I. Pendahuluan
Dewasa
ini, indikasi kejahatan yang beredar menjadi satu keniscayaan. Tak hanya
dikota-kota besar, wilayah pinggiran dari suatu daerah kerap menjadi lahan
subur terjadinya perbuatan melawan hukum. Variannya beragam, kejahatan terhadap
nyawa dan harta kekayaan menempati urutan tertinggi. Tak hanya itu, perbedaan
jender saban hari menjadi incaran pelaku kejahatan dalam memuluskan niatnya.
Bahkan,
statistik yang dilansir di harian Kompas[1],
mewartakan terjadinya angka penurunan indeks kriminalitas yang terjadi di
seluruh wilayah nusantara. Kendati demikian, bila melihat data kuantitatif yang
dikeluarkan Kompas mengindikasikan betapa angka kriminalitas di Indonesia
sangat subur.
Tak
ayal, saban hari bila kita cermat memerhatikan pemberitaan lokal dan nasional,
media kerap mereportasikan informasi seputar dunia kejahatan yang terjadi dalam
hitungan detik. Bahkan, dengan semakin besarnya laju pertumbuhan Negara Indonesia
yang mencapai 3-4 juta jiwa/tahun dibarengi dengan pertumbuhan laju angka kriminalitas
yang mencapai 10 menit/tindakan kejahatan). [2]
Hal
ini justru diperparah dengan semakin menjamurnya tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang semenjak
tahun 2007 mengalami grafik peningkatan yang sangat signifikan. dinamika
kependudukan lagi-lagi menjadi dalih atas semakin goyahnya stabilitas Negara.
Negara
menghadapi tantangan ekstra berat dalam meminimalisir dan menekan laju angka
kriminalitas yang bermuara dari semakin buruknya kondisi sosial-ekonomi di
Indonesia. kendati laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan
yang ditandai dengan pencapaian maksimal RI dalam pengembangan Human Develompent Index (HDI) yang
mencapai titik tertinggi sebesar 0,600 % bahkan institusi keuangan internasional
menyebutkan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai tujuan investasi paling
layak. [3]
Paparan
demikian menunjukan betapa masalah ekonomi masyarakat Indonesia tidak dalam
kategori sebagai sebuah Negara gagal.[4] Namun,
perlu ditelaah secara sosiologis apa yang menjadi motif pelaku kejahatan dalam
melancarkan aksinya.
Berkenaan
dengan itu, penanganan kasus-kasus kejahatan baik berupa tindakan preventif
hingga represif dari aparat penegak hukum seharusnya dapat dimaksimalkan secara
optimal. Penguatan aspek lembaga-lembaga penegak hukum yang terstruktur dalam
satu bentuk integrasi kehakiman (Integrated
Criminal Justicei) perlu dilakukan. [5]
II. Pembahasan
Berdasarkan amar putusan Pengadilan
Negeri kelas 1A Surabaya yang menjatuhkan vonis kepada Anton Setiono Bin
Mukayat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Berdasakan keterangan yang
berhasil dihimpun, asal muasal terjadinya pembunuhan diketahui lantaran saling
ejek antara Anton Setiono Bin Mukayat (Terdakwa) dengan Mohamad Haryadi al.
Solik (Korban) yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban. ‘
Berdasarkan keterangan primair yang
dibuktikan oleh penyidik menyebutkan bahwa dalam kasus saling ejek di sebuah
arena bilyar tersebut tak hanya tersangka dan korban yang tengah berada
ditengah kejadian. Kendati awal mula cek-cok mulut diantara keduanya (tersangka
dan korban) tak menuai hilangnya nyawa seseorang, namun rekanan keduanya dapat
dikatakan melakukan delik pembiaran yang diduga sepantasnya ia tahu bahwa akan
terjadi satu bentuk hal yang tidak wajar. Saksi PRAPTO,
saksi ZAENAL al. BONENG, saksi NANANG al. NGOWOS, saksi DODIK al. FILIN adalah
nama-nama rekanan korban dan tersangka yang dapat didakwakan melakukan delik
pembiaran terhadap orang yang perlu ditolong (Pasal 304 KUHP)[6]
Berkenaan dengan dugaan telah terjadinya delik pembiaran
dari rekanan korban dan tersangka, Mohamad Haryadi yang pada saat dugaan telah
terjadinya delik pembiaran dari rekanan korban dan tersangka, tengah dalam
keadaan tak berdaya lantaran dipukuli oleh tersangka. Berdasarkan keterangan
saksi dan tersangka, kelimanya hanya melakukan peleraian.
Selain itu, perlu pula ditelaah
pasal 350 KUHP ayat (1) dan (3) tentang penganiayaan yang menyatakan bahwa : (1)
penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (3) jika
mengakibatkan mati maka diancam dengan penjara paling lama tujuh tahun. Meruntut
penjatuha vonis bagi pelaku tindak pidana, secara teoritik dapat digunakan
rumusan pemidanaan sederhana dengan menggunakan sistem absorspsi tambahan.
Sistem
tersebut merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya penggabungan (Samenloop). Menurut Pasal 65 KUHP sistem
ini dipakai jika beberapa kejahatan diancam dengan hukuman utama sejenis
tergabung dari berbagai perbuatan yang tidak berhubungan. [7]
Selain
itu, dalam ilmu hukum pidana juga dijelaskan bahwa penggabungan tindak pidana (Samenloop van Strafbare Feiten) itu
dibagi dalam beberapa macam diantaranya[8] :
a.
Endaadsche
Samenloop atau Concurcus Idealis
b.
Voortgezette
Samenloop
c.
Meerdaadsche
Samenloop atau Concurcus Realis
Dari
ketiga macam gabungan (Samenloop)
ini, yang benar-benar merupakan gabungan ialah yang disebut sub c, yaitu
beberapa perbuatan digabungkan menjadi satu, maka juga dinamakan Concurcus Realis. Sedangkan gabungan sub
a dinamakan Concurcus Idealis oleh karena
sebenarnya tiada hal yang digabungkan, melainkan ada satu perbuatan yang
memancarkan sayapnya kepada beberapa pasal ketentuan hukum pidana.
Relevan
dengan kasus pembunuhan (Vide : Pasal 338 jo Pasal 350 KUHP) Anton Setiono
dapat dikenakan pasal berlapis lantaran telah melakukan penganiayaan yang
menimbulkan hilangnya nyawa korban atau berujung pada kematian.
Kendati
vonis pengadilan negeri kelas 1A Surabaya hanya menjatuhkan satu pasal yakni
pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan kurungan penjara selama 12 tahun dan
dikurangi masa hukuman semasa menjalani pemeriksaan, namun ditelaah berbelok
sedikit sebetulnya tersangka telah melakukan penggabungan delik pidana lantaran
sebelum eksekusi terjadinya pembunuhan (Vide : Pasal 338 KUHP) didalam Surat Putusan
dijelaskan bahwa korban sebelumnya mendapatkan penganiayaan berupa beberapa
pukulan yang mengenai kepala korban.
Namun,
berdasarkan hasil Visum et Repertum memang tidak dijelaskan secara mendetail
lantaran proses peradilan hanya mengacu pada akibat (Delik Materiil) tidak
melakukan analisis yuridis dalam dunia forensic terhadap kejadian secara
runtut. Apakah sebelum terjadinya pembunuhan korban telah mendapatkan kekerasan
fisik secara langsung yang dapat menimbulkan penambahan masa tahanan tersangka
lantaran perbuatan yang dilakukannya.
Kendati
demikian, hakim telah menjalankan posisi dan fungsinya secara strategis dengan
pertimbangan matang. Hakim jelas jauh lebih tahu lantaran telah mendengarkan
petum (penuntut umum) dan kesaksian langsung dari saksi mata dan tersangka. Hakim
yang sebelum menjatuhkan vonis kepada terdakwa telah melakukan analisis
perspektif secara seimbang dengan memerhatikan aspek yuridis, sosiologis dan
filosofis yang dapat membantu efisiensi kinerja hakim dalam
menjatuhkan/mengadili satu tindak pidana.
Oleh
karena itu, agar langit tidak runtuh (Fiat Justicia Ruat Culum) hukum harus
tetap ditegakan dengan memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan memenuhi asas
kepastian hukum dan kebermanfaatan hukum agar tercipta akuntabilitas law enforcement dalam lingkup peradilan
pidana di Indonesia yang jauh lebih baik.
Fungsi
hakim tentunya tak hanya sebatas sebagai corong undang-undang. Tentu hakim
mempunyai otoritas dalam rangka menemukan hukum (rechtsvinding). Hakim dan hukum ibarat dua mata pisau yang tak
terpisahkan, keberadaan hukum selalu berbanding lurus dengan eksistensi hakim. Sudah
barang tentu, hukum yang dicpitakan hakim harus pula memenuhi rasa keadilan
masyarakat bilamana ketentuan pokok pemidanaan yang tercantum dalam satu bentuk
pengkodifikasian UU Hukum Pidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan sosial kemasyarakatan masyarakat Indonesia.
[1] Kompas, Angka Kriminalitas Turun, 21 Januari
2011
[2] Kompasiana, “BOM” Penduduk, 07 April 2011
lihat juga Bencana Demografi tajuk rencana Harian Umum Sriwijaya Post, http://www.sripoku.com. Data sensus penduduk
terakhir (2010) Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai 250 Juta
Jiwa. Hal tersebut memicu laju pergolakan konflik horizontal berupa kejahatan,
pengangguran, dan kemiskinan. BKKBN berupaya menakan laju angka penduduk dengan
mengkampanyekan “2 Anak Lebih Baik”, namun hal tersebut tak berjalan mulus.
[3]Lihat
Denny Indrayana, Indonesia Optimis, PT Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia),
Jakarta, 2011 Hal 122
[4] Denny
Indrayana, Op.Cit, Hal 128
[5]
Lihat Makalah Rendi Hariwijaya 27/8/2011 “Penguatan Aspek Lembaga Kepolisian
dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi” atau dapat diakses melalui internet
melalui http://www.journalistsociety.wordpress.com
[6] Lihat
Pasal 304 KUHP yang berbunyi “barangsiapa
dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum berlaku baginya atau
persetujuan dia wajib member kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
[7]
Lihat C.S.T Kansil dan Christinna Kansil, Pokok-pokok
Hukum Pidana (Hukum Pidana untuk Tiap Orang), PT Pradnya Paramitha,
Jakarta, 2004. Hal 70
[8] Ibid, Hal 71
0 comments:
Posting Komentar