Dok. Pribadi |
Tak hanya melampaui lintas batas
alam rasional manusia, dunia kedokteran perlahan merambah harkat dan martabat
manusia secara naluriah. Hakekat manusia yang untuk terus tetap hidup diatas
bumi yang diciptakan sang Maha Penicpta, membuat manusia telah yang oleh para
fundamentalis menyebutkan natural right.
Hak-haka fundamental yang dimiliki manusia dan tidak dapat direstriksi (Konsep Non-Derogable) dalam keadaan urgensi
sekalipun. Hak-hak alamiah yang dimiliki manusia tersebut diantaranya hak hidup
(right to life), hak atas badan dan
lain sebagainya.
Menyoal satu bentuk pemihakan akan
suatu kebutuhan dasar manusia, dewasa ini perlahan tapi pasti selongsong hak
asasi manusia itu semakin menyelekit. Bahkan, dalam balutan formalisasi yang
rapi lewat aturan/regulasi. Dalam dunia hukum, manusia dianggap telah memiliki
hak dan kewajibannya yang memegang status sebagai subjek hukum. Semenjak ia
masih berada dalam kandungan hingga ke liang lahat.
Interrelasi dengan itu, kebutuhan
dasar hakekat manusia menjadi satu perbincangan yang menarik untuk
diperdebatkan. Pro kontra perdebatan aborsi itu dihalalkan atau tidak tetap
menjadi perbincangan panjang di manca Negara termasuk Indonesia. Betapa tidak,
konsepsi HAM yang terbagi dalam dua jalur yakni konsep derogable (boleh direstriksi) dan konsep non derogable (tidak dapat direstriksi) mengalami kontraproduktif
dengan hak kebebasan memilih seseorang.
Aborsi secara harfiah diartikan
sebagai sebuah tindakan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan dengan
berbagai alasan yang merundung si Ibu. Dalam konstruksi yuridis KUH Pidana
Indonesia, aborsi diartikan sebagai “Barangsiapa
dengan sengaja menyebabakan gugur atau mati kandungan kandungan seorang wanita
dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun enam bulan” (Vide Pasal 348 ayat (1) KUHP).
Secara sederhana, tersirat bahwa
dalam konstruksi yuridis KUHP dengan jelas melarang praktik penyelenggaraan
aborsi. Kendati demikian, dalam UU Kesehatan No 23 tahun 1992 disebutkan dalam
Pasal 15 ayat (1) “dalam keadaan darurat
sebagai upaya menyelematkan jiwa ibu hamil dan atau janinya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu.” yang menyimpulkan bahwa dalam keadaan darurat
demi menyelematkan janin atau jiwa sang ibu dapat dilakukan tindakan medis
tertentu. Tentulah, korelasi logis dalam hal mana untuk menyelematkan jiwa sang
ibu adalah dengan melakukan praktik aborsi.
Secara teoritik, dalam perkembangan
dunia ilmu kedokteran kehakiman (Medikologi) secara umum dapat dibagi dalam dua
bentuk jenis aborsi. Yang pertama adalah aborsi spontan (Spontaneous Abortion), yakni penguguran janin yang tidak sengaja
atau tidak dikehendaki tanpa ada intervensi medis tertentu yang berimplikasi
pada gugurnya kandungan. Yang kedua adalah aborsi disengaja (Aborsi Provocatus), tindakan penguguran
kandungan ini merupakan satu bentuk unsur kesengajaan (dolus) baik atas rekomendasi sang ibu atau dikarenakan intervensi
medis dari sang dokter.
Menurut Saifullah dalam bukunya
Aborsi dan Permasalahannya, Aborsi sengaja (Aborsi
Provocatus) ini dibagi lagi dalam dua bagian. Yang pertama ia sebut sebagai
Aborsi Artificial Therapicus, yaitu
penguguran atas indikasi medis. Yang kedua ia sebut sebagai Aborsi Provocatus Criminalis, penguguran
yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis.
Dalam dunia kedokteran, penghentian
kehamilan atas indikasi medis kerap mengalami eksepsional dalam
perkembangannya. Dibelahan dunia lain, banyak Negara yang melegalkan praktik
aborsi dalam bentuk therapeutic/afedicalis
ini. Akan tetapi, kelompok fundamentalis keukeuh dengan argumentasinya bahwa
setiap manusia berhak atas hak hidup dirinya, karena hak hidup seseorang itu
didapatkan langsung dari Maha Kuasa bukan ditentukan oleh sesama manusia. Atas bentuk
penolakan tersebut kalangan fundamentalis berasumsi bahwa telah terjadi proses
dehumanisasi dalam praktik regulasi diberbagai Negara. Tak hanya itu,
kekisruhan praktik penyelenggaraan aborsi di Amerika pun terus menjadi satu
bentuk pergulatan yang mengundang tanya. Betapa tidak, polarisasi sistem
demokrasi di Amerika membuat kebijakan pemerintah selalu berada dipersimpangan
jalan. Polarisasi tersebut terbagi dalam dua bentuk golongan yakni pro life dan pro choice.
Dalam pandangan pro life, setiap orang itu berhak atas hidup dirinya meskipun ia
masih berada dalam kandungan. Hal ini linear dengan suara kelompok
fundamentalis yang terus menentang praktik dehumanisasi dalam aborsi. Akan tetapi,
kelompok pro choice berpendapat bahwa
dalam kasus aborsi sang ibu berhak atas pilihan hidupnya.
Secara etis sosial, kesesuaian (doelmatigheid) dengan volkgeist (jiwa bangsa) kultur
masyarakat Indonesia, praktik aborsi tentu menjadi satu hal yang tabu. Lantaran,
otak masyarakat diberangus dengan pemberitaan negatif seputar aborsi yang berkorelasi
sangat erat dengan perilaku seks bebas dari pasangan yang belum terikat dalam
tali perkawinan. Kendati, UU Kesehatan menjelaskan bahwa legalisasi praktik
aborsi dilakukan apabila ada indikasi medis yang bertujuan untuk menyelamatkan
jiwa sang ibu atau janin tetap saja praktik aborsi dianggap sebagai sebuah
tindakan kriminal dalam hukum yang hidup ditengah masyarakat.
Kembali ke amanat konstitusi yang
tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 A “setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
0 comments:
Posting Komentar