Terang saja, prestasi
spektakuler menjadi negara pertama yang mencicipi aroma kompetisi sekaliber
Piala Dunia, membuat negeri dengan total penduduk terbesar ke-empat di dunia
ini patut berbangga hati dan berbesar diri. Betapa tidak, sejak pertama kali
Piala Dunia (dulu bernama Julis Rimet Cup) digelar, hanya Indonesia dan
Mesir yang menjadi negara non eropa/amerika selatan yang turut serta menjadi
kontestan awal-awal Piala Dunia mulai digeber. Tahun 1938, adalah tahun
bersejarah yang sangat mengaharukan sekalgus membanggakan yang pernah diukir
oleh negara ini. Meskipun pada saat itu, negara ini masih menajdi wilayah
kolonialisme oleh Belanda namun tetap saja prestasi tersebut bukan prestrasi
biasa yang hanya patut diacungi jempol.
Melainkan, perlu apresiasi
yang sangat tinggi bagi pahlawan olahraga bumi pertiwi. Betapa tidak,
pemain-pemain yang mengisi skuadra timnas indonesia (dulu bernama Hindia
Belanda) sebagian besar adalah bumiputera ( anak pribumi ) beserta ekspatriat
asal Belanda dan Timur Asing seperti Cina.
Jelas, ini merupakan riwayat
singkat yang cukup bermakna bagi kebesaran nama Indonesia di dunia
internasional. Tak satupun negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara ini
pernah mencicipi kompetisi Piala Dunia baik itu pra-kemerdekaan hingga pasca
kemerdekaan.
Bahkan, FIFA (Induk Organisasi
Sepakbola Dunia) menagkui bahwa negara Indonesia adalah negara pertama di Asia
yang menjadi kontestan Piala Dunia 1938. sungguh membanggakan bukan.
Negara-negara yang pernah mencibir eksistensi sepakbola Indonesia, tentu saja
iri melongok prestasi komplet anak-anak Indonesia di dunia.
Namun, sejarah tinggalah
sejarah. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, tak satupun prestasi dunia
yang membanggakan kembali ke pangkuan bumi pertiwi ini di dunia Internasional.
Terkecuali, gelar-gelar "kecil" pelipur lara di pentas sepakbola
regional dan kontinental. Selebihnya Indonesia lebih 'rajin' menjadi penonton
dan penggembira di pentas sepakbola Internasional.
Lantas, untuk kembali
mengembalikan ‘pamor’ dan gairah persepakbolaan nasional yang mulai agak kendur
(ditilik dari rentetan prestasi dua decade terakhir), maka dari itu PSSI
membuat proyek untuk memantau potensi pemain-pemain muda berbakat yang kelak
diharapkan akan mampu membawa Garuda ke pentas dunia (lagi). Diawali dari
proyek liga perserikatan, kemudian disusul Galatama (Liga Sepakbbola Utama).
Selama periode Perserikatan dan Galatama bisa dikatakan prestasi timnas
Indonesia mengalami signifikansi yang cukup menggembirakan. Diantaranya, medali
perunggu Asian Games 1958 dan Perempatfinal Olimpiade Melbourne 1956 yang
ketika itu sungguh fenomenal tatkala Indonesia berhasil menahan imbang Uni
Sovyet yang terkenal sebagai raja sepakbola dengan sosok seorang Lev Yashin lewat
skor kacamata alias draw 0-0.
Memasuki era 1990-an, prestasi
Timnas dijajaran kontinental sudah mulai surut. Indonesia gembosi lantaran
krisis ekonomi yang semakin berkecamuk. Disamping Indonesia masih sibuk
mengurus sector ekonomi, dengan majunya perkembangan persepakbolaan dibeberapa
negara di Asia Timur, seperti Jepang, Cina dan Korea Selatan. Asal punya usul,
ketiga negara Asia Timur tersebut sungguh berhasil meningkatkan prestasi tim
nasional mereka lewat kompetisi regular yang dikelola secara professional dan
representative.
Coba lihat, Jepang dengan
produk J-League, Korsel dengan produk K-League dan Cina dengan China Super
League (CSL) adalah sekelumit progres yang cukup sukses mengembalikan gairah
prestasi negara tersebut yang sedang melempem. Tak ayal, hingga kini ketiga
liga ternama di Asia tersebut masuk dalam jajaran liga elit dunia yang diminati
banyak pemain dunia berkualitas.
Hal inilah yang membuat PSSI
geram dan dengan segera membentuk kompetisi serupa untuk diimplementasikan di
Indonesia. Hingga pada akhirnya, musim 1994/1995 adalah musim perdana yang
dinamai liga sepakbola profesional Indonesia yang tidak mengandalkan dana APBD
sebagai asupan protein klub dalam mengarungi kompetisi nasional.
0 comments:
Posting Komentar