“Penguatan Aspek Hukum Lembaga Kepolisian Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi”

on Senin, 05 September 2011

 
BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang

Dalam perkembangan secara kontemporer, Negara terus-terusan mengalami evolusi yang luar biasa dalam mengakomodir kepentingan rakyat didalamnya. Unsur-unsur Negara yang menyebutkan rakyat sebagai salah satu bagian didalamnya menyatakan secara jelas bahwa Negara dan rakyat adalah dua mata pisau yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
Ditinjau dari sisi hukum, identifikasi Negara dikenal dengan sebutan Negara jaga malam. Pada tipe ini Negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata lain Negara jaga malam. Pemerintahan yang bersifat monarki absolute.[1]
Tak pelak, dalam pelaksanaan tugas kenegeraan yang lebih efisien maka dibentuklah beberapa macam bagian penting dalam system ketata negaraan dalam mewujudkan efisiensi praktik ketata negaraan. Indonesia, mengantu teori Monstesque yang membagi kekuasaan dalam ketiga bidang. Yang pertama Montesque memperkenalkan lembaga legislative. Inti dari pembentukan lembaga ini adalah mewujudkan konsepsi Negara hukum dengan wadah yang lebih representative dalam sebuah badan legislasi. Yang kedua, lembaga eksekutif. Lembaga ini bisa dibilang merupakan organ vital dalam susunan kekuasaan. Biasanya, eksekutif memegang posisi sebagai kepala Negara/daerah/wilayah. Dan yang ketiga adalah lembaga yudikatif, lembaga ini memproporsikan sebuah kepastian hukum akan adanya sebuah lembaga khusus yang membidangi masalah indisipliner subyek hukum dalam sebuah Negara. Selain itu, sebenarnya ada banyak pilihan teori yang dapat diimplementasikan di Indonesia. contohnya saja, pakar hukum asal Belanda Van Vollen Hoven yang mengkonsepsikan pembagian kekuasaan dengan nama catur praja. Selain itu, Good Now turut pula menyumbangkan pola pemikirannya dalam kedua konstelasi teori pembagian kekuasaan dalam Policy Making dan Policy Executing[2].

B.     Rumusan Masalah
Lembaga kepolisian yang dalam UU Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002 disebutkan sebagai sebuah Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam
menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat[3]. Dalam rumusan undang-undang yang termaktub secara dekonstruktif dalam UU No 2 Tahu 2002 disebutkan  bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

C.    Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini ialah salah satu pemenuhkan kebutuhan informasi public dalam menyikapi posisi lembaga kepolisian dalam struktur tata Negara Indonesia. sejauh mana implikasinya terhadapa kemanan dan ketertiban di Indonesia, sejauh mana lembaga tersebut mampu mengeksaminasi dan mereduksi tindak-tindak pidana yang dapat merugikan khalayak ramai[4].

D.    Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh makalah ini :
1.      Melakukukan pendekatan secara kualitatif mengenai penguatan aspek hukum lembaga kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
2.      Melakukan studi pustaka yakni penelusuran literature hukum. Seperti melakukan pedekatan bahan hukum primer seperti : KUHP, KUHAP, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya diluar KUHP dan KUHAP. Kemudian bahan hukum sekunder seperti, buku-buku.























BAB II
Pembahasan
I.  Pendahuluan
Pasukan Polisi Republik Indonesia
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai operasi militer bersama-sama kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.
Hanya empat hari setelah kemerdekaan, tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan polisi ini segera mengganti nama menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia yang sewaktu itu dipimpin oleh Inspektur Kelas I Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotisme seluruh rakyat maupun persatuan bersenjata lain yang patah semangat akibat kekalahan perang yang panjang.
Tanggal 29 September 1945 tentara Sekutu yang di dalamnya juga terdapat ribuan tentara Belanda menyerbu Indonesia dengan alasan ingin menghalau tentara Jepang dari negara tersebut. Pada kenyataannya pasukan Sekutu tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Oleh karena itu perang antara sekutu dengan pasukan Indonesia terjadi di mana-mana. Klimaksnya terjadi pada tanggal 10 November 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya". Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun diperingati oleh rakyat Indonesia.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat perwiranya mampu menggetarkan dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih melihat eksisnya bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Kini tugas Polri yang utama ialah menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri, Polri juga semakin sibuk dengan berbagai operasi, seperti Operasi Ketupat menjelang Idul Fitri, Operasi Lilin menjelang Natal, dan lain-lain[5].
II.                Peran Polri
Dalam ketentuan UU No 13 Tahun 1961 jo. UU No 2 Tahun 2002 Polisi Republik Indonesia diberi mandat oleh undang-undang berupa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[6] Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas [7]:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani olehinstansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan tugas dan wewenang yang djamin oleh undang-undang ini Polri ini tentu mengisyaratkan adanya sebuah peran besar dalam menjaga ketertiban umum. Namun, secara kontekstual  berdasarkan survey yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) imparsial dengan menggunakan  metode multiple random sampling(MRS)[8] mengindikasikan persentase yang begitu besar terhadap ketidak puasan masyarakat terhadap kinerja kepolisian akhir-akhir ini. LSM Imparsial memproporsikan kasus korupsi sebagai bidang yang paling tidak dipuasi oleh masyarakat dengan persentase sebesar 78 % menyatakan tidak puas. Selain itu, penanganan masalah terorisme menjadi aspek kedua ketidak kapabelan peran Polisi dalam mengamanatkan konstitusi.
Padahal dalam ketentuan Undang-undang No 2 Tahun 2002 termaktub dalam Bab V tentang pembinaan profesi kepolisian dalam Pasal 31-32[9].  Dalam ketentuan pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. Sebagai sebuah lembaga yang diamanatkan dalam konstitusi sebagai penjaga stabilitas keamanan Negara terhadap isu-isu nasional yang tengah menggema. sudah seharusnya Polri melakukan penguatan aspek hukum terhadap kredibiltas mereka sebagai sebuah lembaga penegak hukum.
III.             Penguatan Aspek Lembaga Kepolisian
Ada banyak pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam menganalisis keberpihakan hukum terhadap masyarakat. Roscoe Pound sebagai penganut aliran Sosiologi Hukum menyebutkan ada lima poin utama yang mempengaruhi komposisi hukum itu sendiri.
Independenitas Kepolisian, menjadikan lembaga kepolisian sebagai sebuah lembaga hukum yang bebas interventif terutama lembaga-lembaga penegak hukum juga membawa akibat besar dalam sistem hukum. Intervensi terhadap kekuasaan yudikatif misalnya, membuat kepercayaan rakyat terhadap kredibilitas kepolisian menjadi semakin buruk. Oleh sebab itulah, kepolisian seharusnya lepas dari segala hal yang berkaitan dengan campur tangan lembaga Negara lainnya seperti eksekutif dan legislative dalam setiap penyelenggaran ICJ (Integrated Criminal Justice) karena sebagai sebuah lembaga yang memiliki kekuatan Super Power secara konstitusional membuat penguatan aspek indenpendenitas kepolisian menjadi satu hal yang urgensif.  
Akuntabilitas Kepolisian. Independensi dan akuntabilitas merupakan dua sisi uang logam. Oleh karena itu independensi kepolisian harus disertai dengan akuntabilitas. Namun demikian dalam praktek, pengaturan tentang akuntabilitas kepolisian tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya. Hal yang demikian telah memberikan kesan tiadanya transparansi di dalam semua proses hukum. Terutama dalam kasus-kasus yang sedang hangat akuntabilitas dalam setiap proses penyidikan kepolisian harus akuntabel dalam menginformasikan kepada publik.
SDM Kepolisian. Proses rekrutmen terbuka yang lebih akomodatif akan justru membuat lembaga kepolisian menjadi salah satu lembaga penegak hukum yang dipercaya. Kepolisian harus menjunjung tinggi asas integritas kepolisian dengan mengabaikan interest pribadi dalam merusak system kualifikasi perekrutan calon anggota kepolisian. Dengan perbaikan-perbaikan system kualifikasi calon anggota kepolisian menjadi lebih transparan akan jauh membuat peran kepolisian menjadi lebih dipercaya. Selain itu, pembinaan profesi Polisi harus terus dilaksanakan secara berkesinambungan demi menjaga nama baik korps hitam-hitam dalam menjaga stabilitas Negara dengan lembaga-lembaga lainnya.
Budaya Hukum, tumbuhnya degradasi kesadaran hukum antara rakyat dengan kepolisian menjadi noktah hitam ketidak kompetensian lembaga penegakan hukum sekaliber Kepolisian tidak dipercayai masyarakat. Budaya hukum yang kondusif akan membuat kepercayaan masyarakat menjadi semakin meningkat. Sudah menjadi sebuah hal yang lumrah bila Polisi kerap dikaitkan sebagai tukang jagal. Untuk merubah itu, tentu Polisi harus memiliki integritas dan komitmen yang tinggi dalam menjunjung visi keorganisasian.
Kerja Sama Antar Lembaga, penguatan aspek strategis bargaining position Polri dalam menanggulangi kasus-kasus dalam negeri dan mengeskalasi kepercayaan rakyat terhadap kepolisian dapat pula dilakukan dengan jalan koordinasi antara lembaga. Contoh paling baik yang dilakukan oleh kepolisian adalah ketika menyidik kasus Nazaruddin yang menyingkap beberapa isu besar membuat peran Polri dapat dikatakan sangat strategis. Kerjasama antar lembaga kepolisian sedunia atau Interpol adalah salah satu cara Polri menjaga dan memelihara stabilitas Negara.


[1] Prof. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1989
[2] Ibid. Hlm 85
[3] Pasal 1 Ayat (5) UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[4] Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia
[6] Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002
[7] Pasal 14 UU No 2 Tahun 2002
[8] http://news.okezone.com/read/2011/07/18/337/481085/survei-kinerja-terbaik-polisi-cuma-tangani-teroris
[9] Pasal 32 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2002

0 comments: