[Seri Hukum] Tindak Pidana Terhadap Nyawa (Analisis Putusan Nomor : 1944 K/Pid/2008 Tentang Tindak Pidana Pembunuhan)

on Selasa, 29 November 2011
Google
I. Pendahuluan

Dewasa ini, indikasi kejahatan yang beredar menjadi satu keniscayaan. Tak hanya dikota-kota besar, wilayah pinggiran dari suatu daerah kerap menjadi lahan subur terjadinya perbuatan melawan hukum. Variannya beragam, kejahatan terhadap nyawa dan harta kekayaan menempati urutan tertinggi. Tak hanya itu, perbedaan jender saban hari menjadi incaran pelaku kejahatan dalam memuluskan niatnya.
Bahkan, statistik yang dilansir di harian Kompas[1], mewartakan terjadinya angka penurunan indeks kriminalitas yang terjadi di seluruh wilayah nusantara. Kendati demikian, bila melihat data kuantitatif yang dikeluarkan Kompas mengindikasikan betapa angka kriminalitas di Indonesia sangat subur.
Tak ayal, saban hari bila kita cermat memerhatikan pemberitaan lokal dan nasional, media kerap mereportasikan informasi seputar dunia kejahatan yang terjadi dalam hitungan detik. Bahkan, dengan semakin besarnya laju pertumbuhan Negara Indonesia yang mencapai 3-4 juta jiwa/tahun dibarengi dengan pertumbuhan laju angka kriminalitas yang mencapai 10 menit/tindakan kejahatan). [2]
Hal ini justru diperparah dengan semakin menjamurnya tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang semenjak tahun 2007 mengalami grafik peningkatan yang sangat signifikan. dinamika kependudukan lagi-lagi menjadi dalih atas semakin goyahnya stabilitas Negara.
Negara menghadapi tantangan ekstra berat dalam meminimalisir dan menekan laju angka kriminalitas yang bermuara dari semakin buruknya kondisi sosial-ekonomi di Indonesia. kendati laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan yang ditandai dengan pencapaian maksimal RI dalam pengembangan Human Develompent Index (HDI) yang mencapai titik tertinggi sebesar 0,600 % bahkan institusi keuangan internasional menyebutkan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai tujuan investasi paling layak. [3]
Paparan demikian menunjukan betapa masalah ekonomi masyarakat Indonesia tidak dalam kategori sebagai sebuah Negara gagal.[4] Namun, perlu ditelaah secara sosiologis apa yang menjadi motif pelaku kejahatan dalam melancarkan aksinya.
Berkenaan dengan itu, penanganan kasus-kasus kejahatan baik berupa tindakan preventif hingga represif dari aparat penegak hukum seharusnya dapat dimaksimalkan secara optimal. Penguatan aspek lembaga-lembaga penegak hukum yang terstruktur dalam satu bentuk integrasi kehakiman (Integrated Criminal Justicei) perlu dilakukan. [5]

II. Pembahasan
            Berdasarkan amar putusan Pengadilan Negeri kelas 1A Surabaya yang menjatuhkan vonis kepada Anton Setiono Bin Mukayat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Berdasakan keterangan yang berhasil dihimpun, asal muasal terjadinya pembunuhan diketahui lantaran saling ejek antara Anton Setiono Bin Mukayat (Terdakwa) dengan Mohamad Haryadi al. Solik (Korban) yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban. ‘

            Berdasarkan keterangan primair yang dibuktikan oleh penyidik menyebutkan bahwa dalam kasus saling ejek di sebuah arena bilyar tersebut tak hanya tersangka dan korban yang tengah berada ditengah kejadian. Kendati awal mula cek-cok mulut diantara keduanya (tersangka dan korban) tak menuai hilangnya nyawa seseorang, namun rekanan keduanya dapat dikatakan melakukan delik pembiaran yang diduga sepantasnya ia tahu bahwa akan terjadi satu bentuk hal yang tidak wajar. Saksi PRAPTO, saksi ZAENAL al. BONENG, saksi NANANG al. NGOWOS, saksi DODIK al. FILIN adalah nama-nama rekanan korban dan tersangka yang dapat didakwakan melakukan delik pembiaran terhadap orang yang perlu ditolong (Pasal 304 KUHP)[6]

            Berkenaan dengan dugaan telah terjadinya delik pembiaran dari rekanan korban dan tersangka, Mohamad Haryadi yang pada saat dugaan telah terjadinya delik pembiaran dari rekanan korban dan tersangka, tengah dalam keadaan tak berdaya lantaran dipukuli oleh tersangka. Berdasarkan keterangan saksi dan tersangka, kelimanya hanya melakukan peleraian.

            Selain itu, perlu pula ditelaah pasal 350 KUHP ayat (1) dan (3) tentang penganiayaan yang menyatakan bahwa : (1) penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) jika mengakibatkan mati maka diancam dengan penjara paling lama tujuh tahun. Meruntut penjatuha vonis bagi pelaku tindak pidana, secara teoritik dapat digunakan rumusan pemidanaan sederhana dengan menggunakan sistem absorspsi tambahan.

Sistem tersebut merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya penggabungan (Samenloop). Menurut Pasal 65 KUHP sistem ini dipakai jika beberapa kejahatan diancam dengan hukuman utama sejenis tergabung dari berbagai perbuatan yang tidak berhubungan. [7]
Selain itu, dalam ilmu hukum pidana juga dijelaskan bahwa penggabungan tindak pidana (Samenloop van Strafbare Feiten) itu dibagi dalam beberapa macam diantaranya[8] :
a.       Endaadsche Samenloop atau Concurcus Idealis
b.      Voortgezette Samenloop
c.       Meerdaadsche Samenloop atau Concurcus Realis

Dari ketiga macam gabungan (Samenloop) ini, yang benar-benar merupakan gabungan ialah yang disebut sub c, yaitu beberapa perbuatan digabungkan menjadi satu, maka juga dinamakan Concurcus Realis. Sedangkan gabungan sub a dinamakan Concurcus Idealis oleh karena sebenarnya tiada hal yang digabungkan, melainkan ada satu perbuatan yang memancarkan sayapnya kepada beberapa pasal ketentuan hukum pidana.
Relevan dengan kasus pembunuhan (Vide : Pasal 338 jo Pasal 350 KUHP) Anton Setiono dapat dikenakan pasal berlapis lantaran telah melakukan penganiayaan yang menimbulkan hilangnya nyawa korban atau berujung pada kematian.
Kendati vonis pengadilan negeri kelas 1A Surabaya hanya menjatuhkan satu pasal yakni pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan kurungan penjara selama 12 tahun dan dikurangi masa hukuman semasa menjalani pemeriksaan, namun ditelaah berbelok sedikit sebetulnya tersangka telah melakukan penggabungan delik pidana lantaran sebelum eksekusi terjadinya pembunuhan (Vide : Pasal 338 KUHP) didalam Surat Putusan dijelaskan bahwa korban sebelumnya mendapatkan penganiayaan berupa beberapa pukulan yang mengenai kepala korban.
Namun, berdasarkan hasil Visum et Repertum memang tidak dijelaskan secara mendetail lantaran proses peradilan hanya mengacu pada akibat (Delik Materiil) tidak melakukan analisis yuridis dalam dunia forensic terhadap kejadian secara runtut. Apakah sebelum terjadinya pembunuhan korban telah mendapatkan kekerasan fisik secara langsung yang dapat menimbulkan penambahan masa tahanan tersangka lantaran perbuatan yang dilakukannya.
Kendati demikian, hakim telah menjalankan posisi dan fungsinya secara strategis dengan pertimbangan matang. Hakim jelas jauh lebih tahu lantaran telah mendengarkan petum (penuntut umum) dan kesaksian langsung dari saksi mata dan tersangka. Hakim yang sebelum menjatuhkan vonis kepada terdakwa telah melakukan analisis perspektif secara seimbang dengan memerhatikan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis yang dapat membantu efisiensi kinerja hakim dalam menjatuhkan/mengadili satu tindak pidana.
Oleh karena itu, agar langit tidak runtuh (Fiat Justicia Ruat Culum) hukum harus tetap ditegakan dengan memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan memenuhi asas kepastian hukum dan kebermanfaatan hukum agar tercipta akuntabilitas law enforcement dalam lingkup peradilan pidana di Indonesia yang jauh lebih baik.
Fungsi hakim tentunya tak hanya sebatas sebagai corong undang-undang. Tentu hakim mempunyai otoritas dalam rangka menemukan hukum (rechtsvinding). Hakim dan hukum ibarat dua mata pisau yang tak terpisahkan, keberadaan hukum selalu berbanding lurus dengan eksistensi hakim. Sudah barang tentu, hukum yang dicpitakan hakim harus pula memenuhi rasa keadilan masyarakat bilamana ketentuan pokok pemidanaan yang tercantum dalam satu bentuk pengkodifikasian UU Hukum Pidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial kemasyarakatan masyarakat Indonesia.


[1] Kompas, Angka Kriminalitas Turun, 21 Januari 2011
[2] Kompasiana, “BOM” Penduduk, 07 April 2011 lihat juga Bencana Demografi tajuk rencana Harian Umum Sriwijaya Post, http://www.sripoku.com. Data sensus penduduk terakhir (2010) Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai 250 Juta Jiwa. Hal tersebut memicu laju pergolakan konflik horizontal berupa kejahatan, pengangguran, dan kemiskinan. BKKBN berupaya menakan laju angka penduduk dengan mengkampanyekan “2 Anak Lebih Baik”, namun hal tersebut tak berjalan mulus.
[3]Lihat  Denny Indrayana, Indonesia Optimis, PT Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), Jakarta, 2011 Hal 122
[4] Denny Indrayana, Op.Cit, Hal 128
[5] Lihat Makalah Rendi Hariwijaya 27/8/2011 “Penguatan Aspek Lembaga Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi” atau dapat diakses melalui internet melalui http://www.journalistsociety.wordpress.com
[6] Lihat Pasal 304 KUHP yang berbunyi “barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum berlaku baginya atau persetujuan dia wajib member kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
[7] Lihat C.S.T Kansil dan Christinna Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana untuk Tiap Orang), PT Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004. Hal 70
[8] Ibid, Hal 71

0 comments: