Per 1 April 2012, wacana kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi masih menuai badai. Sejumlah parade aksi dipenjuru negeri mengisyaratkan satu bentuk perlawanan masyarakat negeri ini terhadap pemerintah. Efeknya, ribuan massa dari penjuru nusantara berkumpul di Jakarta untuk menyatukan visi, tangguhkan kenaikan harga BBM bersubsidi dan tutnaskan Rezim. Momentum ini tentu menjadi krusial ketika tensi politik dalam negeri masih mengalami pergolakan.
Aksi demonstran meluas. Aceh hingga Merauke merapatkan barisan. Dalam membungkan rezim, membangun kebebasan. Korban bergelimpangan. Puluhan demonstran ditangkap di Jakarta dan ditetapkan sebagai tersangka atas aksi anarkis yang dilakukan. Mahasiswa di Makassar menjadi sasaran amuk warga. Namun, bukan perjuangan bila nir-pengorbanan.
Benang merah yang diusut dalam isu kenaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintah seolah hanya menjadi retorik semu belaka--Sindikasi APBN Indonesia jebol. Ada pula yang menyatakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi dikarenakan impact of the global capacity, dimana harga minyak dunia meningkat. Isu kenaikan harga BBM bersubdisi bahkan meluas sampai ke bisnis gelap. Banyak warga berlaku curang dengan menimbun BBM. SPBU rata-rata tutup lebih awal. Sejumlah harga Sembako di Pasaran bahkan tumbuh sebelum waktunya. H-5 wacana kenaikan BBM isu kenaikan harga BBM bak selongsong peluru yang bersarang di dalam dada. Mengena ke pusatnya. Berimplikasi secara sistemik hampir keseluruh bidang kehidupan. Padahal, wacana kenaikan harga BBM bersubsidi tinggal menghitung hari.
Masyarakat tentu ketar-ketir dengan isu wacana yang digulirkan oleh pemerintah. Tak sedikit dari mereka mencoba membaur dengan demonstran sebagai bagian dari gerakan peduli rakyat untuk mengentaskan hak mereka hidup di negara ini dengan jaminan yang layak. Jaminan sosial kehidupan yang layak di Indonesia berada pada titik nadir pada era SBY-Boediono. Makin membentangnya segregasi jarak antara orang miskin dan orang kaya mengindkasikan ketidak berhasilan pemerintah dalam mengentaskan persoalan sosial kemasyarakatan. Kendalanya terletak pada, ketahanan ekonomi dalam negeri yang hanya berporos pada ekonomi makro. UMKM (Ekonomi Mikro) yang banyak diberdayakan oleh masyarakat menengah ke bawah justru terancam gulung tikar sebagai efek domino dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebagai pelengkap validitas argumentasi, jumlah penduduk menengah ke bawah di Indonesia meningkat 30% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan, setiap tahunnya tercatat penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 1 Juta orang.
Ekonom berpendapat, tangguhkan kenaikan harga BBM bersubsidi sampai harga minyak mentah dunia kembali normal. Tentu ini bukanlah solusi yang harus ditawarkan. Bak orang sakit, kondisi Indonesia ini hanya diberikan pil penahan rasa sakit. Bukanlah sebuah terapi penyembuhan secara holistik ke seluruh tubuh. Namun, hal tersebut dapat diantisipasi dengan perubahan pola kebijakan di Indonesia saat ini yang terlalu monopolistis oleh kepentingan korporasi-sentris ketimban kerakyatan. Sebenarnya, isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini dapat diredam dengan sedikit welas asih pemerintah untuk meningkatkan UMR bagi karyawan/buruh. Persoalan memang terletak pada kebijakan. Arif bila pemerintah lebih mementingkan kepentingan domestik ketimbang posisi dalam politik internasional. Sistem ekonomi Neo-Lib yang dirangkai pemerintah berimplikasi negatif terhadap perkembangan pasar modal. Rakyat kalangan menengah ke bawah justru dilematis dengan arus perdagangan global yang mudah merasuki pikiran mereka. Pola kehidupan masyarakat menjadi cenderung konsumtif. Penyebabnya, produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk asing yang jauh lebih murah namun rendah kualitas. Semua terjadi karena, makin tingginya biaya hidup di Bumi Pertiwi diimbangi dengan isu kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Jelas bila, kita mengatakan bahwa isu kenaikan BBM bersubsidi bakal berdampak sistemik dalam mencekik rakyat. Rakyat dijadikan komoditas dalam pengorbanan persaingan global yang dipertaruhkan pemerintah. Menjadi pertanyaan, pemerintah macam apa yang mengorbankan rakyatnya menjadi tikus percobaan? Jawabannya hanya satu, Revolusi!