Menyorot Papua (Suatu Kajian Epistemologis)

on Selasa, 13 Desember 2011
Tensi gejolak di Papua yang semakin memanas beberapa pekan terakhir ini saban hari menghiasi sejumlah media mainstream nasional dan manca negara dalam menyoroti persoalan independenitas rakyat Papua dari Indonesia. tak ayal, peristiwa makar yang ditunjukan aktifis pro kemerdekaan di Papua makin menjadi-jadi.
Free West Papua Campaign/WestPapuaMedia.Info
banyak pihak yang menuding, persoalan kasus Papua bermula dari ketidak adilan pemerintah dalam pemetaan program pembangunan di Indonesia. sentralisasi kekuasaan yang berpusat di Jakarta pada rezim orde baru (Orba) adalah buktinya. provinsi di sejumlah daerah 'terpaksa' menjadi donatur tetap pemerintah pusat (Jawa) dalam menghidupi tanah Jawi yang penuh dengan eksotisme itu. 
termasuk, Papua. wilayah yang terletak secara geografis diufuk timur Indonesia ini adalah negeri cantik nan elok dengan sejuta kaneka ragaman hayati dan hasil hutan yang begitu melimpah ruah. tak pelak, Amerika pun kesemsem dengan wilayah yang satu ini. ditancapkanlah, pilar-pilar kapitalis ala Amerika lewat perusahaan multi nasional yang berlindung dibalik topeng regulasi semu tersebut. PT Freeport Indonesia, salah satu dari perusahaan penambangan emas terbesar di dunia ini menancapkan taring kapitalisnya di Indonesia, tepatnya di Papua. 
isu yang merebak, kapitalisasi di Indonesia bermula dari sebuah perjanjian antara Soeharto dengan Amerika yang membuat persetujuan kerja sama dalam waktu 50 Tahun secara kontinyu. Indonesia mendapatkan kompensasi atas hasil penambangan Freeport di Grasberg dan Abepura. statistik yang menyebutkan, Indonesia mendapatkan 1% keuntungan bersih yang diperoleh PT Freeport per tahunnya. angka ini jelas tak adil. secara realistik, kekayaan alam yang dieksplorasi Freeport adalah milik Indonesia. akan tetapi, angka tersebut terlalu kecil untuk sebuah negara layaknya Indonesia. bukan tanpa sebab hal tersebut diperjanjikan demikian. lantas, kemana sisa persenan rupiah yang mengalir dari kantong elit Freeport ? sebuah misteri dibalik perseteruan umum. politisasi yang bersua menututp-nutupi informasi publik yang merebak.
tak hanya persoalan pembangunan, kelompok mahasiswa Papua atau bahkan LSM dan kesatuan masyarakat adat Papua bahkan menilai Indonesia telah salah mengurus Papua. secara genetis, sebenarnya rakyat Papua yang melanosoid berbeda dengan ras masyarakat Indonesia kebanyakan yang mongoloid. perbedaan persoalan SARA inilah yang membawa rasa kekalutan mendalam dan pertanyaan besar, apakah Papua benar-benar bagian Indonesia ? padahal, saudara-saudara serumpun dengan rakyat Papua lainnya seperti Timor Leste, Papua Nugini, Kepulauan Fiji, Samoa, Melanesia dan sebagainya justru bersuka cita membentuk negara dengan segala bentuk regulasi yang mereka atur dengan cara mereka sendiri.
persoalan sejarah mengenai proses pengembalian Irian Barat semasa kolonialisme pada 1963 ke pangkuan bumi pertiwi banyak disebut aktifis Papua sebagai sebuah peristiwa yang ahistoris. belum lagi berbicara masalah HAM. KontraS bahkan fokus merilis data-data nama warga Papua yang menjadi korban ketidak manusiawi TNI dalam mengawal keamanan di ujung timur Indonesia. kemarahan warga Papua ditunjukan secara konkrit dengan sering kali terjadinya baku tembak antara ekstrimis Papua, OPM dengan TNI di sejumlah titik.
membawa sekelumit problematika yang mendera Papua, inisiasi pun dilakukan. kampanye persuasif, hingga demonstrasi besar-besaran menuntur refrendum warga Papua terus digalakkan. pengibaran bendera "bintang kejora' lazim dilakukan. hidup diwilayah syarat konflik di Papua mengingatkan kita akan film Half Blood Diamond di tanah Afrika antara ekstrimis sipil, RUF dan Pemerintah. penggambaran yang ditonjolkan dalam film yang dibintangi Leonardo di Caprio tersebut nyaris serupa dengan kondisi yang dialami Papua. RUF sama dengan OPM. Tentara Afrika sama dengan TNI.
ironi, tanah yang diberkahi dan tanah yang dikaruniai SDA yang melimpah justru menjadi tanah yang kejam syarat konflik vertikal. menyoal hal tersebut, pemerintah coba meredam aksi paralel yang dilakukan amsyarakat Papua. UU Otsus diberlakukan. kendati UU ini telah lama diimplementasikan, akan tetapi hasilnya tentu tak terasa secara langsung menyentuh warga Papua. permberdayaan lokal warga Papua berubah menjadi pembredelan terhadap sang Putra daerah. proses Jawanisasi yang muncul lewat program transmigrasi membawa pergolakan semakin menjadi-jadi dengan mencalonkan dirinya, warga Papua kelahiran Jawa dalam pemilukada di Papua. hal ini membuat warga Papua sakit hati talk tertahankan. tawaran menggiurkan dari Otsus mulai dari keuangan, pemberdayaan SDM lokal dan pembangunan wilayah bak isapan jempol belaka. Judicial review pun dilakukan. akan tetapi, iktikad baik warga Papua untuk menguji UU Otsus tak menuai hasil. perkara uji konstitusionalitas UU Otsus ditolak MK. 
kendati Papua mendapatkan otoritas khusus berupa Otsus bersama tiga wilayah lainnya di Indonesia, seperti NAD dan DI Yogyakarta bukan berarti menjadi angin segar bagi warga Papua. MRP (Majelis Rakyat Papua) dibentuk sebagai tandingan DPRD Provinsi/Kab/Kota. konferensi MRP ke-III baru-baru ini bahkan mendapatkan perlawanan sengit dari TNI. informasi yang beredar, salah seorang peserta konferensi meninggal dunia. padahal, disinilah terletak proses demokrasi langsung yang diimplementasikan di Papua. dimana, persoalan makar menjadi pergunjingan yang lazim dilakukan. akan tetapi, hal tersebut tak berlaku di Papua. Aceh bisa menjadi contoh faktual betapa implementasi proses demokrasi tidak berjalan mulus. indikasinya, tindakan makar/separatis dilarang oleh konstitusi. hal ini berimplikasi secara meluas sampai pada lapangan hukum internasional. ILWP (International Lawyers For West Papua) mengadvokasi warga Papua dan menguji konstitusionalitas Pepera dihadapan Mahkamah Internasional. namun, kongres ILWP yang berlansung di London itu tak berjalan mulus lantaran, Inggris menolak diadakannya kongres tersebut. 
Bendera Bintang Kejora/WestPapuaMedia.Info
jalan panjang rakyat Papua untuk menikmati harkat dan martabat hidup seperti kebanyakan warga dunia lainnya tak berhenti sampai disitu.OPM semakin nyata meminta dukungan kepada negara-negara lain untuk memberikan bantuan moril demi memerdekakan diri dari Indonesia. demonstrasi di Jakarta pun dilakukan. membawa atribut OPM, bendera Bintang Kejora dsb. sinyalemen betapa warga Papua SERIUS merdeka dari Indonesia. perlahan, pangkuan Bumi Pertiwi mulai lepas dari kehangatannya. ibarat menunggu Bom Waktu, mimpi itu perlahan mulai terealisasi secara nyata. apakah daerah lain akan menyusul ? NII, RMS, GAM ? masih layakkah menyebut bahwa saya adalah Indonesia ?

0 comments: