Pengaruh Konstruksi Sosial dalam Proses Penegakan Hukum
Oleh : Rendi Hariwijaya (Mahasiswa FH Unsri 2010)
H.L.A
Hart dalam bukunya Law, Liberty and Morality
mengajukan satu pertanyaan penting bagi kalangan intelektual hukum di dunia.
Yakni, apakah hukum itu dipengaruhi oleh moralitas ? Apakah entitas hukum itu menjadi tak
terpisahkan dari pengaruh interaksi sosial penegak hukum dalam memutus satu
perkara ? Apakah secara afirmasi dapat pula diajukan pertanyaaan, apakah
moralitas secara implikatif berpengaruh terhadap paradigma hukum ?
Pertanyaan-pertanyaan
demikian tentulah tak dapat dijawab secara simplikatif, mengingat kompleksnya
konvegensi antara hukum dan moral yang menjadi perdebatan sengit diantara kaum
intelektual hukum di dunia. Namun, dalam konteks sosial masyarakat Indonesia
secara umum, putusan hakim sangar erat dipengaruhi oleh entitas moral yang
melekat dan terinternalisasi dalam pola pemikiran penegak hukum. Karena,
konstruksi sosial masyarakat dimana Ia dibesarkan memberikan pengaruh yang luar
biasa dalam menjawab setiap persoalan kritis yang menyangkut tentang legitimasi
hukum sebagai panglima di muka bumi.
Sudah menjadi
hal yang lazim di dalam kalangan akademis, bahwa hukum itu tak selalu
berbanding lurus dengan realitas di masyarakat –Das Sein dan Das Sollen.
Cita hukum untuk menuntun masyarakat dalam kotak simetris berupa aturan tak
selalu mulus dengan pola penegakan hukum di masyarakat. Secara sosiologis, ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya paradoks hukum. Diantaranya,
berasal dari penegak hukum itu sendiri, dapat pula karena faktor undang-undang,
dan terakhir dapat terjadi karena kultur masyarakat.
Ketiganya secara
implisit memiliki paralelitas dalam mengusung proses penegakan hukum yang
manusiawi. Aparat penegak hukum bahkan dapat disebut sebagai simbol kekokohan fiat justitia ruat coeloum. Fungsinya
sebagai corong undang-undang (bila menerapkan aliran penerapan hukum legisme)
ataupun sebagai konstruktor hukum (bila menerapkan aliran penerapan hukum freirechtslehre) menjadi penting
mengingat pola transisi tekstual ke kontekstual dipertaruhkan.
Hukum dapat saja
menjadi sangat konservatif dari alienasi hukum berupa intrik-intrik sosial
bilamana sang algojo lihai dalam memainkan peran dengan menyelimuti diri dengan
filosofi Dewi Themis. Bukan malah membelalakkan mata dalam mengusung peran
sebagai pengadil. Mendalam soal faktor penghambat penerapan hukum berupa aparat
penegak hukum itu sendiri, pengaruh konstruksi sosial tempat dimana sang
pengadil menempa diri menjadi kunci pertama.
Konstruksi
sosial memicu adanya satu resonansi otak dan frekuensi pendengaran yang
kemudian diformulasikan dalam proses pengolahan data di wilayah logika yang
nantinya menjadi faktor penegakan hukum. Menjadi penting, seberapa baik
konstruksi sosial tersebut yang berupa institusi, agama, Negara dan budaya
dalam membentuk karakter dan budaya hukum yang aspiratif, memenuhi rasa
keadilan masyarakat secara holistis dan memangkas kultur dan perilaku koruptif
yang dapat mengkorupsi moral public dalam balutan konspirasi hukum yang terus
dibudidaya sejumlah pakar hukum di Indonesia.
Menjadi
pertanyaan, apakah konstruksi sosial di masyarakat secara absolute dapat
diafirmasi sebagai metode yang baik dalam memengaruhi pergaulan hukum di
Indonesia?. Lantas, bagaimana dengan budaya ewuh
pakewuh Jawa yang secara spiritual menyatu dalam pola tingkah laku
masyarakatnya. Yang kemudian dikonversikan dalam bahasan formal berupa proses
penegakan hukum? Bahkan, sejumlah pakar sebut saja Abraham Amos menyangsikan
pengaruh budaya dan konstruksi sosial dalam proses penegakan hukum. Hukum punya
cara sendiri dalam memutus perkara di masyarakat.Tak peduli apakah hal tersebut
membelakangi moralitas yang berlaku di masyarakat sebagai residu dari
konstruksi sosial. Ketika hukum erat dikaitkan dengan persoalan moralitas maka
hukum akan menjadi bias ideologis.