"Kami Menggalang Ketika Semua Menghilang" (Gerakan Peduli Dimas)

on Sabtu, 25 Februari 2012
 'jadilah engkau api penyadaran kehidupan, jadilah engkau api penyadaran sang kebenaran haruslah dijaga dan dikabarkan'


Paruh waktu harus kami habiskan untuk membantu pengobatan Dimas--Bocah penderita tumor. Bukan materi yang kami berikan, tapi spirit hidup dan kepedulian nurani yang kami pertaruhkan. Terkadang, sempat terlintas dibenak, untuk mengurungkan niat membantu. Namun, niat itu terparkir dalam kungkungan semangat dan komitmen yang kian membara. 
Banyak proses yang kami lalui, kendati tak selalu linear dengan ekspektasi yang muncul. Paling tidak, jejak langkah yang kami lalui memberikan pengalaman berharga betapa susahnya hidup menjadi manusia. Kenapa? lantaran, susahnya membuat orang lain mengerti akan kondisi saudaranya yang tengah berjuang dalam sangkar kesendirian yang mendera. 
Hari-hari kami lalui sembari berlari melawan waktu yang kian menghimpit. Aktifitas pribadi yang terus merongrong terpaksa urung perihal urgensinya kondisi Dimas. Tak banyak memang, orang yang mampu dan mau melakukan apa yang kami lakukan. Bukan bersikap egosentris, akan tetapi sifat manusia yang kurang mampu memanajemensisasi diri dan memantapkan konsistensi pribadi sering menjadi alasan pembenar. 
jejak demi jejak kami tapaki demi memuluskan niat dan memantapkan iman bahwa membantu sesama adalah hal yang utama. Tak ayal, setiap proses yang diminta mau tak mau harus kami lalui kendati harus pulang dengan perasaan kecewa. Namun, semua itu tuntas ketika pihak Dinas kesehatan provinsi Sumsel memasukkan Dimas sebagai pasien ke-163 yang mendapat rujukan ke RS Pusat atas biaya yang telah ditanggung oleh Pemprov Sumsel. 
Secara umum, memang tak ada hambatan berarti yang menghadang alur proses administrasi kelengkapan data surat rujukan Dimas ke Jakarta. Upaya publikasi pun tak ketinggalan. Ibarat kereta, tiap gerbong selalu rapi beriringan. Jejaring sosial menjadi sasaran publikasi. Basis informasi yang besar, dan kuantitas pengguna yang luar biasa menjadi alasan. Tetap, media-media lokal --Koran lokal-- diberdayakan. Kendati zaman makin maju, namun media cetak tak mungkin layu diterjang abu zaman.
Betapa sisa-sisa semangat terus membara seiring dengan hembusan angin kencang menghilangnya sebagian relawan. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama. Bak pribahasa, hilang satu tumbuh seribu. Puluhan relawan yang sebelumnya memantapkan misi bergabung dan bergerak dibawah panji "Gerakan Peduli Dimas". 
Sudah saatnya memang, operasi penyadaran massal perlu digalakkan.Terkadang, masyarakat sengaja tutup mata dan bungkam seribu bahasa. Alangkah nestapanya negeri ini, sudah dipenuhi individu-individu akibat pengaruh kapitalisme global. Bertinggal di komplek elit BSI, tak membuat warga sekitar aktif bahu membahu menolong sesama. Justru, 'orang jauh' yang merasa peduli akan kondisi sebagai warganya yang tersisihkan. 
Seharusnya, warga sekitar lingkungan perumahan Dimas malu. Bukan malah tak tahu menahu. Ketika orang-orang di penjuru nusantara sibuk mementaskan peran sebagai orang baik, warga sekitar justru dengan 'bangga' melongok lakon kesedihan yang dilakoni.  Ironis, nurani bangsa ternyata hanya sekejap mata yang hilang ketika terhapus oleh debu derita.
Sengatan matahari menjadi layu ketika api semangat yang dikobarkan jauh lebih membara. Debu kotoran menjadi rapuh lewat teriakan kemanusiaan yang kami dengungkan. Cemoohan masyarakat menjadi runtuh ketika komitmen dalam meretas asa membumbung tinggi melampaui diskreditasi masyarakat. Semua itu kami lakukan atas dasar kemanusiaan. Tidak lebih. Kami hanya mencoba untuk menjadi yang terhilang oleh karena halangan. Kami hanya ingin tetap menggalang tatkala penggalang justru melah menghilang. 

0 comments: