Epistoholik Jurnalis Kampus Dalam Mata Kamera

on Sabtu, 29 Oktober 2011


Sudah hampir satu tahun saya bersama rekan-rekan lainnya menimba ilmu dan pengalamn di lembaga pers mahasiswa (LPM) Media Sriwijaya. tak pelak, hal ini menjadi cerita ‘kami’ ketika wajah-wajah baru insan pers mahasiswa selanjutnya merajut asa di LPM. singkat cerita, LPM yang didiirkan atas prakarsa beberapa orang mahasiswa serta dosen ini menjadi satu wahana baru bagi mahasiswa FH Unsri dalam mengeksplorasi kemampuan yang terdapat dalam sang empunya individu. tebaran kejadian, peristiwa dirangkum secara lugas, tajam, dan terpercaya lewat seduhan berita yang diterbitkan setiap bulannya melalui koran Media Sriwijaya.
seolah menjadi teman temaram, koran ini menjadi primadona dan ujung tombak kampus dalam mempromosikan ‘pabrik’ yuristen ke pentas nasional. di era yang kompetitif sekarang ini, peran serta mahasiswa menjadi sangat urgensi yang konvergen dengan level akreditasi fakultas dijajaran kampus nasional. kontinuitas terbitan LPM akan berimplikasi pada semakin meningkatnya grafik popularitas fakultas. adalah kru LPM Media Sriwijaya yang duduk di garda terdepan sembari menyaksikan lakon dan perangai awak fakultas (sivitas akademika) dalam memainkan peran sebagai intelektualitas muda. alur berpikirnya coba saya deskripsikan bak sutradara film. LPM saya posisikan sebagai kamerawan, awak fakultas dan mahasiswa menjadi aktor dan aktris yang tengah berlaga di sebuah film. lantas, siapa yang mengisi pos sebagai sutradara. SISTEM. tepat rasanya, bila pilihan sebagai sutradara itu saya jatuhkan pada sistem administrasi kependidikan FH Unsri. karena, dialah yang memberikan skenario kapan mahasiswa harus belajar, kapan mahasiswa harus menghadiri seminar, ketika dosen harus menjalankan tugasnya. itu semua didesain oleh yang namanya sistem administrasi kependidikan. cukup ? jawabannya adalah belum. karena, siapa yang akan memproduseri film yang tengah digarap apabila tidak ada dukungan materil dari sang empunya film. nah, untuk posisi yang satu ini saya letakkan Banggar sebagai penyusun nota keuangan untuk rancangan anggaran pendapatan belanja negara selama setahun kedepan. entah, bagaimana nasibnya bila Banggar tidak menyusun secara sistematis pos dana untuk pendidikan yang sebesar 20% itu. pertanyaannya, masihkah ‘kita’ dapat mengajukan proposal bantuan dana untuk mengefisiensikan program kerja yang telah tersusun secara sistematis tersebut ?
kiranya, perlu dipahami secara parsial saja mengenai pembagian jatah pembuatan film dalam dunia akademia. mengingat, penunjukan secara subjektif tersebut adalah hanya sekedar perumpaan sederhana, dan tidak perlu untuk dikomentari secara berkelanjutan dan dilakukan perdebatan argumentatif. semua itu terserah kepada anda (pembaca) yang budiman. silahkan berpendapat, silahkan beropini, dan silahkan mengkonstruksikan pemikirannya seprovokatif mungkin. namun, dengan catatan hanya untuk dikonsumsi secara pribadi. tidak lebih dan kurang. cukup. titik.
kamerawan yang berposisi men-shoot semua adegan, kejadian, peristiwa dalam proses pembuatan film harus tetap terpanah, terarah atau bahkan terukur dalam mengarahkan mata kamera. perihal apa ? perihal agar mata kamera tetap pada objek yang diarahkan. tidak melenceng, tidak bergeser dan tujuan yang diskenariokan tersampaikan lewat sorotan tajam mata kamera. tidak mengekspos kejadian aneh-aneh, karena profesionalisme dan etika kerja membatasi demikian. proses pembuatan film berbeda dengan proses penyusunan naskah acara infotainment yang mengedepankan sisi lain dari seorang artis.
lalu, apa hubungannya LPM dengan pembuatan film. semua yang saja jelaskan diatas hanyalah merupakan epistoholica belaka. pembaca dan penulis yang budiman boleh bernada sama ataupun berasumsi lain. dan yang menjadi inti dari penulisan tulisan singkat tak syarat makna ini adalah tetap memproporsikan anggota-anggota baru LPM Media Sriwijaya tetap pada fungsi dan job desk yang telah dipaparkan ditengan tulisan. lantas, muncul pertanyaan, sebagai seorang jurnalis minimal harus idealis ? namun, yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah kita harus tetap terus-terusan idealis apabila lingkungan disekitar tidak menuntut anda untuk menjadi idealis. profesionalitas kerjalah yang menjadi titik tolak bermulanya sebuah etos kerja yang kondusif. ketika anda menjadi idealis sendirian, ditengah teman/sejawat anda lainnya tengah bergulat pada era profesionalitasnya dalam narasi kode etik profetik, masihkan anda dibutuhkan ? berpikir positif, mungkin banyak yang belum paham secara konkrit penulisan satu ini. namun, jelaslah bahwa penulisan ini adalah sebuah karya epistoholik yang sedikit dibumbui majas-majas yang penulis ketahui kulit luarnya saja. tak pelak, anggota baru LPM 2011 hendaknya dapat memetik pelajaran dari sekitar. karena, lingkunganlah guru terbaik. lingkungan memiliki anak sungai berupa pengalaman. tanpa adanya lingkungan disekitar anda yang membuat anda terpaksa harus larut dan turut serta didalamnya mustahil ada yang dinamakan dengan pengalaman. pengalaman dicetak dari lingkungan. lingkungan tidak serta merta dimanifestasikan sebagai sebuah kebersihan. tapi, lebih mendalam lingkungan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem. selamat datang insan-insan pers.

0 comments: