Jadwal Pemilihan Umum
Mahasiswa yang tertera dalam agenda KPU tanggal 21 Desember 2010 telah banyak
menuai protes dari berbagai kalangan mahasiswa. Ada yang menyangsikan bahwa,
pencatutan penanggalan hari dimana pemungutan suara dilaksanakan adalah sebuah
kesalahan fatal Pemilu Mahasiswa tahun ini.
Inikah
awal mula dari bobroknya kausalitas substansi dan implementasi konsep demokrasi
tataran kampus kebanggaan kita, Universitas Sriwijaya !
Anggota
KPU (Komisi Pemilihan umum) yang beranggotakan sejumlah mahasiswa yang berasal
dari berbagai elemen kampus ini adalah pion-pion yang mengurusi tetek bengek
kebutuhan pemilihan mahasiswa . Mulai dari, sosialisasi melalui
pamflet-pamflet, spanduk, baliho, penyusunan DPT (Daftar Pemilih Tetap),
mengatur semua proses kampanye baik itu dialogis dan monologis serta pendistribusian
surat suara ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) menjadi responsibillity KPU
sebagai penyelenggara pemilihan umum.
Layaknya
hidup disebuah negara, setiap rakyatnya berhak menyalurkan aspirasi dan hak
politik mereka untuk ikut serta dan diakui eksistensinya sebagai sebuah
komunitas masyarakat demokratis. Namun, apabila hal tersebut dilimpahkan dengan
segala ketentuan dan proses yang nyaris sama dengan regulasi the real KPU
(KPU Pemilu Indonesia) kedalam konteks mahasiswa, sulit untuk diterka sejauh
mana komunitas masyarakat demokratis itu bisa menggerakkan goyangannya.
Penetapan DPT yang super ambruk, ditambah lagi dengan regulasi yang duper
bobrok semakin memperparah kondisi implementatif konsep demokrasi ke kampus.
Akarnya
bermuara pada penetapan tanggal pencontrengan yang ditetapkan diluar kalender
proses akademik Universitas Sriwijaya berlangsung. Berdasarkan lansiran
kalender akademik Universitas Sriwijaya http://www.unsri.ac.id/ tahun akademik 2010/2011
ditetapkan bahwa proses akademik di Universitas Sriwijaya semester ganjil
berakhir pada tanggal 20 Desember. Dari ketentuan yang telah berlaku jauh-jauh
hari sebelum KPU mengadakan rapat paripurna untuk menetapkan penetapan tanggal
pencontrengan, tak ada alasan bagi KPU untuk tidak mengetahui jikalau tanggal
pencontrengan terhalang proses akademik.
Entah,
siapa yang mesti mempertanggung jawabkan hasil dari ketidak valid-an penetapan
tanggal pencontrengan ini. Yang jelas, ada aktor intelektual yang berkutat
dibalik retorika diplomatis yang normatif dibelakang semua regulasi berlabel
konstitusi itu.
Lantas,
kenapa KPU tidak serta merta mendengarkan konsensus dan lontaran suara
mahasiswa non-politisi kampus yang menjadi objek lumbung suara bagi elit kampus
tersebut. KPU seakan bergumam dalam hati, berdiam diri tanpa ada klarifikasi
dan verifikasi. Keluhan demi keluhan baik dilontarkan secara verbal didepan KPU
maupun non verbal melalui media social network seolah tak digubris oleh
KPU. Yang ada adalah statement menyesakkan dada bahwa keputusan KPU
tidak boleh ditangguhkan. Kekolotan KPU jelas terlihat dari klarifikasi yang
penulis petik dari salah satu komentar anggotanya di salah satu social
network. Seharusnya sebagai lembaga publik yang berdiri diatas kepentingan
khalayak tak semestinya KPU melangkah dengan bongkahan pijakan kaki yang begitu
dalam. Keraguan akan kompetensi mereka dalam mengisi jabatan publik konteks
mahasiswa terbersit pasca mendapati penetapan tanggal pencontrengan. Inilah
lemahnya sistem ke-mahasiswaan Universitas Sriwijaya. Dua lembaga kemahasiswaan
tertinggi di kampus, Badan Eksekutif dan Dewan Legislatif dinilai terlalu lebay
dalam mengusung otoritasnya. Siapa sangka jikalau, ketua KPU dipilih oleh
Presiden Mahasiswa yang lama. Siapa bisa mengira jikalau ini adalah konspirasi
politik dari sistem formil yang ada di kampus kuning kebanggaan kita ini.
Pada
akhirnya inilah, muqaddimah runtuhnya konsep demokrasi Universitas Sriwijaya
yang dibawa pahlawan-pahlawan reformasi temporer kepada seluruh mahasiswa di
seluruh Indonesia.
Dalam
pesta demokrasi Unsri untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa
periode 2011/2012 menghadirkan dua bakal calon yang akan saling bersiteru
memperebutkan tahta nomor satu ala mahasiswa. Dihadirkannya, EMAS motto yang
diusung calon Aziz(FKIP)-Agung(FISIP) dan BISA motto yang diusung
Dedi(FT)-Safriadi(FKIP) diharapkan mampu membawa atmosfer persaingan yang cukup
kompetitif dengan tetap mengindahkan kaedah (rule of law) yang telah
ditentukan.
Rangkaian
proses pemublikasian kedua bakal calon ini dikonversikan kedalam sebuah
dialogis dan monologis terbuka kepada mahasiswa. Tak pelak, ekspektasi dari
rangkaian ini menyeruak begitu tinggi (high expectation) sehingga
memunculkan idiom baru bahwa mereka akan mentransformasi semua kebutuhan
mahasiswa adalah hal yang paling utama.
Namun,
rangkaian proses kampanye calon presiden mahasiswa dan wakil presiden mahasiswa
tersebut tidak dimanifestasikan kedalam praktik politik yang inovatif.
Mekanisme praktik politik usang kembali diperagakan kedua calon. Bualan demi
bualan yang dilontarkan dua calon ini dalam sebuah dialog dan monolog seolah
telah terhipnotis daya magis birokrat dalam pemilihan umum yang sesungguhnya
(Pemilu Indonesia). Umbar janji, tak dipungkiri lagi menjadi hal yang lumrah
dalam setiap pemetaan konsep demokrasi yang ada. Padahal, inilah tempat kita
(Mahsiswa, red) untuk belajar konsep pemilihan demokratis yang
sesungguhnya. Proses berdemokrasi yang benar-benar diisi jiwa-jiwa negarawan.
Bukan dengan mengukuhkan diri dan mengusung bualan janji yang over limit
itu seperti halnya politikus. Di kampuslah awal mula sistem demokrasi yang
lebih persuasif itu bisa di pelajari. Jikalau konteksnya demikian,
jebolan-jebolan birokrat kampus ini akan terus meregenerasi dan mewariskan
sistem yang impotence yang saat ini diaplikasikan di Indonesia. Bukan
tidak mungkin, calon-calon koruptor negeri ini juga akan dihasilkan dari sebuah
sistem yang berada dalam satu garis yang hierarkis tersebut.
Petikan
kalimat “mewujudkan tataran kampus yang baik” dan sebagainya adalah
penggalan janji-janji calon birokrat kampus ini dengan logat gramatikal yang
cukup doplomatis, memancarkan sorotan mata tajam bak memang betul-betul hidup
untuk mendedikasikan dirinya demi kepentingan mahasiswa (Alturisme)
adalah benang merah kekusutan konsep demokrasi ala kampus ini.
Padahal,
ada cara lain yang lebih ‘elegan’ untuk menakarkan eksistensi masing-masing
calon. Bukan dengan cara mencle-mencle umbar janji tersebut. Mahasiswa
Unsri sudah semakin cerdas dan kritis untuk memfiltrasi semua bualan demi
bualan yang dilontarkan masing-masing calon. Adagium talk less do more
seharusnya menjadi nota kesepahaman (MoU) yang sah agar setiap progres yang
diluncurkan oleh Presiden mahasiswa terpilih bukan sekadar omong kosong. Memang
benar-benar terbukti validitasnya. Ada cara yang lebih inovatif untuk menggeser
paradigma kampanye pemilu dari stereotype umbar janji, goresan prestasi konkret
calon presiden mahasiswa boleh jadi menjadi produk penjualan kompetensi
dirinya. Karena, manifestasi pemilu adalah pencarian pemimpin yang tolok
ukurnya adalah kompetensi. Sudah selayaknya, parameter konstruksi kompetensi
bukan diukur dari subtansi retorika tapi prestasi semiotika.
Kegamangan penyelenggaraan Pemilu mahasiswa kita tampak jelas dari grassroot-nya.
Dalam pencalonan presiden dan wakil presiden mahasiswa tidak ada rangkaian fit
and proper test masing-masing bakal calon. Dari awal, semenjak program
selektifitasnya saja sudah sulit untuk dikatakan pemilu mahasiswa tahun ini
bakalan berkualitas. Selain itu, tingkat partisipasi aktif mahasiswa untuk
sadar pemilu pun masih jauh dari ekspektasi yang didengungkan. Indikatornya
klasik, “apa yang bisa mereka (presma terpilih) lakukan buat mahasiswa ?
Implikasinya, pemilu mahasiswa periode 2011-2012 tak menunjukkan greget aroma
dan kualitas berpolitik-nya. Calon nomor urut 1 ‘didepak’ dari persaingan
politik kampus. Kronologisnya, Capresma dan Wapresma atas nama Aziz-Agung ini
telah melakukan pelanggaran dengan tidak mengikut sertakan dirinya dalam
rangkaian kampanye yang telah direncanakan. Sehari menjelang proses pemungutan
suara tepatnya tanggal 20 Desember 2010 untuk mendeterminasikan siapa pemenang
pemilu mahasiswa itu tersiar kabar menghebohkan yang datang silih berganti
melalui pemublikasikan lewat pesan singkat (Short Message Service-SMS)
maupun pemberitahuan (notice) lewat Social Network. Surat
keputusan (SK) Nomor : 013/B/SK/KPU/XI/2010 sontak begitu heboh dalam sebuah
situs jejaring. Pesan yang dikirimkan oleh beberapa rekanan mahasiswa itu
datang dan silih berganti masuk dalam akun jejaring sosial yang digunakan
penulis. Disana tertera, butir-butir pelanggaran yang dilakukan calon urut
nomor satu atas nama Aziz-Agung.
Penetapan
tanggal pemungutan suara pada 21 Desember 2010 yang kontroversial itu pun urung
digelar. Tak ada kepastian yang jelas, KPU membatalkan pemilu mahasiswa hanya
berinteraksi melalui dunia maya. Sampai saat ini belum ada upaya konkret dari
KPU untuk memverifikasi keputusan ‘dunia maya’ tersebut dan dikonversikan ke
dunia nyata. Bahkan, hari dimana seharusnya pemungutan suara itu dilakukan. Istana
mahasiswa (Sekretariat BEMU) pun seolah bungkam. Entah, kemana informasi
kepastian dan kejelasan pembatalan pemilu mahasiswa ini bisa didapat.
Dapat
disimpulkan, aktifitas politis mahasiswa lingkungan Unsri hanyalah sebuah omong
kosong belaka. Bukan pesimistis cuma agak sedikit miris. Proses pendemokrasian
melalu media per-politikan bukan lagi memunculkan aksi kesatuan mahasiswa, tapi
malah menjurus perpecahan