Perbedaan Mendasar Jaminan HAM dalam Konstitusi RIS dan
UUD 1945 (Pasca-Amandemen)
- Pembahasan
J
|
auh sebelum
berdirinya apa yang dinamakan sebuah Negara, dasar pemikiran yang dirumuskan
dalam bentuk naskah otentik merestrukturisasi jalan terbentuknya sebuah Negara.
Hal tersebut, menjadi pedoman (way of
life) bagi komunitas masyarakat yang membentuk consensus sosial untuk
mendirikan sebuah Negara. Perumusan dasar tersebut merangsang pola-pola
kehidupan bernegara yang terjalin secara harmonis menuju era kebangkitan sebuah
komunitas masyarakat yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan,
Teori-teori klasik pembentukan Negara yang dimulai dari beberapa fase [1],
seperti fase persekutuan komunitas (Primus
Interpares), fase kerajaan, fase negara (Staat), dan fase demokrasi ini merupakan proses yang dihasilkan
dari ikhtisar/rangkuman pembentukan Negara yang dibentuk melalui landasan
konstitusi.
Kata konstitusi mulai dikenal seiring dengan makin berkembangnya ilmu
pengetahuan sosial dan hukum di Eropa. Sejumlah Negara Eropa sendiri—Negara
yang menganut sistem Hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental—membedakan
penafsiran dari segi fonetis antara konstitusi dan UUD. Dikotomi tersebut
menuai penafsiran secara unifikatif dan disebutkan secara beriringan. Miriam
Boediarjo, dalam bukunya menyebutkan bahwa terjemahan konstitusi dan UUD ini
merupakan kebiasaan ilmuwan hukum Jerman dan Belanda. [2]
Kedua ilmuwan hukum beda Negara tersebut biasa menyebutkan dua
kata—konstitusi dan UUD— yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari yang
memakai kata Grond (=dasar) dan Wet (=Undang-undang), serta Grund
(=dasar) dan Gesetz (=Undang-undang). [3]
Akan tetapi perlu dicatat dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J Van
Apeldoorn) diadakan perbedaan antara pengertian UUD dan Konstitusi. UUD diartikan
sebagai rumusan dalam bentuk terulis sedangkan konstitusi tidak tertulis.
Mengingat, pentingnya sebuah konstitusi yang dipedomani sebagai
dasar-dasar kehidupan bernegara. Maka, tugas konstitusi untuk meyelaraskan
rumusan-rumusan kenegaraan agar tercipta harmonisasi kehidupan bernegara.
Dalam amandemen terakhir
UUD 1945, disebutkan dalam secara khusus dalam Bab XA mengenai Hak Asasi
Manusia yang terdiri dari satu pasal dan beberapa paragraph tambahan. Dalam Pasal
28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”, pasal ini mengisyaratkan adanya satu bentuk pengakuan hak asasi
yang paling asasi dan tidak boleh direstriksi. Serupa dengan konsep
non-derogablenya DUHAM (deklarasi universal hak asasi manusia), dalam Pasal 3
DUHAM “Setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu”. Memang, politk hukum
perumus konstitusi negeri ini pasca transisi banyak dipengaruhi dari deklarasi
universal hak asasi manusia (DUHAM).
Dalam konstitusi RIS, pada Bagian 5 mengenai Hak dan
Kebebasan Dasar Manusia. Dalam bagian ini terdapat banyak pasal yang mengatur
mengenai hak-hak dan kebebasan manusia dalam mempertahankan kedaulatan dirinya
dan melepaskan penjara pasca-kolonial yang terbukti merangkum banyak hal. Terhitung
dari pasal 8 hingga pasal 33 Konstitusi RIS mengatur persoalan-persoalan pokok
mengenai Hak asasi manusia.
Bandingkan dengan UUD 1945 yang hanya memiliki satu
pasal (Pasal 28) yang terdiri dari 10 ayat dan belasan butir. Sementara itu,
jangkauan Konstitusi RIS dalam rumusannya mengindikasikan bentuk penghargaan
hak asasi hingga pelosok negeri. Hal ini dibuktikan dengan rumusan Pasal 9 ayat
(1) yang berbunyi “setiap orang berhak dan bebas tinggal di perbatasan Negara”.
Sementara itu, perbedaan mendasar dan kuat yang membedakan antara Konstitusi
RIS dan UUD 1945 adalah jaminan konsitusi terhadap warganya dan jaminan warga
terhadap konsitusi yang begitu kuat. Dalam pasal-pasal urgensi mengenai Hak
asasi manusia lewat konstitusi RIS tidak hanya keberpihakan konstitusi terhadap
rakyat yang menjamin hak asasi masyarakatnya. Akan tetapi, jaminan warganya
terhadap konstitusi yang begitu kuat. Terbukti dengan bukti-bukti tekstual yang
tersurat dalam beberapa pasal dalam Konstitusi RIS.
Dalam Pasal 10,11,12 dst pada awal kalimat pembuka
banyak disebutkan dengan “Tiada seorang
djuapun” pada bunyi-bunyi pasal dalam konstitusi RIS. Terlihat, fungsi kuat
sebuah naskah hukum dapat dipahami dengan sebuah
ancaman/imperatifitas/represifitas terhadap warga bahwa setiap warga masyarakat
tidak dapat dengan alasan apapun mereduksi hak-hak dasar yang dimiliki
sesamanya. Bandingkan dengan UUD 1945 pasca amandemen, setiap awal kalimat
pasal hanya berbunyi “Setiap orang”,
yang mana dalam pemahaman tekstual hukum setiap orang hanya memiliki hak karena
pasca frasa pertama ‘setiap orang”
akan diikuti kata “berhak” yang
menunjukan pendakuan yan terlalu subyektif.