BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Dalam
perkembangan secara kontemporer, Negara terus-terusan mengalami evolusi yang
luar biasa dalam mengakomodir kepentingan rakyat didalamnya. Unsur-unsur Negara
yang menyebutkan rakyat sebagai salah satu bagian didalamnya menyatakan secara
jelas bahwa Negara dan rakyat adalah dua mata pisau yang tak terpisahkan satu
sama lainnya.
Ditinjau
dari sisi hukum, identifikasi Negara dikenal dengan sebutan Negara jaga malam.
Pada tipe ini Negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata lain
Negara jaga malam. Pemerintahan yang bersifat monarki absolute.[1]
Tak
pelak, dalam pelaksanaan tugas kenegeraan yang lebih efisien maka dibentuklah
beberapa macam bagian penting dalam system ketata negaraan dalam mewujudkan
efisiensi praktik ketata negaraan. Indonesia, mengantu teori Monstesque yang
membagi kekuasaan dalam ketiga bidang. Yang pertama Montesque memperkenalkan
lembaga legislative. Inti dari pembentukan lembaga ini adalah mewujudkan
konsepsi Negara hukum dengan wadah yang lebih representative dalam sebuah badan
legislasi. Yang kedua, lembaga eksekutif. Lembaga ini bisa dibilang merupakan
organ vital dalam susunan kekuasaan. Biasanya, eksekutif memegang posisi
sebagai kepala Negara/daerah/wilayah. Dan yang ketiga adalah lembaga yudikatif,
lembaga ini memproporsikan sebuah kepastian hukum akan adanya sebuah lembaga
khusus yang membidangi masalah indisipliner subyek hukum dalam sebuah Negara.
Selain itu, sebenarnya ada banyak pilihan teori yang dapat diimplementasikan di
Indonesia. contohnya saja, pakar hukum asal Belanda Van Vollen Hoven yang
mengkonsepsikan pembagian kekuasaan dengan nama catur praja. Selain itu, Good
Now turut pula menyumbangkan pola pemikirannya dalam kedua konstelasi teori
pembagian kekuasaan dalam Policy Making dan Policy Executing[2].
B. Rumusan Masalah
Lembaga kepolisian yang dalam UU
Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 disebutkan sebagai sebuah Keamanan dan
ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah
satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka
tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban,
dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan
membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam
menangkal, mencegah, dan
menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan
lainnya yang dapat meresahkan masyarakat[3].
Dalam rumusan undang-undang yang termaktub secara dekonstruktif dalam UU No 2 Tahu
2002 disebutkan bahwa fungsi kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini ialah salah
satu pemenuhkan kebutuhan informasi public dalam menyikapi posisi lembaga
kepolisian dalam struktur tata Negara Indonesia. sejauh mana implikasinya
terhadapa kemanan dan ketertiban di Indonesia, sejauh mana lembaga tersebut
mampu mengeksaminasi dan mereduksi tindak-tindak pidana yang dapat merugikan
khalayak ramai[4].
D. Metode Penelitian
Adapun
metode penelitian yang digunakan oleh makalah ini :
1. Melakukukan
pendekatan secara kualitatif mengenai penguatan aspek hukum lembaga kepolisian dalam
menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Melakukan
studi pustaka yakni penelusuran literature hukum. Seperti melakukan pedekatan
bahan hukum primer seperti : KUHP, KUHAP, dan Peraturan Perundang-undangan
lainnya diluar KUHP dan KUHAP. Kemudian bahan hukum sekunder seperti,
buku-buku.
BAB II
Pembahasan
I. Pendahuluan
Pasukan
Polisi Republik Indonesia
Tumbuh
dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia, Polri telah
dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan
ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam
pertempuran melawan penjajah dan berbagai operasi militer bersama-sama kesatuan
bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri
lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.
Hanya
empat hari setelah kemerdekaan, tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan polisi ini segera mengganti nama
menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia yang sewaktu itu dipimpin oleh
Inspektur Kelas I Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang
dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara
Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat
moral dan patriotisme seluruh rakyat maupun persatuan bersenjata lain yang patah semangat akibat
kekalahan perang yang panjang.
Tanggal
29 September 1945 tentara
Sekutu yang di
dalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda menyerbu Indonesia dengan alasan ingin menghalau tentara
Jepang dari negara tersebut. Pada kenyataannya pasukan Sekutu tersebut justru
ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Oleh karena itu perang
antara sekutu dengan pasukan Indonesia terjadi di mana-mana. Klimaksnya terjadi
pada tanggal 10 November 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya". Tanggal itu kemudian
dijadikan sebagai Hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun
diperingati oleh rakyat Indonesia.
Pertempuran
10 November 1945 di Surabaya menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi
lebih dari itu karena semangat perwiranya mampu menggetarkan dunia dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB) masih melihat eksisnya bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Kini
tugas Polri yang utama ialah menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri,
Polri juga semakin sibuk dengan berbagai operasi, seperti Operasi Ketupat
menjelang Idul Fitri, Operasi Lilin menjelang Natal, dan lain-lain[5].
II.
Peran Polri
Dalam
ketentuan UU No 13 Tahun 1961 jo. UU No 2 Tahun 2002 Polisi Republik Indonesia
diberi mandat oleh undang-undang berupa memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat
menegakkan
hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[6]
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas [7]:
a. melaksanakan
pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan
segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas
di jalan;
c. membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta
dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan
koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h.
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi
keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani
kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani olehinstansi
dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian; serta
l. melaksanakan
tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan tugas dan wewenang yang djamin oleh
undang-undang ini Polri ini tentu mengisyaratkan adanya sebuah peran besar
dalam menjaga ketertiban umum. Namun, secara kontekstual berdasarkan survey yang diselenggarakan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) imparsial dengan menggunakan metode multiple
random sampling(MRS)[8] mengindikasikan
persentase yang begitu besar terhadap ketidak puasan masyarakat terhadap
kinerja kepolisian akhir-akhir ini. LSM Imparsial memproporsikan kasus korupsi
sebagai bidang yang paling tidak dipuasi oleh masyarakat dengan persentase
sebesar 78 % menyatakan tidak puas. Selain itu, penanganan masalah terorisme
menjadi aspek kedua ketidak kapabelan peran Polisi dalam mengamanatkan
konstitusi.
Padahal dalam ketentuan Undang-undang No 2 Tahun
2002 termaktub dalam Bab V tentang pembinaan profesi kepolisian dalam Pasal
31-32[9]. Dalam ketentuan pasal 32 ayat (1) disebutkan
bahwa Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan
serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan,
dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. Sebagai sebuah lembaga yang
diamanatkan dalam konstitusi sebagai penjaga stabilitas keamanan Negara
terhadap isu-isu nasional yang tengah menggema. sudah seharusnya Polri
melakukan penguatan aspek hukum terhadap kredibiltas mereka sebagai sebuah
lembaga penegak hukum.
III.
Penguatan
Aspek Lembaga Kepolisian
Ada banyak
pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam menganalisis keberpihakan
hukum terhadap masyarakat. Roscoe Pound sebagai penganut aliran Sosiologi Hukum
menyebutkan ada lima poin utama yang mempengaruhi komposisi hukum itu sendiri.
Independenitas Kepolisian, menjadikan lembaga kepolisian sebagai sebuah lembaga hukum yang
bebas interventif terutama lembaga-lembaga penegak hukum juga membawa akibat
besar dalam sistem hukum. Intervensi terhadap kekuasaan yudikatif misalnya, membuat
kepercayaan rakyat terhadap kredibilitas kepolisian menjadi semakin buruk. Oleh
sebab itulah, kepolisian seharusnya lepas dari segala hal yang berkaitan dengan
campur tangan lembaga Negara lainnya seperti eksekutif dan legislative dalam
setiap penyelenggaran ICJ (Integrated Criminal Justice) karena sebagai sebuah
lembaga yang memiliki kekuatan Super
Power secara konstitusional membuat penguatan aspek indenpendenitas
kepolisian menjadi satu hal yang urgensif.
Akuntabilitas Kepolisian. Independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi uang logam.
Oleh karena itu independensi kepolisian harus disertai dengan akuntabilitas.
Namun demikian dalam praktek, pengaturan tentang akuntabilitas kepolisian tidak
dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus
bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk
memberikan pertanggungjawabannya. Hal yang demikian telah memberikan kesan
tiadanya transparansi di dalam semua proses hukum. Terutama dalam kasus-kasus
yang sedang hangat akuntabilitas dalam setiap proses penyidikan kepolisian
harus akuntabel dalam menginformasikan kepada publik.
SDM Kepolisian. Proses rekrutmen terbuka yang lebih akomodatif akan justru
membuat lembaga kepolisian menjadi salah satu lembaga penegak hukum yang
dipercaya. Kepolisian harus menjunjung tinggi asas integritas kepolisian dengan
mengabaikan interest pribadi dalam
merusak system kualifikasi perekrutan calon anggota kepolisian. Dengan perbaikan-perbaikan system
kualifikasi calon anggota kepolisian menjadi lebih transparan akan jauh membuat
peran kepolisian menjadi lebih dipercaya. Selain itu, pembinaan profesi Polisi
harus terus dilaksanakan secara berkesinambungan demi menjaga nama baik korps
hitam-hitam dalam menjaga stabilitas Negara dengan lembaga-lembaga lainnya.
Budaya Hukum, tumbuhnya degradasi
kesadaran hukum antara rakyat dengan kepolisian menjadi noktah hitam ketidak
kompetensian lembaga penegakan hukum sekaliber Kepolisian tidak dipercayai
masyarakat. Budaya hukum yang kondusif akan membuat kepercayaan masyarakat
menjadi semakin meningkat. Sudah menjadi sebuah hal yang lumrah bila Polisi
kerap dikaitkan sebagai tukang jagal. Untuk merubah itu, tentu Polisi harus
memiliki integritas dan komitmen yang tinggi dalam menjunjung visi
keorganisasian.
Kerja Sama Antar Lembaga, penguatan
aspek strategis bargaining position Polri
dalam menanggulangi kasus-kasus dalam negeri dan mengeskalasi kepercayaan
rakyat terhadap kepolisian dapat pula dilakukan dengan jalan koordinasi antara
lembaga. Contoh paling baik yang dilakukan oleh kepolisian adalah ketika
menyidik kasus Nazaruddin yang menyingkap beberapa isu besar membuat peran
Polri dapat dikatakan sangat strategis. Kerjasama antar lembaga kepolisian
sedunia atau Interpol adalah salah satu cara Polri menjaga dan memelihara
stabilitas Negara.
[1]
Prof. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara,
Jakarta: Bumi Aksara, 1989
[2] Ibid. Hlm 85
[3]
Pasal 1 Ayat (5) UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
[4]
Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia
[6]
Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002
[7]
Pasal 14 UU No 2 Tahun 2002
[8] http://news.okezone.com/read/2011/07/18/337/481085/survei-kinerja-terbaik-polisi-cuma-tangani-teroris
[9]
Pasal 32 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2002
0 comments:
Posting Komentar