakukan hal tersebut. Antinomy tentu selalu berlaku dalam setiap jenjang kehidupan. Ada yang menggunakan kemajuan teknologi seperti itu dengan hal-hal yang positif, seperti memberikan informasi publik yang dapat disebarluaskan secara kolektif. Mengingat, hampir seluruh warga dunia terikat dan bergantung dengan efisiensi penggunaan teknologi. Terlebih sebagai alat komunikasi dan penunjang aksesifitas.
            Berbicara menyoal kemajuan teknologi, terkhusus teknologi internet. Wadah dimana warga dunia bisa saling berinteraksi satu sama lain secara mudah. Sudah begitu lazim diperbincangkan. Tak dapat dipungkiri, kedekatan yang begitu intim antara manusia dan internet begitu meluas hingga anak kecil sekalipun. Tak ayal, hampir banyak bidang kehidupan seperti perdagangan, pendidikan, bahkan pemerintahan sudah menyentu era siber sebagai bentuk aktualisasi kualitas bidang yang mereka geluti. Sebagai contoh, kualitas satu perguruan tinggi dapat diukur melalui kecanggihan tampilan web dan penyeka akses layanan informasi yang mudah dan murah.
            Namun, hal ini tentu berbanding terbalik bilamana penggunaan alat-alat teknologi tersebut digunakan secara negatif oleh penggunanya. Sudah banyak contoh kasus-kasus dibidang teknologi yang merugikan banyak kalangan. Terkhusus, menyoal pencurian data elektronik melalui dunia maya, plagiasi karya ilmiah yang dipublikasi melalui internet, hingga kasus-kasus penipuan dalam bidang perdagangan elektronik atau yang lebih dikenal luas sebagai electronic commerce (e-commerce).
            Hal inilah yang coba dijangkau banyak kalangan terkhusus saintifis ilmu hukum dan pakar teknologi untuk mengentaskan persoalan dunia maya yang begitu rumit. Mengingat, sulitnya membebankan beban pembuktian kepada terdakwa yang tersangkut persoalan tindak pidana dunia maya (cyber crime). Tak hanya dilakukan secara personal persoalan tindak pidana dunia maya, pihak-pihak tidak bertanggung jawab pun secara kolektif dapat melakukan pencurian data, penipuan, manipulasi data dan sebagainya. Tentunya, dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan pribadi/kelompok.
            Persoalan ini kerap membingungkan saintifis ilmu hukum untuk menetapkan subyek hukum yang mana yang dapat dibebankan beban pembuktian yang diklasifikasikan sebagai terdakwa tindak pidana dunia maya. Seperti yang kita ketahui, Prof. E. Simmons telah merumuskan lima rumusan penting mengenai persoalan dan syarat-syarat ditindak pidananya seseroang. Salah satunya adalah adanya campur tangan manusia. Namun, menjadi persoalan bila pencurian dunia maya dilakukan lewat virus berupa spyware yang dapat mencuri data-data yang telah terelektronifikasi. Kendati pada awalnya merupakan perbuatan manusia, namun dapatkah hal tersebut dikategorikan sebagai bentuk kesalahan (dolus) dan kelalaian (culpa).
            Lantas, setelah ditetapkannya siapa subyek hukum yang bertanggung dijawab atas tindak pidana dunia maya. Maka, saintifis ilmu hukum akan kesulitan untuk membebankan beban pembuktian kepada terdakwa. Secara umum, terdapat beberapa poin mengenai definisi alat bukti digital.
  1. Alat bukti digital adalah semua data yang dapat menampilkan atau menujukkan bahwa tindak kriminal terjadi atau dapat memberi atau menghubungkan antara kriminalitas dan korbannya, atau tindak kriminal dan pelakunya (Casey: 2000).
  2. Alat bukti digital adalah informasi yang disimpan atau ditransmisikan dalam bentuk binary atau biner (satu dari representasi umum dari data komputer) yang mungkin dibutuhkan di persidangan (IOCE, Iternational Organization of Computer Evidence).
  3. Alat bukti digital adalah informasi dan data yang memiliki nilai investigasi yang disimpan atau ditransmisikan dengan komputer (ACPO, The Association of Chief Police Officers).
  4. Alat bukti digital adalah data digital yang mendukung atau meninggalkan hipotesis tentang kejadian digital atau tahap dari data digital (Carrier, 2006).
Alat bukti digital memiliki kerawanan meliputi aspek keamanan informasi, yaitu : keutuahn dan keaslian data. Otentikasi alat bukti berarti alat bukti tersebut memenuhi syarat persidangan bahwa (a) isi dari rekaman tidak berubah, (b) informasi dalam rekaman secara fakta berasal dari sumber yang dipercaya, baik dari manusia ataupun mesin, dan (c) informasi tambahan misalnya data tanggal rekaman yang akurat. Seperti halnya rekaman dalam bentuk kertas, derajat otentikasi dapat dibuktikan melalui verbal (pendapat kesaksian) dan alat bukti tidak langsung, jika ada, atau melalui fitur teknologi didalam sistem atau rekaman (Reed, 1990-1991). Integritas adalah jaminan terhadap keutuhan data digital dengan kata lain memastikan bahwa data digital tersebut tidak dimodifikasi (ditambah, dikurang, diubah dll) oleh pihak yang tidak berhak.Tujuan dari cek integritas adalah untuk menunjukkan bahwa alat bukti tidak diubah dari ketika dikumpulkan, hal ini juga mendukung proses otentikasi. Pada forensik digital, proses verifikasi integritas dari alat bukti umumnya meliputi perbandingan antara dari sidik jari digital untuk alat bukti digital tersebut yang diambil pada saat pengumpulan, dengan sidik jari digital pada alat bukti saat state saat ini.
Akan sangat sulit bagi saintifis ilmu hukum untuk menjerat terdakwa tindak pidana dunia maya. Selain sulit mengidentifikasi siapa subyek hukum yang bertanggung jawab atas pencurian data melalui dunia maya, pembenanan alat bukti juga sulit untuk dibuktikan. Kendati sudah terdapat alat bukti, tentunya perlu diverifikasi terlebih dahulu apakah alat bukti tersebut memang benar adanya dan bukan merupakan hasil manipulasi data.
Peran telematika sangat membantu peran saintifis ilmu hukum dalam memveririfikasi setiap persoalan yang ada agar tidak menjadi bukti-bukti palsu yang juga tentunya merugikan bagi banyak kalangan. Karena, pada dasarnya hukum itu diciptakan untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.



on Rabu, 06 Juni 2012

Clemencial Review ? 

Menganut sistem pemerintahan presidensiil dan menerapkan sistem pemerintahan yang saling mengimbangi dan mengawasi (checks and balances) membuat Indonesia mau tak mau dihadapkan pada persoalan kewenangan tanpa intervensi karena konsekuensi yuridis atas sebuah rumusan konstitusional. Saling silang kewenangan pun dikedepankan. Kendati tak seluas wewenang alamiah yang dilegitimasi oleh konstitusi, kewenangan bersifat adisional itupun menyorot perhatian.
Kewenangan Presiden sebagai sebuah kelembagaan yang bersifat eksekutif membuatnya menjadi eksekutor dalam trigger filosofi trias politica. Selain itu, terdapat dua lembaga lagi yang dirumuskan Montesquie yakni legislative dan eksekutif. Seiring dengan berjalannya waktu, kewenangan tersebut menjadi semakin fleksibel dan bias kepastian hukum. wawasan hukum kontemporer menginterpretasikan kewenangan yang rigid menjadi sangat luwes dalam memotong setiap persoalan yang menembus batas-batas hukum. konstitusi Indonesia menjadi preseden penyesuaian dan keluwesan kaedah hukum dalam mengentaskan persoalan yang konvergen dengan hukum.
Lintas batas kewenangan diusung. Presiden yang merupakan simbol otoritas politik yang bergaris eksekutif memiliki kewenangan untuk menjangkau otoritas legislative dan eksekutif. Hal ini memunculkan idiom baru yang menyatakan executive heavy. Bagaimana tidak, keuntungan menjadi seorang kepala Negara memberikan eksesifitas kekuasaan yang berimplikasi pada intervensi politik dan hukum terhadap lembaga-lembaga lain.
Pasal 14 UUD 1945 memberikan gambaran secara nyata yang tertuang dalam konstitusi menyoal eksesifitas kewenangan presiden dalam menjangkau lembaga-lembaga setingkat dengan Presiden. Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. [1]
Konsepsi dasar pemisahan kekuasaan tersebut merujuk pada separated of power secara horizontal dan distribution of power secara vertikal. Dimana, terdapat penyesuaian kewenangan dimasing-masing lembaga tinggi Negara agar tidak saling mencaplok wilayah masing-masing. Dalam hal ini, Presiden jelas mesti mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dibidang Yudikatif.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan bahwa Presiden memutus permohonan Grasi setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung. Kewenangan Presiden untuk memangkas kumulasi pemidanaan tentu menarik perhatian sejumlah kalangan akademisi hukum untuk terus menggali nilai-nilai filosfis, yuridis, dan sosiologis.
Namun, menjadi pertanyaan penting. Ketika produk hukum tersebut justru bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku di Indonesia, lantas siapa yang akan menindak. Kemudian, ketika dikaitkan dengan Stufenbao Theorie masuk dalam klasifikasi yang manakah Grasi. Mengingat, sama halnya dengan Judicial Review, bahwa UU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. (lex superior derogat lex inferior). Bila tidak dikategorikan ke dalam hierarki per-UU, lantas siapa yang berhak melakukan Clemencial Review (Pengujian Grasi) terhadap UU/UUD. Apa landasan hukumnya, kendati itu merupakan kewenangan ekslusif Presiden bukan berarti hal tersebut incrah dalam kacamata hukum yang sempuran. No Body Picture Perfect ! let us know what your argue ? 




[1] Pemikiran Montesquie Tentang Trias Politica, http://felixsharieff.wordpress.com
on Sabtu, 12 Mei 2012

Pengaruh Konstruksi Sosial dalam Proses Penegakan Hukum
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri 2010)

 H.L.A Hart dalam bukunya Law, Liberty and Morality mengajukan satu pertanyaan penting bagi kalangan intelektual hukum di dunia. Yakni, apakah hukum itu dipengaruhi oleh moralitas ?  Apakah entitas hukum itu menjadi tak terpisahkan dari pengaruh interaksi sosial penegak hukum dalam memutus satu perkara ? Apakah secara afirmasi dapat pula diajukan pertanyaaan, apakah moralitas secara implikatif berpengaruh terhadap paradigma hukum ?
Pertanyaan-pertanyaan demikian tentulah tak dapat dijawab secara simplikatif, mengingat kompleksnya konvegensi antara hukum dan moral yang menjadi perdebatan sengit diantara kaum intelektual hukum di dunia. Namun, dalam konteks sosial masyarakat Indonesia secara umum, putusan hakim sangar erat dipengaruhi oleh entitas moral yang melekat dan terinternalisasi dalam pola pemikiran penegak hukum. Karena, konstruksi sosial masyarakat dimana Ia dibesarkan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam menjawab setiap persoalan kritis yang menyangkut tentang legitimasi hukum sebagai panglima di muka bumi.
 Sudah menjadi hal yang lazim di dalam kalangan akademis, bahwa hukum itu tak selalu berbanding lurus dengan realitas di masyarakat –Das Sein dan Das Sollen­­. Cita hukum untuk menuntun masyarakat dalam kotak simetris berupa aturan tak selalu mulus dengan pola penegakan hukum di masyarakat. Secara sosiologis, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya paradoks hukum. Diantaranya, berasal dari penegak hukum itu sendiri, dapat pula karena faktor undang-undang, dan terakhir dapat terjadi karena kultur masyarakat.
Ketiganya secara implisit memiliki paralelitas dalam mengusung proses penegakan hukum yang manusiawi. Aparat penegak hukum bahkan dapat disebut sebagai simbol kekokohan fiat justitia ruat coeloum. Fungsinya sebagai corong undang-undang (bila menerapkan aliran penerapan hukum legisme) ataupun sebagai konstruktor hukum (bila menerapkan aliran penerapan hukum freirechtslehre) menjadi penting mengingat pola transisi tekstual ke kontekstual dipertaruhkan.
Hukum dapat saja menjadi sangat konservatif dari alienasi hukum berupa intrik-intrik sosial bilamana sang algojo lihai dalam memainkan peran dengan menyelimuti diri dengan filosofi Dewi Themis. Bukan malah membelalakkan mata dalam mengusung peran sebagai pengadil. Mendalam soal faktor penghambat penerapan hukum berupa aparat penegak hukum itu sendiri, pengaruh konstruksi sosial tempat dimana sang pengadil menempa diri menjadi kunci pertama.
Konstruksi sosial memicu adanya satu resonansi otak dan frekuensi pendengaran yang kemudian diformulasikan dalam proses pengolahan data di wilayah logika yang nantinya menjadi faktor penegakan hukum. Menjadi penting, seberapa baik konstruksi sosial tersebut yang berupa institusi, agama, Negara dan budaya dalam membentuk karakter dan budaya hukum yang aspiratif, memenuhi rasa keadilan masyarakat secara holistis dan memangkas kultur dan perilaku koruptif yang dapat mengkorupsi moral public dalam balutan konspirasi hukum yang terus dibudidaya sejumlah pakar hukum di Indonesia.
Menjadi pertanyaan, apakah konstruksi sosial di masyarakat secara absolute dapat diafirmasi sebagai metode yang baik dalam memengaruhi pergaulan hukum di Indonesia?. Lantas, bagaimana dengan budaya ewuh pakewuh Jawa yang secara spiritual menyatu dalam pola tingkah laku masyarakatnya. Yang kemudian dikonversikan dalam bahasan formal berupa proses penegakan hukum? Bahkan, sejumlah pakar sebut saja Abraham Amos menyangsikan pengaruh budaya dan konstruksi sosial dalam proses penegakan hukum. Hukum punya cara sendiri dalam memutus perkara di masyarakat.Tak peduli apakah hal tersebut membelakangi moralitas yang berlaku di masyarakat sebagai residu dari konstruksi sosial. Ketika hukum erat dikaitkan dengan persoalan moralitas maka hukum akan menjadi bias ideologis.
 Karena hukum ada berkat pemahamannya sendiri. Yang dikonstruksikan dalam nalar ideologis yang terlepas dari anasir-anasir asing berupa budaya agama dan institusi. Inilah yang menjadi poin kenapa proses penegakan hukum di Indonesia kerap kali goyah dalam menapal batas, bersalah tidak bersalahnya seseorang dalam proses persidangan di muka pengadilan. Karena, pengadil (Hakim) kerap dipengaruhi oleh presensi yang ditarik dari pengalaman hakim. Hal ini memunculkan stereotype yang buruk terhadap hukum. Hukum tidak lagi dipandang sebagai jurus jitu dalam mengentaskan persoalan kebangsaan, kerakyatan, dan kemanusiaan.
 Hukum dijadikan sebagai komoditas dan praktik komersil yang memangkas esensi hukum itu sendiri. Pendidikan hukum menjadi rancu ketika memvonis satu persoalan. Salah satu kesimpulan yang paling krusial adalah merekonstruksi pola pendidikan hukum di Indonesia yang lepas dari alienasi berupa konstruksi sosial yang sangat kuat memengaruhi aparat penegak hukum di Indonesia. Karena, law is a liberty and morality.


Reformis Agama dan Premanisme 
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri 2010)

"Seolah terjadi apa yang dinamakan conspiracy of silent yang sudah dipraktikan oleh Negara."
Ketika perbenturan masalah agama dengan ideologi bangsa terus mencuat, kecenderungannya Negara kerap mengabaikan persoalan-persoalan krusial yang potensial mengakarkan konflik horizontal di masyarakat. Terkadang, apa yang dinamakan Negara tersebut justru memberikan intervensi moral lewat aparat-aparat yang kerap ‘mengoboy’ dalam memerangi hak-hak warga Negara.
Fenomena seperti ini sering muncul atau bahkan dimunculkan untuk membiaskan visi konstitusi. Negara mengabaikan persoalan-persoalan fundamental kebangsaan yang berujung pada perpecahan. Islam selalu menjadi topeng akan bopengnya birokrasi negeri ini.
Hukum di negeri ini seolah tumpul akan tindakan-tindakan heroisme sejumlah ormas yang mengatas namakan Agama. Negara, agama dan kultur diusung demi menumpas hak-hak kerakyatan yang sangat asasi. Padahal, sangat bias akan ket
Baru-baru ini Polisi membubarkan sebuah diskusi ilmiah yang dimotori oleh Komunitas Salihara di Jakarta. Terkait dengan kedatangan Irshad Manji, feminis Islam lesbian ke Jakarta. Pembubaran itu dipelopori oleh Front Pembela Islam (FPI). Negara telah dituding melanggar amanat konstitusi yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 28 e ayat (3) tentang kebebasan berpendapat. Konstitusi juga menjamin kebebasan warga Negara dalam mengekspresikan pendapat dalam satu syarikat. Tidak ada larangan oleh Negara dalam memberikan kewenangan kepada masyarakat Indonesia untuk mendirikan organisasi, perkumpulan dan menyatakan pendapat di muka umum.
Hal ini seolah menjadi bias ketika sejumlah oknum yang menamakan diri pembela agama mereduksi pasal-pasal konstitutif dalam undang-undang dasar. Seolah terjadi apa yang dinamakan conspiracy of silent yang sudah dipraktikan oleh Negara. Secara paralel, peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan substantif terus terjadi. Kaum minoritas menjadi persangkaan subjektif oleh kaum mayoritas.
Membuka tahun masehi 2012, rasa persatuan akan kebangsaan kita diusik oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab. Kebebasan masyarakat dalam beribadat terganggu setelah teror dan intimidasi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok berlanjut. Kali ini korbannya adalah jemaat Gereja Yasmin. Sejumlah kelompok masyarakat anti pembangunan gereja Yasmin menebar teror dan memboikot pendirian gereja di Bogor. Polisi seolah jadi macan ompong dan dikebiri oleh kelompok fundamentalis. Padahal, dalam kode etik profetik kepolisian yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 1997 mengamanatkan bahwa Polisi berhak dan wajib menjaga dan memelihara keamanan tertib masyarakat (kamtibmas) dari ancaman dunia luar yang dapat menggagung stabilitas Negara. Namun faktanya, Polisi menafsirkan pasal tersebut dengan tambahan pengecualian.
Tampaknya publik tak akan lupa dengan pengabaian Polisi yang hadir dalam aksi anarkistis anggota FPI yang menyerbu markas Ahmadiyah di Cikeusik. Beberapa Polisi yang berjaga tak kuasa menahan serbuan 1500-an anggota FPI yang mengepung markas Ahmadiyah. Walhasil, sejumlah korban bergelimpangan. Anggota Ahmadiyah yang tertangkap oleh FPI diamuk massa hingga tewas. Tak sampai disitu, korban bahkan yang sudah tewas pun masih disiksa dengan hantaman benda-benda tumpul hingga tubuh anggota Ahmadiyah tersebut remuk dan hancur.
Persidangan pada 31 Mei 2011 yang diadili oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Serang, Banten memvonis Adam Damini (Koordinator penyerangan ke Ahmadiyah) dengan Pasal 170 KUHP tentang penganiayaan secara bersama-sama dengan kurungan penjara selama 3 (tiga) tahun. Secara historis, konflik horizontal yang muncul ini dprakarsai oleh sejumlah reformis agama. Namun, besar kemungkinan kegiatan mereka juga diprovokasi atau ada intervensi moral dari imperium.
Tak dapat ditampik, persinggungan persoalan agama dan rasial di Bumi Indonesia kerap muncul seiring dengan akses informasi yang mudah digapai. Pengaruh media memberikan peran dalam memotori gerakan reformis agama untuk menumpas ketidak sepemahaman dengan kepercayaan agama lainnya. Sebagai komparasi, gerakan melat yang dilakukan reformis nasionalis Mesir memberikan pengaruh yang nyata bagi Indonesia untuk bisa menyamai gerakan-gerakan Muslim serupa di belahan dunia lainnya. Tak pelak, hal ini mengilhami mereka untuk mentransformasi diri menjadi laskar Tuhan dan Khalifah.
Morfin-morfin kecil seperti inilah yang kemudian terakumulasi dan menjadi bom atom bagi lingkungan disekitarnya. Benih gejala pra-terorisme tumbuh. Gerakan reformis agama bermetamorfosa menghantui perasaan masyarakat yang terbiasa dengan persoalan keberagaman. Persoalannya adalah terletak pada sulitnya mengkonfrontir mereka untuk dapat berpikiran terbuka dan bersama-sama memahami persoalan kebangsaan yang kerap menggoyahkan stabilitas Negara. Sebagai konsideransi, wacana konsolidasi dalam ruang diskursus public perihal menyikapi kasus-kasus konflik horizontal yang krusial perlu digalakkan. Para pemuka agama tidak seharusnya memberikan pernyataan provokatif yang pragmatis. Supaya Negara ini aman dan damai, perlu satu konsep kenegaraan yang bias agama, gender, budaya. Semua itu sebenarnya sudah menjelma dalam lima prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menjadi pertanyaan, sudahkah kita mengamalkannya dengan maksimal ?

on Sabtu, 05 Mei 2012

Bursa Dagang Pasal Jalanan, Praktik Korupsi Komersil Kepolisian
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri’10)

Satu persoalan pokok dan penting yang kerap menghantui pengendara motor di jalan raya adalah momok petugas kepolisian (Satlantas Polisi) yang gemar menilang pengendara motor. Ulah nakal aparat kepolisian rompi hijau di jalur lalu lalang kendaraan memunculkan idiom baru bahwa indeks persepsi korupsi oleh ICW terjadi lewat proses transaksional jalanan. Jual beli pasal diperdagangkan. Polisi kerap mengusung pasal-pasal ambivalen. Ditambah lagi bila pelaku yang ditilang adalah orang yang belum paham secara spesifik mengenai hukum.terkhusus, hukum jalanan (UU No 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, pen).
Tak ayal, proses barter di rimba kota makin memperkokok posisi Institusi Kepolisian sebagai pasar korupsi tersubur di Indonesia. Tak mengenal waktu, tak mengenal tempat. Bursa dagang pasal begitu menjamur di insititusi ini. Tak jarang, pelaku pelanggaran lalu lintas dan angkutan darat kerap disuguhi pasal-pasal dengan hukuman berat dan sebagainya. Mengingat, masih banyaknya warga masyarakat Indonesia yang masih buta hukum maka pengaruh buruk dalam pikiran masyarakat terhubung dengan formula hukum = berat. Padahal, secara teoritis hukum = aman. Roscoe Pound dari aliran Sosiological Jurisprudence mengatakan bahwa “…law as a social tool and social engineering
Dalam data rilis terakhir yang disadur dari laporan ICW tahun 2007 menunjukkan grafik peningkatan institusi kepolisian yang berada di garda terdepan dalam menyuburkan praktek korupsi komersil di Indonesia.

Peringkat Institusi Terkorup di Indonesia

Peringkat Terkorup
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
Instansi
Skor
Instansi
Skor
Instansi
Skor
I
Partai Politik
4,2
Parlemen
4,2
Polisi
4,2
II
Parlemen
4,0
Polisi
4,2
Parlemen
4,1
III
Polisi
4,0
Pengadilan
4,2
Pengadilan
4,1
IV
Pengadilan
3,8
Partai Politik
4,1
Partai Politik
4,0
Sumber : Diolah dari data ICW Independent Report dan Global Corruption Barometer

            Sementara temuan BPK pada empat institusi primer penegak hukum di Indonesia
memperlihatkan tingkat penyimpangan yang mengkhawatirkan. Kepolisian tetap menduduki peringkat tertinggi dengan temuan penyimpangan anggaran di tahun 2007, yakni 303 temuan, disusul oleh Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

No
Institusi/Lembaga
Temuan Pemeriksaaan
Belum Ditindak Lanjuti
Jumlah
Nilai
Jumlah
Nilai
1
Kejaksaan Agung
108
8.759,851
84
8.377,849
2
Kepolisian Republik Indonesia
303
533,970
US$ 1.349,34
€ 927,69
303
533,970
US$ 1.349,34
€ 927,69
3
Mahkamah Agung
24
5,815
15
5,815
4
Komisi Pemberantas Korupsi
9
0.00
1
0.00
Sumber : Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK-RI Semester I Tahun 2007.

            Sungguh ironis, sebagai sebuah institusi penegak hukum yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat justru malah memberikan rasa tidak aman kepada masyarakat. Polisi justru berubah menjadi makelar yang mengkomersilkan pasal-pasal di jalanan. Dalam indeks survey yang dilakukan oleh Imparsial pada Juli 2011 di DKI Jakarta menunjukan angka fantastis masyarakat akan kinerja kepolisian yang jatuh diambang ketidak puasan. Sebanyak 61,2 % masyarakat yang disurvey menyatakan ketidak puasan mereka terhadap kinerja kepolisian. Penilaian publik terus menyoroti kinerja kepolisian yang mengalamai degradasi profesi. Sebanyak 61,2 % masyarakat menyatakan ketidak berhasilannya Polisi dalam mendekam praktek korupsi di Indonesia. Dan hanya 14,8 % masyarakat yang menyatakan bahwa Kepolisian telah berhasil.
            Semangat anti korupsi yang dituangkan oleh pucuk elit anti-koruptif ternyata tak diamini oleh kebanyakan bawahan Kepolisian. Menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa Polisi rompi hijau kerap menjadi bajak jalanan bagi pengendara motor. Penafsiran hukum ala kadarnya, ditambah dengan pengetahuan hukum yang semenjana membuat Polisi lapang menggerus kantong masyarakat yang terkadang dalam kacamata hukum yang sebenarnya tak seberat pasal yang diterapkan oleh Polisi.
            Seolah-olah, pemasungan pasal kerap dijatuhkan oleh Polisi kepada masyarakat yang tengah mengendari kendaraan bermotor. Tarif ratusan ribu hingga jutaan rupiah, bahkan kerap disodorkan oleh Polisi kepada masyarakat. Maka dari itu, perlu penyadaran secara berkala bagi masyarakat untuk diberikan sosialisasi pengendara yang baik dan efektif agar terhindar dari praktik korupsi transaksional di jalanan.
            Sarana yang paling tepat tentunya memberikan layanan edukasi secara berkala kepada masyarakat--terkhusus kepada pengendara motor. UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalanan (UU LLAJ) perlu digodok bagi pengetahuan masyarakat mengingat besarnya jumlah pengendara motor di Indonesia. Sehingga, Kepolisian memang benar-benar memberikan pengayoman kepada masyarakat dengan edukasi lalu lintas yang tertib dan aman. prosedur penilangan pun harus benar-benar diutarakan mengingat dalam Pasal 2 huruf a UU LLAJ bahwa lalu lintas dan angkutan jalanan harus dilakukan dengan asas transparansi. Jadi, pengendara motor yang terlanjur melanggar lalu lintas memang benar-benar secara transparan dijelaskan apa dan bagaimana pelanggaran lalu lintas bisa terjadi. Termasuk, memberikan patokan denda yang sesuai dengan pedoman UU LLAJ. Hindarilah pikiran untuk menyuap polisi dengan mematok harga yang diajukan. Karena, secara tidak langsung anda telah mengafirmasi dan melakukan praktik Korupsi. Bukankah, hukum dibuat untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Maka dari itu, pahamilah peraturan yang ada, jadikanlah pedoman, bila terdapat pelanggaran ataupun penyelewengan pasal segera laporkan kepada institusi terkait untuk segera ditindak lanjuti. Berikut tips cerdas berwawasan hukum untuk menghindari praktik transaksi pasal di jalanan.

  1. Prosedur Penilangan
Polisi yang memberhentikan pelanggar wajib menyapa dengan sopan serta menunjukan jati diri dengan jelas. Polisi harus menerangkan dengan jelas kepada pelanggar apa kesalahan yang terjadi, pasal berapa yang telah dilanggar dan tabel berisi jumlah denda yang harus dibayar oleh pelanggar. Pelanggar dapat memilih untuk menerima kesalahan dan memilih untuk menerima slip biru, kemudian membayar denda di BRI tempat kejadian dan mengambil dokumen yang ditahan di Polsek tempat kejadian, atau menolak kesalahan yang didakwakan dan meminta sidang pengadilan serta menerima slip merah. Pengadilan kemudian yang akan memutuskan apakah pelanggar bersalah atau tidak, dengan mendengarkan keterangan dari polisi bersangkutan dan pelanggar dalam persidangan di kehakiman setempat, pada waktu yang telah ditentukan (biasanya 5 sampai 10 hari kerja dari tanggal pelanggaran).

1. Penilangan Ringan

No
KLASIFIKASI PASAL
JENIS PELANGGARAN
denda utk kend.tdk bermotor (Rp)
denda utk sepeda motor (Rp)
denda utk mobil penumpang pribadi(Rp)
denda utk mobil penumpang umum(Rp)
denda utk mobil bak/boks(Rp)
denda utk bus/truk(Rp)
denda utk truk gandeng(Rp)
1
Psl. 91 (1) & (2) PP 43/93
Kewajiban pejalan kaki untuk berjalan pada bagian jalan yang diperuntukan baginya atau pada bagian jalan yang paling kiri bila tidak terdapat bagian jalan yang dimaksudkan dan menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
10.000
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
2
58 Yo Psl. 17 (1) UULAJ
Mengemudikan kendaraan tidak bermotor tanpa memenuhi persyaratan rem, lampu, tuter bagi kendaraan tidak bermotor.
15.000
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
tdk ada
3
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yo Psl. 8 (1) A UULAJ Yo Psl. 17 (3) & (4) PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar rambu-rambu perintah atau larangan.
tdk ada
15.000
25.000
30.000
30.000
50.000
75.000
4
61 (1) Yo Psl 23 (1) d Yo Psl 8 (1) b UULAJ Yo Psl 21 (1) & (4) PP 43/1993
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar marka jalan yang berupa garis utuh membujur tunggal atau ganda gerakan LL/Jalur.
tdk ada
10.000
25.000
30.000
30.000
50.000
75.000
5
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yp Psl 8 (1) d UULAJ Yo Psl. 22 (2) PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar marka jalan sebagai garis berhenti bagi kendaraan bermotor yang diwajibkan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas atau rambu stop.
tdk ada
10.000
15.000
25.000
25.000
50.000
75.000
6
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yo Psl. 8 (1) C UULAJ Yo Psl. 29 PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar ketentuan cahaya yang diberikan alat pemberi isyarat lalu lintas.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
50.000
75.000
7
61 (1) Yo Psl. 23 (1) d Yo Psl. 55a PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar larangan melewati kendaraan lain dipersimpangan atau dipersilangan sebidang.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
50.000
75.000
8
61 (1) Yo Psl 23 (1) d UULAJ Yo 55b PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar larangan melewati kendaraan lain yang sedang memberi kesempatan menyeberang pejalan kaki atau pengendara sepeda.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
50.000
75.000
9
61 (1) Yo Psl 23 (1) d UULAJ Yo Psl 65 PP 43/93
Mengemudikan kendaraan bermotor di jalan melanggar kewajiban pemakai jalan untuk mendahulukan kendaraan yang mendapat prioritas sebagai yang dimaksud ayat 1 Psl 65 PP 43/1993.
tdk ada
10.000
25.000
25.000
30.000
60.000
75.000

Pelanggaran Sedang

No
KLASIFIKASI PASAL
JENIS PELANGGARAN
denda utk kend.tdk bermotor(Rp)
denda utk sepeda motor(Rp)
denda utk mobil penumpang pribadi(Rp)
denda utk mobil penumpang umum(Rp)
denda utk bak/boks(Rp)
denda utk bus/truk(Rp)
denda utk truk gandeng(Rp)
1
56 (1) Yo Psl. 13 (3) UULAJ
Mengemudikan kendaraan bermotor tanpa dilengkapi tanda bukti lulus uji bagi mobil bus, mobil barang, kendaraan umum, kereta gandeng dan kendaraan khusus di jalan.
tdk ada
tdk ada
25.000
50.000
50.000
75.000
150.000
2
57 (2) Yo Psl. 14 (2) UULAJ Yo Psl 197 (1) & (3) PP 44/93
Mengemudikan kendaraan bermotor tidak dapat menunjukkan STNK atau STCK beserta BTCK.
tdk ada
20.000
50.000
50.000
50.000
100.000
125.000
3
57 (2) Yo Psl 14 (2) UULAJ
Mengemudikan kendaraan bermotor tidak dilengkapi TNKB/TNCK yang sesuai dengan ketentuan.
tdk ada
15.000
40.000
40.000
40.000
75.000
100.000