Egoisme Sosial Akademik Unsri, Academic Crime-kah ?

on Kamis, 16 Februari 2012
Berangkat dari pengalaman pribadi, namun coba saya singkap untuk sekedar berbagi pengalaman penting yang barangkali bermanfaat bagi insan pembaca yang budiman dan blogger yang berbudi pekerti.
Periode perkuliahan semester genap di FH Unsri ditandai dengan bermacam kesibukan aktifitas kampus yang kembali menggeliat. Pasca libur semester ganjil setahun silam, denyut kehidupan kampus kembali bermula dengan hiruk pikuk aktifitas civitas akademika yang kembali berdetak. 

Sejuta asa digenggam, memperbaiki nilai semesteran atau sekedar meningkatkan prestasi nilai yang diraih. Semua melebur menjadi satu ketika jadwal perkuliahan kembali digulirkan. Seperti biasa, pra-perkuliahan selalu diisi dengan proses pengisian kartu rencana studi (selanjutnya KRS) yang akan ditempuh selama satu semester mendatang. Ada tipikal mahasiswa yang dengan gagahnya menyodorkan kartu hasil studi (selanjutnya KHS) berupa hasil nilai semester sebelumnya kepada pembimbing akademik (selanjutnya PA). Namun ada pula tipikal mahasiswa yang pesakitan membawa bongkahan map berisi data akademik kepada PA. Akan tetapi, semua itu hanyalah sepercik hikmah akademis yang dapat dipetik untuk menjadi pembelajaran selanjutnya.

Pendidikan sebagai asa meraih cita-cita
KRS menandai bahwa inilah preface (kata pengantar) mahasiswa untuk menapaki satu semester mendatang. Terkadang, KRS seringkali menimbulkan kompleksitas permasalahan yang bersifat traditif. Dis-sinkronisasi jadwal mata kuliah satu dengan yang lain jamak terjadi. Seolah sudah menjadi tradisi turun temurun, tak ada penyelesaian akomodatif yang melibatkan segenap elemen terkait untuk menuntaskan persoalan demikian. Semua itu hanya dibiarkan membesar bak jamur yang merambah kulit hingga membuat kulit menjadi pesakitan.
Peralihan sistem akademik di Unsri dari manual ke otomat ternyata tak selalu linear dengan ekspektasi awal yang berasumsi bahwa sistem baru dapat menyelesaikan persoalan akademis yang kian akut.
Barangkali, Unsri masih butuh adaptasi terhadap sistem yang terbilang baru di belantika per-akademikan perguruan tinggi Sumsel. Walaupun daerah lain telah lebih dulu melakukan penyelerasan sistem dengan faktor-faktor pendukung lainnya. Tetap saja, bagi Unsri hal tersebut bukan menjadi acuan. Sembari melirik Unsri world class university 2015, seharusnya implementasi sistem yang baru telah siap pakai dan matang dalam proses manajemensasinya.

Baru-baru ini pengalaman saya dapat dijadikan cambukan bagi Unsri yang mencoba bermetamorfosis menjadi universitas kelas dunia. Kelas dunia macam apa ? patut dipertanyakan. Secara, untuk pengelolaan aspek penting penunjang metamorfosa Unsri menjadi kelas dunia harus dipenuhi. Sebelumnya, mimpi Unsri untuk menjadi top dunia harus ditapaki dulu secara perlahan mulai dari top Sumatera. Benar bila secara statistik Unsri merupakan perguruan tinggi nomor wahid di luar Pulau Jawa. Namun, bila ditinjau skala nasional, Unsri bisa dibilang masih terbelakang.

Belum efektifnya jadwal perkuliahan di Unsri secara manusiawi, ditambah dengan masih banyaknya pegawai Unsri dibawah standar kompetensi internasional, plus infrastruktur penunjang efektifitas perkuliahan menambah deretan panjang daftar perbaikan yang harus sesegera mungkin diatasi oleh pemimpin Unsri (rektor, pen) dan ketidak seimbangan arus informasi satu fakultas ke fakultas/lembaga lain. Semua berjalan sendiri, mengurus keperluan sendiri tanpa peduli menghiraukan tetangga akademik yang barangkali tengah morat-marit mengelola aktifitas kampus di fakultas/jurusan masing-masing. Padahal, civitas akademika Unsri berhak dan wajib untuk berdifusi bersama-sama berkomitmen membangun Unsri terdepan dengan persatuan dan kesatuan civitas akademika selaras dengan koordinasi yang apik tanpa perlu memandang keterpurukan dan latar belakang masing-masing.

Contoh sederhana adalah, egoisme akademik antara Lembaga Bahasa dan FH Unsri. Ini perlu saya informasikan lantaran, inilah Unsri memperlakukan mahasiswa yang katanya manusiawi?. Kendati bukanlah sebuah hal yang patut untuk dibesar-besarkan dan menjadi isu masif, namun perlu ditelaah kenapa peristiwa ini selalu menjadi persoalan klasik yang tak menuai solusi. Persinggungan antara FH Unsri dan Lembaga Bahasa menjadi contoh konkrit egoisme akademis yang kadang terlintas dalam benak "inikah jenis kejahatan akademik yang dialami mahasiswa"

Layakkah mahasiswa menganggap bahwa kedua belah pihak telah mendzalimi hak mereka untuk menempuh pendidikan secara wajar tanpa perlu memandang hambatan yang menuai badai. Sulitnya melakukan lobi akademis kepada masing-masing penanggung jawab kedua belah pihak yang bersikukuh dengan pendiriannya betapa apa yang telah mereka lakukan adalah satu hal yang wajar dan menjadi kebenaran absolut dan sulit untuk dibantah. Terkadang, dosen yang seharusnya menjadi 'teman' bagi mahasiswa justru menjadi petaka betapa ketika kasus tersebut dibawa kedosen. Kondisi malah berbanding terbalik dari ekspektasi awal yang berasumsi bahwa kondisi pilu sedemikian rupa dapat diatasi dengan solusi yang arif. Alih-alih keluar dengan lapang dada, mahasiswa terpaksa harus mengelus dada sembari mendengar pernyataan sang dosen yang kerap menyesakan dada.

Barangkali tak banyak mahasiswa yang berani mengungkapkan sedikit ketidak validan manajemen kampus di Unsri. Kebanyakan dari mereka bungkam dan bergumam dalam hati seraya menunggu seseorang untuk berani berdiri di garda terdepan mengadvokasi dirinya. Selama tim pengelola kampus di Unsri masih L4 (lu lagi-lu lagi), maka kecil kemungkinan untuk mengubah wajah Unsri menjadi lebih baik. Layaknya pesan dalam botol, mungkin Unsri butuh pencerahan dalam menakhodai kapalnya.

2 comments:

Anonim mengatakan...

bungkam juga bkn solusi.BEM nya yg ngomong dong,.ego sosial mhs gimana tuh.jgn bisanya brantem melulu ddekanat.miris tp begitulah adanya,.hmm sepertinya menjadi kelinci percobaan dari sebuah sistem yang baru

Unknown mengatakan...

unsri belum siap sih kayaknya utk sistem yg bru. butuh penyesuaian sebelum sistem yg baru digunakan.