Reformis Agama dan Premanisme
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri 2010)
"Seolah terjadi apa yang dinamakan conspiracy of silent yang sudah dipraktikan oleh Negara."
Ketika
perbenturan masalah agama dengan ideologi bangsa terus mencuat,
kecenderungannya Negara kerap mengabaikan persoalan-persoalan krusial yang
potensial mengakarkan konflik horizontal di masyarakat. Terkadang, apa yang dinamakan
Negara tersebut justru memberikan intervensi moral lewat aparat-aparat yang
kerap ‘mengoboy’ dalam memerangi hak-hak warga Negara.
Fenomena
seperti ini sering muncul atau bahkan dimunculkan untuk membiaskan visi
konstitusi. Negara mengabaikan persoalan-persoalan fundamental kebangsaan yang
berujung pada perpecahan. Islam selalu menjadi topeng akan bopengnya birokrasi
negeri ini.
Hukum
di negeri ini seolah tumpul akan tindakan-tindakan heroisme sejumlah ormas yang
mengatas namakan Agama. Negara, agama dan kultur diusung demi menumpas hak-hak
kerakyatan yang sangat asasi. Padahal, sangat bias akan ket
Baru-baru
ini Polisi membubarkan sebuah diskusi ilmiah yang dimotori oleh Komunitas
Salihara di Jakarta. Terkait dengan kedatangan Irshad Manji, feminis Islam
lesbian ke Jakarta .
Pembubaran itu dipelopori oleh Front Pembela Islam (FPI). Negara telah dituding
melanggar amanat konstitusi yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 28 e ayat (3)
tentang kebebasan berpendapat. Konstitusi juga menjamin kebebasan warga Negara
dalam mengekspresikan pendapat dalam satu syarikat. Tidak ada larangan oleh
Negara dalam memberikan kewenangan kepada masyarakat Indonesia untuk mendirikan
organisasi, perkumpulan dan menyatakan pendapat di muka umum.
Hal
ini seolah menjadi bias ketika sejumlah oknum yang menamakan diri pembela agama
mereduksi pasal-pasal konstitutif dalam undang-undang dasar. Seolah terjadi apa
yang dinamakan conspiracy of silent
yang sudah dipraktikan oleh Negara. Secara paralel, peristiwa pelanggaran hak
asasi manusia dan ketidakadilan substantif terus terjadi. Kaum minoritas
menjadi persangkaan subjektif oleh kaum mayoritas.
Membuka
tahun masehi 2012, rasa persatuan akan kebangsaan kita diusik oleh
kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab. Kebebasan masyarakat dalam beribadat
terganggu setelah teror dan intimidasi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok
berlanjut. Kali ini korbannya adalah jemaat Gereja Yasmin. Sejumlah kelompok
masyarakat anti pembangunan gereja Yasmin menebar teror dan memboikot pendirian
gereja di Bogor .
Polisi seolah jadi macan ompong dan dikebiri oleh kelompok fundamentalis.
Padahal, dalam kode etik profetik kepolisian yang tertuang dalam UU No 27 Tahun
1997 mengamanatkan bahwa Polisi berhak dan wajib menjaga dan memelihara
keamanan tertib masyarakat (kamtibmas) dari ancaman dunia luar yang dapat
menggagung stabilitas Negara. Namun faktanya, Polisi menafsirkan pasal tersebut
dengan tambahan pengecualian.
Tampaknya
publik tak akan lupa dengan pengabaian Polisi yang hadir dalam aksi anarkistis
anggota FPI yang menyerbu markas Ahmadiyah di Cikeusik. Beberapa Polisi yang
berjaga tak kuasa menahan serbuan 1500-an anggota FPI yang mengepung markas
Ahmadiyah. Walhasil, sejumlah korban bergelimpangan. Anggota Ahmadiyah yang
tertangkap oleh FPI diamuk massa
hingga tewas. Tak sampai disitu, korban bahkan yang sudah tewas pun masih
disiksa dengan hantaman benda-benda tumpul hingga tubuh anggota Ahmadiyah
tersebut remuk dan hancur.
Persidangan
pada 31 Mei 2011 yang diadili oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Serang, Banten
memvonis Adam Damini (Koordinator penyerangan ke Ahmadiyah) dengan Pasal 170
KUHP tentang penganiayaan secara bersama-sama dengan kurungan penjara selama 3
(tiga) tahun. Secara historis, konflik horizontal yang muncul ini dprakarsai
oleh sejumlah reformis agama. Namun, besar kemungkinan kegiatan mereka juga
diprovokasi atau ada intervensi moral dari imperium.
Tak
dapat ditampik, persinggungan persoalan agama dan rasial di Bumi Indonesia kerap
muncul seiring dengan akses informasi yang mudah digapai. Pengaruh media
memberikan peran dalam memotori gerakan reformis agama untuk menumpas ketidak
sepemahaman dengan kepercayaan agama lainnya. Sebagai komparasi, gerakan melat
yang dilakukan reformis nasionalis Mesir memberikan pengaruh yang nyata bagi Indonesia untuk
bisa menyamai gerakan-gerakan Muslim serupa di belahan dunia lainnya. Tak
pelak, hal ini mengilhami mereka untuk mentransformasi diri menjadi laskar
Tuhan dan Khalifah.
Morfin-morfin
kecil seperti inilah yang kemudian terakumulasi dan menjadi bom atom bagi
lingkungan disekitarnya. Benih gejala pra-terorisme tumbuh. Gerakan reformis
agama bermetamorfosa menghantui perasaan masyarakat yang terbiasa dengan
persoalan keberagaman. Persoalannya adalah terletak pada sulitnya
mengkonfrontir mereka untuk dapat berpikiran terbuka dan bersama-sama memahami
persoalan kebangsaan yang kerap menggoyahkan stabilitas Negara. Sebagai
konsideransi, wacana konsolidasi dalam ruang diskursus public perihal menyikapi
kasus-kasus konflik horizontal yang krusial perlu digalakkan. Para
pemuka agama tidak seharusnya memberikan pernyataan provokatif yang pragmatis.
Supaya Negara ini aman dan damai, perlu satu konsep kenegaraan yang bias agama,
gender, budaya. Semua itu sebenarnya sudah menjelma dalam lima
prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia . Menjadi pertanyaan,
sudahkah kita mengamalkannya dengan maksimal ?
0 comments:
Posting Komentar