Clemencial Review ?
Menganut
sistem pemerintahan presidensiil dan menerapkan sistem pemerintahan yang saling
mengimbangi dan mengawasi (checks and
balances) membuat Indonesia
mau tak mau dihadapkan pada persoalan kewenangan tanpa intervensi karena
konsekuensi yuridis atas sebuah rumusan konstitusional. Saling silang
kewenangan pun dikedepankan. Kendati tak seluas wewenang alamiah yang
dilegitimasi oleh konstitusi, kewenangan bersifat adisional itupun menyorot
perhatian.
Kewenangan Presiden
sebagai sebuah kelembagaan yang bersifat eksekutif membuatnya menjadi eksekutor
dalam trigger filosofi trias politica.
Selain itu, terdapat dua lembaga
lagi yang dirumuskan Montesquie yakni legislative dan eksekutif. Seiring dengan
berjalannya waktu, kewenangan tersebut menjadi semakin fleksibel dan bias
kepastian hukum. wawasan hukum kontemporer menginterpretasikan kewenangan yang
rigid menjadi sangat luwes dalam memotong setiap persoalan yang menembus
batas-batas hukum. konstitusi Indonesia menjadi preseden penyesuaian dan
keluwesan kaedah hukum dalam mengentaskan persoalan yang konvergen dengan
hukum.
Lintas batas kewenangan diusung. Presiden yang
merupakan simbol otoritas politik yang bergaris eksekutif memiliki kewenangan
untuk menjangkau otoritas legislative dan eksekutif. Hal ini memunculkan idiom
baru yang menyatakan executive heavy.
Bagaimana tidak, keuntungan menjadi seorang kepala Negara memberikan
eksesifitas kekuasaan yang berimplikasi pada intervensi politik dan hukum
terhadap lembaga-lembaga lain.
Pasal 14 UUD
1945 memberikan gambaran secara nyata yang tertuang dalam konstitusi menyoal
eksesifitas kewenangan presiden dalam menjangkau lembaga-lembaga setingkat
dengan Presiden. Ide pemisahan kekuasaan tersebut,
menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak
akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.
Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi
kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada
tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak
terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi
satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. [1]
Konsepsi dasar pemisahan kekuasaan tersebut merujuk pada separated of power secara horizontal dan
distribution of power secara vertikal.
Dimana, terdapat penyesuaian kewenangan dimasing-masing lembaga tinggi Negara agar
tidak saling mencaplok wilayah masing-masing. Dalam hal ini, Presiden jelas mesti
mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dibidang
Yudikatif.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi yang menyatakan bahwa Presiden memutus permohonan Grasi setelah
mendengar pertimbangan Mahkamah Agung. Kewenangan Presiden untuk memangkas
kumulasi pemidanaan tentu menarik perhatian sejumlah kalangan akademisi hukum
untuk terus menggali nilai-nilai filosfis, yuridis, dan sosiologis.
Namun, menjadi pertanyaan penting. Ketika produk hukum tersebut justru bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku di Indonesia, lantas siapa yang akan menindak. Kemudian, ketika dikaitkan dengan Stufenbao Theorie masuk dalam klasifikasi yang manakah Grasi. Mengingat, sama halnya dengan Judicial Review, bahwa UU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. (lex superior derogat lex inferior). Bila tidak dikategorikan ke dalam hierarki per-UU, lantas siapa yang berhak melakukan Clemencial Review (Pengujian Grasi) terhadap UU/UUD. Apa landasan hukumnya, kendati itu merupakan kewenangan ekslusif Presiden bukan berarti hal tersebut incrah dalam kacamata hukum yang sempuran. No Body Picture Perfect ! let us know what your argue ?
0 comments:
Posting Komentar