Semenjak
perubahan/amademen Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD)1945 ketiga
digulirkan, terdapat perubahan secara fundamental terhadap sistem politik di
Indonesia. mengawali epik demokrasi secara sentralistis dibawah rezi orde baru,
amandemen UUD 1945 hingga yang ke-empat pada 9 November 2002 mengawali kiprah
baru bangsa Indonesia dalam mengawal konstitusi dan hukum sebagai payung
berkehidupan bangsa dan bernegara. Esensi dari sebuah epik demokrasi tersebut
melandasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
merupakan Negara Hukum” hal ini melimitasi setiap abuse of power pemerintah
untuk melakukan apa yang disebut dengan excess
du povoir(Pelampauan Wewenang) dan detournement
du povoir(penyalah gunaan wewenang). Ekses-ekses wewenang dapat direduksi
seiring dengan dikonstruksinya bangunan kokoh dalam bingkai kerangka Negara hukum.
Perubahan-perubahan
secara radikal tersebut mengerucut terhadap sistem pembagian kekuasaan di
Indonesia. Merujuk pada teori Montesquie yang diilhami dari John Locke yang dalam
bukunya l’espirit des lois membagi
kekuasaan dalam tiga sub-kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif yang
secara subsumtif diterapkan di Indonesia. Pembagian kekuasaan tersebut mengacu
pada teori separation of Power dan distribution of power. Sejalan dengan
pendapat kedua ahli hukum ternama tersebut, Lord Acton memberikan pemaparan
yang sempurna menyoal kekuasaan yakni “Power
tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely” terjemahan bebasnya : “kekuasaan itu cenderung
korupsi, dan kekuasaan yang absolut(mutlak) itu pasti korupsi. Berangkat dari
pemikiran Lord Acton itulah, untuk melimitasi kekuasaan yang tendensi terhadap
suatu lembaga sebagai prefrensi kemajuan Demokrasi di negeri tercinta maka
pemisahan dan penegasan pembagian kekuasaan perlu dilakukan.
Hal
inilah yang melandasi tulisan diatas sebagai sebuah preseden normatif bagi
kelangsungan epic demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga
yang berdiri berdasarkan hasil amandemen ketiga UUD 1945 secara tegas didalam Pasal
10 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 7 dan 24 C UUD
1945 secara jelas wewenang MK diberikan oleh UUD berupa, berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa yang bersifat final terhadap
pengujian UU terhadap UUD (Judicial
review), memutus sengketa kelembagaan Negara, membubarkan partai politik,
dan memberikan saran kepada DPR terhadap proses pemakzulan (Impeachment) Presiden.
Berangkat
dari pemikiran-pemikiran hukum itulah yang kemudian merefleksi terhadap tindak
tanduk MK sebagai pengawal konstitusi di negeri ini. MK ditenggarai bukanlah
badan supra-politik yang mampu menjangkau eksesif wewenang yang disandangkan
pada MK. Wewenang MK dalam menguji UU terhadap UUD tidak dimaksudkan bahwa MK
dapat membentuk norma positif baru yang mengikat. karena itu sudah menjadi
tugas DPR sebagai Positive Legislation
sebagaimana Pasal 20 butir (a) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini sejalan dengan nomenklatur
DPR itu sendiri sebagai sebuah lembaga legislatif. Terkait dengan MK yang kerap
melakukan penambahan norma baru terhadap undang-undang yang diujikan ke MK hal
ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana MK dapat konsisten dengan amanat
konstitusi sementara MK kerap dipayungi dengan gelar pengawal konstitusi. Todung
Mulya Lubis mengatakan bahwa pintu masuk MK dalam mengadakan sebuah norma baru
terhadap norma yang belum ada dibentuk oleh Legsilatif adalah melalui keputusan
konstitusional bersyarat (Conditionally
Constitutional).
Penyisipan
norma baru dalam UU Pemilu membuat noktah baru dalam lembaran hukum di
Indonesia. MK yang sejatinya dalam UU diamanatkan untuk memegang kekuasaan
menguji UU terhadap UUD bukanlah sebuah lembaga Positive Legislator dalam membentuk norma baru. Uji materi yang
dilakukan anggota DPD terhadap UU Pemilu tentu memicu perdebatan mengenai legal
standing pemohon dan posita-nya mengenai pengujian UU Pemilu. Perlu dipahami
bilamana DPD ingin melakukan pengujian UU dengan berniat untuk melakukan
penambaha norma baru, maka secara teoritis jalan yang dapat ditempuh adalah
dengan melakukan legislative review
bukan dengan melakukan Judicial Review.