Perbedaan Mendasar Jaminan HAM dalam Konstitusi RIS dan UUD 1945 (Pasca-Amandemen)

on Minggu, 17 Juni 2012

Perbedaan Mendasar Jaminan HAM dalam Konstitusi RIS dan UUD 1945 (Pasca-Amandemen)


  1. Pembahasan

J
auh sebelum berdirinya apa yang dinamakan sebuah Negara, dasar pemikiran yang dirumuskan dalam bentuk naskah otentik merestrukturisasi jalan terbentuknya sebuah Negara. Hal tersebut, menjadi pedoman (way of life) bagi komunitas masyarakat yang membentuk consensus sosial untuk mendirikan sebuah Negara. Perumusan dasar tersebut merangsang pola-pola kehidupan bernegara yang terjalin secara harmonis menuju era kebangkitan sebuah komunitas masyarakat yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan,
Teori-teori klasik pembentukan Negara yang dimulai dari beberapa fase [1], seperti fase persekutuan komunitas (Primus Interpares), fase kerajaan, fase negara (Staat), dan fase demokrasi ini merupakan proses yang dihasilkan dari ikhtisar/rangkuman pembentukan Negara yang dibentuk melalui landasan konstitusi.
Kata konstitusi mulai dikenal seiring dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan sosial dan hukum di Eropa. Sejumlah Negara Eropa sendiri—Negara yang menganut sistem Hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental—membedakan penafsiran dari segi fonetis antara konstitusi dan UUD. Dikotomi tersebut menuai penafsiran secara unifikatif dan disebutkan secara beriringan. Miriam Boediarjo, dalam bukunya menyebutkan bahwa terjemahan konstitusi dan UUD ini merupakan kebiasaan ilmuwan hukum Jerman dan Belanda. [2]
Kedua ilmuwan hukum beda Negara tersebut biasa menyebutkan dua kata—konstitusi dan UUD— yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari yang memakai kata Grond (=dasar) dan Wet (=Undang-undang), serta Grund (=dasar) dan Gesetz (=Undang-undang). [3]
Akan tetapi perlu dicatat dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J Van Apeldoorn) diadakan perbedaan antara pengertian UUD dan Konstitusi. UUD diartikan sebagai rumusan dalam bentuk terulis sedangkan konstitusi tidak tertulis.
Mengingat, pentingnya sebuah konstitusi yang dipedomani sebagai dasar-dasar kehidupan bernegara. Maka, tugas konstitusi untuk meyelaraskan rumusan-rumusan kenegaraan agar tercipta harmonisasi kehidupan bernegara.
Dalam amandemen terakhir UUD 1945, disebutkan dalam secara khusus dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia yang terdiri dari satu pasal dan beberapa paragraph tambahan. Dalam Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, pasal ini mengisyaratkan adanya satu bentuk pengakuan hak asasi yang paling asasi dan tidak boleh direstriksi. Serupa dengan konsep non-derogablenya DUHAM (deklarasi universal hak asasi manusia), dalam Pasal 3 DUHAM “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu”. Memang, politk hukum perumus konstitusi negeri ini pasca transisi banyak dipengaruhi dari deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM).
Dalam konstitusi RIS, pada Bagian 5 mengenai Hak dan Kebebasan Dasar Manusia. Dalam bagian ini terdapat banyak pasal yang mengatur mengenai hak-hak dan kebebasan manusia dalam mempertahankan kedaulatan dirinya dan melepaskan penjara pasca-kolonial yang terbukti merangkum banyak hal. Terhitung dari pasal 8 hingga pasal 33 Konstitusi RIS mengatur persoalan-persoalan pokok mengenai Hak asasi manusia.
Bandingkan dengan UUD 1945 yang hanya memiliki satu pasal (Pasal 28) yang terdiri dari 10 ayat dan belasan butir. Sementara itu, jangkauan Konstitusi RIS dalam rumusannya mengindikasikan bentuk penghargaan hak asasi hingga pelosok negeri. Hal ini dibuktikan dengan rumusan Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang berhak dan bebas tinggal di perbatasan Negara”. Sementara itu, perbedaan mendasar dan kuat yang membedakan antara Konstitusi RIS dan UUD 1945 adalah jaminan konsitusi terhadap warganya dan jaminan warga terhadap konsitusi yang begitu kuat. Dalam pasal-pasal urgensi mengenai Hak asasi manusia lewat konstitusi RIS tidak hanya keberpihakan konstitusi terhadap rakyat yang menjamin hak asasi masyarakatnya. Akan tetapi, jaminan warganya terhadap konstitusi yang begitu kuat. Terbukti dengan bukti-bukti tekstual yang tersurat dalam beberapa pasal dalam Konstitusi RIS.
Dalam Pasal 10,11,12 dst pada awal kalimat pembuka banyak disebutkan dengan “Tiada seorang djuapun” pada bunyi-bunyi pasal dalam konstitusi RIS. Terlihat, fungsi kuat sebuah naskah hukum dapat dipahami dengan sebuah ancaman/imperatifitas/represifitas terhadap warga bahwa setiap warga masyarakat tidak dapat dengan alasan apapun mereduksi hak-hak dasar yang dimiliki sesamanya. Bandingkan dengan UUD 1945 pasca amandemen, setiap awal kalimat pasal hanya berbunyi “Setiap orang”, yang mana dalam pemahaman tekstual hukum setiap orang hanya memiliki hak karena pasca frasa pertama ‘setiap orang” akan diikuti kata “berhak” yang menunjukan pendakuan yan terlalu subyektif.


[1] Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, 2005
[2] Boediardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, 1978, Jakarta. Hal. 95
[3] Ibid. Hal 95

0 comments: