BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Semenjak
meningkatnya agresi militer di sejumlah negara yang ditenggarai persoalan
eknomi dan wilayah, persoalan krusial terkait dengan entitas wilayah dan etnik
menjadi motif utama yang diusung dalam berlangsungnya perang. Bahkan, motif
perang yang paling agung didefinisikan Agung Setyo Wibowi, dkk adalah karena
agama. Perang atas nama agama digambarkan sebagai perang paling mengerikan yang
pernah terjadi selama masa dunia. Tak ayal, perubahan zaman dimulai dari perang,
dan pergolakan perang ditimbulkan atas dasar keyakinan (faith). [1]
Banyak
hal yang ditimbulkan dari pelaksanaan perang. Mulai dari korban jiwa (termasuk
anak-anak), harta benda (property, fasilitas umum, dll) dan wilayah. Barangkali
inilah yang melatar belakangi Brian-Kellog Pact 1928 di Paris (General Treaty for Renunciation of War)
untuk menolak terjadinya perang dalam keadaan apapun. [2]
walaupun tidak secara signifikan, penanda tanganan (signatory) dari negara pihak di Briand-Kellog Pact 1928 ini diterima
secara komprehensif, namun hasil dari pakta ini dikonsiderasi dalam bentuk General Act for the Pacific Settlement of
Disputes yang disepakati di Jenewa, Swiss yang mewajibkan para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan kasus di Komisi Konsiliasi.
Namun,
konfrontasi antar kepentingan membuat pakta ini tidak dilaksanakan secara
konsisten oleh negara pihak (state party).
Karena, persoalan perang sulit untuk dihindarkan. Negara-negara lebih memilih
perang untuk mengakhiri konflik yang terjadi.
Sehubungan
dengan itu, maka perlu pengaturan yang sangat multiregulasi dalam hal
melindungi potensi-potensi penderitaan dan kerusakan pasca perang (post war) untuk dijadikan sebagai
rambu-rambu bagi para pelaku perang agar tidak melampaui kebolehan (gebod) dibawah hokum internasional (governed by the international law).
Pengaturan mengenai perang ini diatur dalam dua Hukum Humaniter Internasional
moderen terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag,
yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war
proper), dan Hukum Jenewa
atau Hukum Humaniter. [3]
Hukum
Den Haag lebih cenderung mengatur persoalan mengenai kapan suatu negara
dibenarkan dapat melaksanakan perang (Jus ad Bello) dan hokum yang berlaku saat
perang (Jus ad Bellum). Hukum Den Haag, atau Hukum Perang yang utama,
“menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan
operasi serta membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh dipakai. [4]
Selain itu,
konvensi Jenewa atau yang lebih dikenal sebagai Hukum Jenewa (Laws of Geneva) merupakan hasil dari
sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu
1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang
yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang
Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang
pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari
Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional
pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah
ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan
dengan masalah perang saudara.
Keempat
Konvensi Jenewa adalah:
- Konvensi Jenewa Pertama,
“mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan
Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi
terakhir kali pada tahun 1949)
- Konvensi Jenewa Kedua,
“mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka,
Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949,
sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)
- Konvensi Jenewa Ketiga,
“mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada
tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949]
- Konvensi
Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang”
(diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian
tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907)
Meskipun
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari proses yang
dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut telah “mencapai
partisipasi universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa
konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap konflik bersenjata
internasional.[5]
Kendati
sudah diatur secara universal soal perlindungan rakyat sipil dari target atau
sasaran perang, namun pihak-pihak yang berperang kerap kali melakukan
pelanggaran dalam hokum perang terkait dengan pelarangan rakyat sipil sebagai
sasaran perang. Sekarang ini, meningkatnya kasus-kasus peenyerangan wartawan
secara frontal oleh negara-negara yang bertikai membawa dampak buruk terhadap
perkembangan hokum humaniter internasional menjadi sebuah regulasi kuasi yang
sulit untuk ditegakkan.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Sejauh
mana Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan terhadap jurnalis
independen dan koresponden perang selama pertikaian berlangsung.
b.
Pembedaan
konsep ‘Journalist Independent’ dan ‘Personnil Media or War Correspondent’
dalam Hukum Humaniter Internasional
c. Urgensi mengakhiri impunitas bagi
pelaku kejahatan perang
BAB
II
PEMBAHASAN
Ad. 1 Jurnalis
di Medan Perang
Setiap
tahunnya, jumlah wartawan yang tewas saat meliput selama konflik bersenjata
yang tengah berlangsung semakin meningkat. Pada tahun ini sendiri, enam orang
jurnalis terbunuh dalam perang yang berlangsung di Afghanistan. [6]
ada beberapa alasan kenapa pekerjaan jurnalis menjadi sangat beresiko. Disatu
sisi, mereka ingin sedekat mungkin dengan kejadian sehingga nilai berita yang
akan dituliskan menjadi semakin bernilai. Disisi lain, kebenaran yang
diungkapkan oleh wartawan boleh jadi menjadi ancaman bagi pihak-pihak yang
tengah bertikai. Namun, hokum humaniter internasional menyediakan secara khusus
perlindungan jurnalis independen dan personil media selama konflik bersenjata
tengah berlangsung. Hingga kini, data yang masuk ke CPJ (Commission Protecting
Journalist) menyebutkan bahwa sebanyak 978 jurnalis dari seluruh dunia terbunuh
semenjak 1992 lantaran meliput saat pertikaian konflik bersenjata tengah
berlangsung. Angka tersebut belum ditambah dengan 592 jurnalis terbunuh yang
pelakunya diberikan impunitas dan 232 jurnalis yang mendekam dibalik penjara
diseluruh dunia. [7]
Korban
ini belum bertambah dengan jumlah jurnalis yang hilang atau ‘dihilangkan’
selama meliput perang. Pada tahun 2003 saja, 42 orang jurnalis meninggal di
seluruh dunia. 14 jurnalis dan staf media kehilangan tempat tinggal, dua orang
jurnalis hilang dan lima belas jurnalis lainnya luka-luka akibat meliput
kegiatan perang dan pasca perang di Irak. Selain itu, peneyerangan secara
sengaja berlangsung di medan perang, seperti Timur Tengah, Bombardir NATO
terhadap Radio Televisi Serbia di Belgrade (dulu Ibukota Yugoslovia) pada 1999
dan pemboman tentara Amerika di Kabul dan Baghdad terhadap jurnalis televise Al
Jazeera. [8]
Ad.2 Perlindungan
Jurnalis dalam Hukum Humaniter Internasional
Jurnalis Independen
Jurnalis
independen harus secara jelas dibedakan dengan koresponden perang, yang secara
aktif menjadi anggota yang mewakili unit militer. Berdasarkan artikel 79
Protokol tambahan I, jurnalis dan personil media di wilayah konflik ditetapkan
sebagai rakyat sipil dan mendapatkan perlindungan sama halnya dengan rakyat
sipil. Istilah "wartawan" mencakup "semua perwakilan media,
yaitu semua mereka yang terlibat dalam pengumpulan, pengolahan dan penyebaran
berita dan informasi, termasuk kamerawan dan fotografer, serta staf pendukung
sebagai driver dan interpreter "[9]
Selama
melaksanakan profesinya, wartawan harus diperlakukan sebagai warga sipil selama
dia tidak bertindak sebaliknya, yaitu secara aktif terlibat dalam aksi
pertempuran. Sebagai contoh, setiap orang kehilangan perlindungan sebagai warga
sipil dengan mempersenjatai dirinya. Reporter tanpa batasan menunjukkan
tindakan wartawan yang melakukan dapat menyebabkan hilangnya status sebagai sipil
menurut hokum humaniter internasional. [10]
Perlindungan
sipil diatur dalam sejumlah besar perjanjian hukum internasional.
Menurut Art. 79 Protokol tambahan I, semua tindakan ini berlaku untuk perlindungan wartawan dan personil media juga. Menurut Art. 48 Protokol tambahan I, pihak musuh harus membedakan warga sipil dari anggota unit militer selama konflik tengah berlangsung. Oleh karena itu, penyerangan fasilitas sipil dan / atau warga sipil dilarang menurut hokum humaniter internasional.
Menurut Art. 79 Protokol tambahan I, semua tindakan ini berlaku untuk perlindungan wartawan dan personil media juga. Menurut Art. 48 Protokol tambahan I, pihak musuh harus membedakan warga sipil dari anggota unit militer selama konflik tengah berlangsung. Oleh karena itu, penyerangan fasilitas sipil dan / atau warga sipil dilarang menurut hokum humaniter internasional.
Menurut
Art. 51 Prot. Tambahan I, penduduk sipil harus dilindungi dari segala
efek operasi militer. Ayat 4 meliputi larangan serangan sewenang-wenang yang ditargetkan
kepada masyarakat sipil. Operasi militer harus diarahkan pada kombatan dan
fasilitas militer. Oleh karena itu, prinsip proporsionalitas sudah harus dipertimbangkan dalam
perencanaan operasi militer. Untuk alasan ini, penggunaan bom cluster di daerah penduduk merupakan pelanggaran internasional hukum humaniter. Misalnya selama konflik bersenjata antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006, pasukan militer Israel menggunakan bom cluster dalam wilayah Libanon selatan. Para Wakil Sekretaris-Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan PBB Jan Egeland mengkritik penggunaan bom cluster sebagai perbuatan "tidak bermoral". Langkah-langkah perlindungan ini tidak hanya dianggap di dalam sengketa internasional, tetapi juga dalam konflik bersenjata non-internasional, yaitu antara negara dan aktor non-negara dalam negara. Dalam konflik ini, kedua belah pihak juga harus ketat membedakan antara anggota tempur unit dan warga sipil, dan melindungi kedua dari efek pertempuran. Art. 8 Paragraf 2 (e) (i) Statuta Roma tentang benturan karakter non-internasional dirumuskan juga. Setiap orang yang tidak terlibat dalam aksi pertempuran tidak dapat langsung diserang.
efek operasi militer. Ayat 4 meliputi larangan serangan sewenang-wenang yang ditargetkan
kepada masyarakat sipil. Operasi militer harus diarahkan pada kombatan dan
fasilitas militer. Oleh karena itu, prinsip proporsionalitas sudah harus dipertimbangkan dalam
perencanaan operasi militer. Untuk alasan ini, penggunaan bom cluster di daerah penduduk merupakan pelanggaran internasional hukum humaniter. Misalnya selama konflik bersenjata antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006, pasukan militer Israel menggunakan bom cluster dalam wilayah Libanon selatan. Para Wakil Sekretaris-Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan PBB Jan Egeland mengkritik penggunaan bom cluster sebagai perbuatan "tidak bermoral". Langkah-langkah perlindungan ini tidak hanya dianggap di dalam sengketa internasional, tetapi juga dalam konflik bersenjata non-internasional, yaitu antara negara dan aktor non-negara dalam negara. Dalam konflik ini, kedua belah pihak juga harus ketat membedakan antara anggota tempur unit dan warga sipil, dan melindungi kedua dari efek pertempuran. Art. 8 Paragraf 2 (e) (i) Statuta Roma tentang benturan karakter non-internasional dirumuskan juga. Setiap orang yang tidak terlibat dalam aksi pertempuran tidak dapat langsung diserang.
Jika jurnalis atau personil
media menjadi korban dari serangan sengaja ditargetkan
pada
mereka, ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Menurut Art. 85 Paragraf 5 Protokol tambahan I, seperti pelanggaran hukum kemanusiaan internasional dianggap sebagai kejahatan perang. Statuta Roma dalam Art. 8 Para. 2 (b) (i) menetapkan tanggung jawab di bawah hukum pidana internasional untuk serangan yang menargetkan warga sipil. Kebutuhan militer hanya mungkin menjadi pembenaran untuk tindakan seperti serangan kepada masyarakat sipil yang tidak secara langsung ditargetkan pada warga sipil
tetapi memiliki bantalan pada mereka dalam arti jaminan kerusakan.
Resolusi 1738, yang telah disetujui oleh Dewan Keaman[11]an di 2006, mengacu
pada implementasi praktis dari tindakan perlindungan bagi jurnalis dan
personil media. Menurut resolusi tersebut, negara anggota diwajibkan untuk mempertimbangkan
kemerdekaan profesional dan hak-hak lainnya dari wartawan. Sekarang, setelah beberapa tahun,
aktifitas sehari-hari bagi para jurnalis, dalam arti definisi yang disebutkan di atas,
di daerah konflik bersenjata atau kerusuhan tidak berubah.
mereka, ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Menurut Art. 85 Paragraf 5 Protokol tambahan I, seperti pelanggaran hukum kemanusiaan internasional dianggap sebagai kejahatan perang. Statuta Roma dalam Art. 8 Para. 2 (b) (i) menetapkan tanggung jawab di bawah hukum pidana internasional untuk serangan yang menargetkan warga sipil. Kebutuhan militer hanya mungkin menjadi pembenaran untuk tindakan seperti serangan kepada masyarakat sipil yang tidak secara langsung ditargetkan pada warga sipil
tetapi memiliki bantalan pada mereka dalam arti jaminan kerusakan.
Resolusi 1738, yang telah disetujui oleh Dewan Keaman[11]an di 2006, mengacu
pada implementasi praktis dari tindakan perlindungan bagi jurnalis dan
personil media. Menurut resolusi tersebut, negara anggota diwajibkan untuk mempertimbangkan
kemerdekaan profesional dan hak-hak lainnya dari wartawan. Sekarang, setelah beberapa tahun,
aktifitas sehari-hari bagi para jurnalis, dalam arti definisi yang disebutkan di atas,
di daerah konflik bersenjata atau kerusuhan tidak berubah.
Koresponden Perang
Seorang koresponden perang adalah
jurnalis yang bekerja untuk salah satu pihak yang merugikan atau yang menyertai
sebuah unit militer. Menurut Art. 79
Prot. Tambahan I, wartawan yang ikut
dalam angkatan bersenjata kehilangan
status mereka
sebagai warga
sipil dalam konflik bersenjata dengan
bergabung unit militer. Mereka
ikut ke dalam anggota militer tetapi bukan dari pasukan. Jika "embedded journalist"
terluka atau tewas dalam aksi pertempuran, itu tidak merupakan serangan langsung terhadap penduduk sipil seperti yang akan terjadi dengan ‘journalist independent’. [12] Koresponden perang, jika mereka ditangkap saat menjalankan profesi mereka, memiliki perlindungan tawanan perang menurut Art. 4 Para. 4 Konvensi Jenewa III. Menurut artikel 13 Konvensi Jenewa III tawanan perang tidak boleh mengalami pembalasan. Mereka harus diperlakukan sedemikian rupa bahwa kehidupan mereka dan kesehatan tidak terancam setiap waktu. Koresponden perang dapat ditahan, yaitu kebebasan bergerak mereka mungkin dibatasi.
ikut ke dalam anggota militer tetapi bukan dari pasukan. Jika "embedded journalist"
terluka atau tewas dalam aksi pertempuran, itu tidak merupakan serangan langsung terhadap penduduk sipil seperti yang akan terjadi dengan ‘journalist independent’. [12] Koresponden perang, jika mereka ditangkap saat menjalankan profesi mereka, memiliki perlindungan tawanan perang menurut Art. 4 Para. 4 Konvensi Jenewa III. Menurut artikel 13 Konvensi Jenewa III tawanan perang tidak boleh mengalami pembalasan. Mereka harus diperlakukan sedemikian rupa bahwa kehidupan mereka dan kesehatan tidak terancam setiap waktu. Koresponden perang dapat ditahan, yaitu kebebasan bergerak mereka mungkin dibatasi.
Jaminan hak-hak tawanan perang sebagai akibat
dari konflik bersenjata internasional
termasuk penyediaan makanan yang cukup, pakaian dan komoditas sehari-hari lainnya. Selanjutnya, mereka harus diberikan perhatian medis, terutama jika orang tersebut merupakan
tawanan terluka atau menderita sakit. Menurut Art. 3 Konvensi Jenewa III tawanan tidak memiliki hak yang sama dari tawanan perang dalam kasus konflik non-internasional, tetapi ia harus dijamin minimal hak. Oleh karena itu, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan memalukan, dan eksekusi tanpa keputusan sebelumnya oleh pengadilan yang bebas, sangat dilarang. bantuan medis harus diberikan kepada orang-orang yang terluka.[13]
termasuk penyediaan makanan yang cukup, pakaian dan komoditas sehari-hari lainnya. Selanjutnya, mereka harus diberikan perhatian medis, terutama jika orang tersebut merupakan
tawanan terluka atau menderita sakit. Menurut Art. 3 Konvensi Jenewa III tawanan tidak memiliki hak yang sama dari tawanan perang dalam kasus konflik non-internasional, tetapi ia harus dijamin minimal hak. Oleh karena itu, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan memalukan, dan eksekusi tanpa keputusan sebelumnya oleh pengadilan yang bebas, sangat dilarang. bantuan medis harus diberikan kepada orang-orang yang terluka.[13]
End of Impunity
Kejahatan perang adalah suatu tindakan
pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional terhadap hukum perang oleh satu
atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini
disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik
antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik
internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap
perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup
kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti
menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya,
menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak
lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau
penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal
dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun
dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas
dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiian.
Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam
hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini
dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg.
Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas
Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda,
yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal
VII Piagam PBB.
Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional,
yang berbasis di Den Haag, Belanda,
dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau setelah
tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Tiongkok dan Israel,
menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak
warga negara mereka.
Beberapa mantan kepala negara dan kepala
pemerintahan yang telah diadili karena kejahatan perang antara lain
adalah Karl Dönitz dariJerman,
mantan Perdana Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan
mantan Presiden Liberia Charles Taylor.
Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan
mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milošević juga diadili
karena kejahatan perang.
Keadilan
perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena
beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan
perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan
Amerika Serikat padaPerang Dunia I dan Perang Dunia II;
penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada
Perang Dunia II; serta pendudukan Timor Timur oleh Indonesia antara
tahun 1976 dan 1999.
BAB
III
Kesimpulan
Korban
Jurnalis yang terbunuh atau terluka dalam konflik bersenjata semakin tahunnya meningkat.
Mereka tidak hanya dalam risiko selama aksi pertempuran tetapi juga karena
pelaporan tentang latar belakang cerita yaitu korupsi. Profesi wartawan harus
dibagi antara koresponden perang dan "Jurnalis Independen". Hukum
humaniter internasional mengatur dalam dalam Art. 79 Prot. Tambahan I untuk
kedua perlindungan sebagai warga sipil dalam konflik bersenjata. Mereka tidak
dapat ditargetkan secara langsung dan tidak dapat digunakan sebagai perisai.
Pasukan militer harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi
warga sipil di daerah konflik melawan efek dari operasi militer. Namun, wartawan
yang berpatisipasi dalam serta setiap kegiatan militer kehilangan status
kekebalan sebagaimana rakyat sipil yang dlindungi oleh hokum humaniter
internasional. Misalnya, dengan melengkapi
diri dengan alat-alat bersenjata atau
menjadi mata-mata bagi pihak yang merugikan.
Menurut
Art. 79 Prot. Tambahan I perlindungan untuk koresponden perang berbeda dari diberikan
status "jurnalis independen". Dalam kasus penangkapan, koresponden
perang memiliki Hak yang harus diperlakukan sebagai tawanan perang, menurut
Art. 4 Para. 4 Konvensi Jenewa III. Ini termasuk akses ke perawatan medis untuk
luka serta penyediaan dengan makanan yang cukup dan sehari-hari komoditas
lainnya. Orang-orang tawanan tidak boleh disiksa atau dieksekusi tanpa
pengadilan sebelum pengadilan yang independen. Peralatan media tidak fasilitas
militer, bahkan jika mereka digunakan untuk propaganda atau untuk menghasut
penduduk untuk melakukan kekejaman terhadap kelompok ras atau agama atau
minoritas lainnya. Menurut Art. 52 Prot. Tambahan I, mereka harus dilihat
sebagai objek sipil. Misalnya, sebuah stasiun radio tidak dapat ditargetkan
secara langsung dan harus dilindungi terhadap setiap efek operasi militer. Saat
ini, kategori perlindungan baru dalam hukum kemanusiaan internasional harus
dibahas. Keamanan kelompok yang ada orang yang dilindungi, misalnya anggota pelayanan
medis, adalah penting dan tidak boleh melemah. Namun, ini tidak dapat digunakan
sebagai untuk tidak melindungi jurnalis sebaik mungkin. Bagian utama dari karya
jurnalis dalam konflik bersenjata adalah pengamatan tindakan tempur serta
melaporkan dari latar belakang konflik. Ini laporan yang diperlukan untuk
mencegah kekejaman atau setidaknya untuk membawa pelaku sebelum sidang.
Kategori baru orang yang dilindungi dalam konflik bersenjata harus mencakup tanda
untuk membuat mereka dikenali sebagai wartawan. Banyak serangan terhadap
jurnalis tidak pernah diteliti karena kesalahan dikelola oleh pengakuan.
Wartawan akan selalu ditargetkan tetapi masyarakat internasional secara
keseluruhan harus melakukan yang terbaik untuk mencegah tindakan tersebut.
Serangan terhadap wartawan merupakan ancaman bagi perdamaian dan kesejahteraan
semua negara di dunia. Pekerjaan mereka adalah cara yang diperlukan untuk
sistem demokrasi.
[1]
Agung Setyo Wibowo et.al, Para
Pembunuh Tuhan, Kanisius,
[2]
Lihat lebih lanjut klausul Briang-Kellog Pact di http://www.yale.edu/lawweb/avalon/imt/kbpact.htm
[3] Pictet, Jean (1975). Humanitarian law and the protection of
war victims. Leyden: Sijthoff. ISBN 90-286-0305-0. hal. 16-17
[5]
Lihat the Geneva Conventions of 12 August 1949 published by International
Committee Red Cross
[6]
Hilde Farthofer, Mag. Paper presented at the SGIR 7th Pan-European
International Relations Conference, Stockholm, 9-11 September 2010 hal 1 for
further information, see http://cpj.org CPJ is an
abbreviation for Commission Protection Journalist.
[7]
Lihat http://www.cpj.org/
[8]
Alexander Balguy-Ballois, “The Protection of Journalists and Personnil News
Media in Armed Conflict”, International Review of the Red Cross, Vol. 86, No. 853,
March 2004
[9] Reporters Without Border, Handbook for Journalists, Chapter
10, hal. 94
[10]
For this and other advice regarding
the actions of journalists in armed conflicts, cf.: Reporters Without
Borders, Handbook
for Journalists, Chapter 9, Principle 8
[11] S/RES/1738 (2006)
[12] Jugacf. Verschingel (2008), hal. 452 et seq
[13]
Ibid. Geneva Convention of 1949