P
|
erkembangan
dunia usaha dewasa ini sudah semakin berkembang lantaran aksesifitas
penggunaan teknologi yang semakin inovatif mendukung kegiatan
transaksional menjadi lebih efisien. Efisiensi dalam ber-wirausaha pun
kini tak hanya sebatas ‘milik’ dunia nyata saja. Melainkan dunia maya
pun sudah ‘ikut-ikutan’ berdifusi melakukan aktifitas transaksional.
Bahkan, hanya dengan duduk ‘anteng’ didepan PC/laptop seorang pebisnis sudah mampu meraup untung/gain
jutaan rupiah perharinya bahkan milayaran rupiah. Hal tersebut
dikarenakan, dengan semakin banyaknya akses untuk melakukan bisnis
secara efisien, efektif dan murah meriah tentunya. Tak ayal, kebanyakan
pebisnis cenderung memilih kegiatan transaksi bisnis ‘dbalik layar
(dunia maya).
Namun, transaksi bisnis dunia maya (online) atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-commerce
ini, bukan tanpa celah. Seabrek polemik mengenai kegiatan transaksional
(jual-beli) cukup membuat konsumen dan produsen dirugikan dan kalang
kabut. Apalagi ditambah lagi dengan masih belum maksimalnya law enforcement (Penegakan hukum) kepada para pelaku tindak pidana kriminalisasi melalui dunia maya (cyber crime).
Saat ini, mekanisme jual beli (transaksi) bisnis online hanya dengan
‘modal’ kepercayaan. Belum ada langkah konkrit untuk membuat transaksi
elektronik ini benar-benar dipercaya serta memiliki legalitas dan
kepastian/ketetapan hukum yang jelas dan mengikat (imperative).
Gambar 1.1 : Logo Facebook |
Dalam kasus penipuan konsumen berkedok transaksi melalui dunia maya (e-commerce)
yang dimuat dalam harian Sriwijaya Post, Minggu (5/3) 2011 tentang
penipuan belanja online melalui media jejaring sosial facebook. Kami
mengambil langkah-langkah ilmiah berupa reaserching berupa
analisis UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi transaksi elektronik serta kajian yuridis
sosiologis perlunya sebuah lembaga formal dalam struktural ketatangaraan
di Indonesia untuk menangani hal-hal bersifat nisbi serta menindak
tegas tindakan criminal dalam dunia maya (cyber crime). Dengan memberikan langkah preventif berupa pendataan secara regular usaha-usaha online dibawah main server berupa
situs jejaring social, diharapkan nantinya dunia usaha melalui
transaksi online ini bias menjamin hak-hak konsumen serta tidak ada
pihak yang dirugikan atas kegiatan ini.
Dalam
UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan dalam
pasal 1(1) ketentuan umum tentang definisi dari pelindungan konsumen.
Yakni, segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Jelas, butir-butir yang tertera dalam
pasal 1(1) bisa dimaknai sebagai representasi bahwa pentingnya Negara
berkomitmen menjamin hak-hak konsumen dalam bertransaksi barang dan jasa
dalam dunia usaha. Yang dimaksudkan dengan barang dan jasa dalam UU No.
8 tahun 1999 pasal 1 (4) menyatakan bahwa “Barang” adalah
setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan
oleh konsumen. Serta pasal1 (5) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Ditinjau
dari kasus yang dialami seorang mahasiswi yang beritanya dimuat di
harian Sriwijaya Post, Minggu (6/3) 2011 tatkala melakukan transaksi
elektronik via media jejaring social, kronologisnya mahasiswi tersebut
hendak berbelanja setelah mendapatkan tawaran menggiurkan berupa
produk-produk elektronik yang mekanismenya produk-proudk tersebut
ditawarkan dengan memberikan gambaran informasi berupa foto-foto yang
kemudian dkirimkan ke akun korban dengan harga miring. Berbekal,
kepercayaan dirinya kemudian berinsiatif untuk mencoba membeli produk
yang ditenggarai distributor produk elektronik berupa laptop dan
handphone tersebut berdomisili di Pulau Batam.
Secara
normative, UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
menyebutkan bahwa dalam pasal 4 huruf (a) menyatakan hak konsumen adalah
kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa.
Kemudian dijelaskan lagi pasal 4 huruf (c), (d), (e), (f), (g), (h),
(i), yakni
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen, hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Disini tertera
jelas bahwa secara yuridis normative, Negara telah menjamin hak-hak
konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang dan jasa.
Sesuai dengan data yang tertera dalam pengakuan korban, kesimpulan
yang masih berupa hipotesa berupa, pelaku usaha telah melanggar
butir-butir ketentuan UU No. 8 tahun 1999 pasal 4 huruf (c) yakni hak
untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan
kondisi barang dan atau jasa. Maka
dari itu, untuk meminimalisir kejadian serupa terulang rasanya perlu
langkah preventif untuk mengantisipasi korban-korban kriminalisasi dunia
maya ini terjadi untuk yang kedua kalinya.
Dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik
disebutkan dipembuka bahwa dalam ketentuan umum pasal 1 (9) berbunyi ”
Sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas
yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi
elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara elektronik [Pasal 1 (10),
(11)]. Sesuai dengan ketentuan undang-undang ITE, dalam kasus penipuan
e-commerce tadi, konsumen termasuk kedalam statusnya sebagai subjek
hukum dan distributor tersebut yang dapat dklasifikasikan sebagai
pemegang status subjek hukum. Karena, dalam pasal 1 (6) disebutkan bahwa
penyelenggaraan system elektronik oleh penyelenggara Negara, orang,
badan usaha, dan/atau masyarakat. Dalam kasus tersebut, kami
mengklasifikasikan distributor produk elektronik tersebut sebaga subjek
hukum karena dianalogikan bahwa penyelenggara system elektronik secara
luas [dalam kasus ini, facebook] namun dideterminasikan sebagai individu
pemegang sistem elektronik yang dikelola oleh badan usaha, orang
dan/atau masyarakat [Pasal 1 (6)] maka pemilik akun facebook berupa
distributor tersebut diklasifikasikan sebagai pemegang status subjek
hukum dengan kategori badan usaha bukan berbadan hukum.
Gambar 1.2 : Transaksi Elektronik |
Dalam kasus yang dihadapi mahasiswi tersebut, terindikasi bahwa telah
terjadi pelanggaran perjanjian transaksi jual beli/e-commerce,
antara distrtibutor dengan konsumen berupa serta langkah-langkah konkrit
untuk mengantisipasi kejadian serupa dengan mempertimbangkan ketentuan
yakni ;
1. UU
No. 8 tahun 1999 Pasal 4 (c) berupa konsumen berhak mendapatkan
informasi secara jujur. Penulis menginterpretasikan melalui penafsiran
hukum berupa penganalogian konstituen UU berupa “mendapatkan informasi secara jujur”
yakni mendapatkan informasi secara jelas, terang-terangan, terbuka,
legal (memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat mengikat/imperatif),
mulai dari penjajakan barang dagangan, proses pembayaran, hingga
sampainya barang yang dituju sesuai dengan informasi yang tertera. Maka
dari itu, perlu langkah konkrit berupa kajian empirik untuk
menanggulangi kasus serupa dengan memberikan advise/saran/nasehat
berupa ‘setiap orang yang melakukan kegiatan usaha (transaksional
barang/jasa) baik itu secara nyata maupun maya, baik itu badan usaha
berbadan hukum maupun badan usaha bukan berbadan hukum perlu
mendaftarkan dan diawasi sebuah lembaga khusus yang berwenang membuat
sertifikasi/akta yang sah dan memiliki kekuatan hukum yang bersifat
tetap dan mengikat’. Hal ini direpresntasikan sebagai realisasi dari
perlunya perlindungan hak-hak konsumen transaksi dunia maya yang
seringkali dirugikan lantaran beluma adanya undang-undang yang mengatur
untuk hal itu”.
2. Mengesahkan
RUU Badan pengawas telematika sebagai lembaga yang diotorisasikan
menaungi semua pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat nisbi/maya.
dalam kasus mahasiswi tersebut, relevansinya adalah dalam kegiatan
transaksi melalui dunia maya hal tersebut adalah untuk menanggulangi
tindakan criminal dalam dunia maya dan
3. Mewajibkan
setiap badan usaha/melakukan kegiatan usaha yang bersifat nyata/maya
(anitnomi) yang menyelenggarakan sistem transkasi elektronik mesti
mendaftarkan diri tentang riwayat dan dokumen perusahaan (baik itu badan
hukum atauapun bukan berbadan hukum) sesuai dengan ketentuan UU No. 8
tahun 1997 serta setiap penyelenggara system elektronik baik itu Negara,
orang, masyarakat mesti disertifikasi oleh lembaga keandalan sesuai
dengan ketentuan UU No. 11 tahun 2008 untuk mengantisipasi kekosongan
hukum (rechtsvacuum) terhadap tindak kejahatan melalui dunia maya berupa
penipuan transaksi online melalui situs jejaring social.
4. Apabila,
setiap usaha/kegiatan usaha baik itu yang sifatnya nyata/maya telah
mendapatkan legalitas yang sah menurut hukum positif Indonesia, maka
dari itu konsumen akan akan dengan segera mendapatkan hak-haknya sebagai
subjek hukum untuk menggugat pelaku usaha tersebut ke meja peradilan.
Hal ini, bertujuan untuk melindungi konsumen agar tidak terjerat dengan
pelaku-pelaku usaha nakal yang mencuri hak-hak konsumen untuk
mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi.
5. Pasal 45 (1) Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2)
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
0 comments:
Posting Komentar