Putusan MK atas Uji Materi Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan
Menyatakan:
-Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya; .. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD. ,
selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono,
Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad
Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan
Februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan
Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD. ,
selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono,
Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad
Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya,
Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
Analisis :
Diketok palunya perkara judicial review (uji materi) UU No 1
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui
putusan nomo 46/PUU-VIII/2010 melakoni babak baru mengenai akibat hukum yang
ditimbulkan. Meninjau pasal yang di-uji materi oleh Macica Mochtar yang merasa
kepentingan dirinya dirugikan dengan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang
berbunyi “Anak yang dilahirkan dari luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga
ibunya” pasca putusan MK kemudian berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Berdasarkan putusan tersebut, secara garis perdata anak yang dilahirkan
melalui hubungan luar nikah/diluar ketentuan UU Perkawinan dapat ditujukan
kepada ayah biologis dan keluarga sang ayah dari anak, mengingat selama ini
anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal
ini memberikan implikasi hukum yang positif bagi perkembangan psikologis sang
anak. Karena, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengasuh dan mendidik
anak dengan layak (Vide : Pasal 45 ayat (1) ).
Namun, perlu diperhatikan fakta-fakta hukum yang harus dicermati agar
tidak terjadi persinggungan yang kuat antara hukum adat, agama dan legal formal
hukum Negara. Dalam pasal 43 ayat (2) secara implisit terkandung makna bahwa
orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan termasuk menjadi wali bagi
anak-anaknya dalam melakukan hubungan hukum. akan tetapi, perkawinan yang
dilakukan diluar ketentuan UUP (nikah sirri, dibawah tangan, dll) secara
administratif tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang perkawinan
tersebut tidak dicatatkan melalui petugas pencatat perkawinan. Hal ini agak
riskan mengingat, perkawinan yang tidak dicatatkan Negara tidak memiliki
perjanjian pernikahan yang kuat dimata hukum. bila perkawinan tersebut
dicatatkan ke Negara, setidaknya kepastian hukum atas hak-hak anak dari orang
tuanya dapat dimintakan pertanggung jawaban. Diluar, pasal-pasal a quo yang
dicoba pemohon untuk melegitimasi kepentingan pemohon.
0 comments:
Posting Komentar