Google/IST |
“Sudah tak terasa yah”, pasti banyak yang bertanya-tanya apa maksud dari
petikan awal dari tulisan yang penulis muat kali ini. Sekedar merefleksikan
segenap asa yang ada, keberhasilan merengkuh label sebagai seorang mahasiswa
Universitas Sriwijaya dan membukukan satu kursi setelah bersaing dengan
belasan ribu calon mahasiswa lain yang ingin mengecap dan mengenyam bangku
perkuliahan di Universitas Sriwijaya adalah sebuah prestasi. Calon mahasiswa/i
yang berhasil menembus ketatnya persaingan boleh saja memberikan applouse buat
diri mereka sendiri pasca menembus tembok persaingan menuju Unsri yang begitu
ketatnya.
Kembali
ke petikan awal kalimat pembuka tulisan ini mengenai perasaan seorang mahasiswa
yang begitu bangganya menjadi bahagian dari keluarga besar Universitas
Sriwijaya. Begini ceritanya, saat penulis mencoba menguak sejumlah kesaksian
secara tidak langsung kepada beberapa mahasiswa mengenai perasaannya selama
mememegang status sebagai mahasiswa Universitas Sriwijaya maka dapat saya
simpulkan sesuai dengan petikan kalimat diawal tadi bahwa sudah tak terasa kita
berada ditengah-tengah komunitas intelek.
Bangga,
haru, bahagia menjadi bagian terpenting dari dinamika transisi yang sebelumnya
berada pada atomosfer per-sekolahan dan bermetamorfosa menjadi ruang
lingkup perkuliahan. Label menjadi seorang ‘maha’ resmi disematkan pada saat
pengukuhan mahasiswa baru tahun akademik 2010/2011 di Gedung Auditorium, Universitas
Sriwijaya, Indralaya Selasa (3/8) 2010. Tanggal itu seolah menjadi deretan
numerik absah yang sakral dikalangan mahasiswa baru, karena ditanggal itulah
heroisme ‘hidup’ dibawah panji Unsri didedikasikan. Dihadiri oleh Eddy Yusuf
notabene merupakan eks-mahasiswa yang beralmamaterkan Universitas
Sriwijaya jurusan Ilmu Hukum ini, menjadi saksi kuning-nya Auditorium
diselimuti almamater baru dari calon Mahasiswa.
Terkhusus bagi mahasiswa Fakultas Hukum, dinamika kuliah yang dikecap
sudah begitu kentara terasa kerasnya akan gemblengan disiplin dari para dosen
yang mengajar. Terlebih dalam beberapa mata kuliah wajib yang mesti ditempuh
sebagai syarat menjajaki mata kuliah baru pada semester selanjutnya. Pengantar
Ilmu Hukum, Ilmu Negara boleh jadi menjadi segelintir bahagian dari beberapa
mata kuliah yang kita asup semasa semester ganjil ini. Kedua mata kuliah wajib
tersebut, diketuai oleh dosen-dosen senior yang syarat akan pengalaman mengajar
baik dalam maupun luar negeri.
Gemblengan
mereka-merekalah yang akan menjadi batu loncatan kita menuju generasi-generasi
baru yang cendikia dan berharga. Terlebih kita adalah mahasiswa hukum, maka
tugas yang akan kita pikul begitu berat adanya, yakni mengemban amanat untuk
menegakan keadilan di bumi pertiwi ini. Ditangan muka-muka yang serius dan
lusuh pada saat proses perkuliahan inilah segenap tanggung jawab yang diberikan
masyarakat akan digenggam. Dan itu semua, tak lepas dari jasa dosen-dosen yang
setia dan rela menyisihkan sedikit waktunya untuk mengajari mahasiswa-mahasiswa
yang kadang kurang berperilaku ajeg terhadap dosennya.
Sekilas mem-flashback keseharian mahasiswa dalam rangka meretas asa
menjadi generasi perkasa. Banyak hal yang dapat menjadi dependent variabel
(Variabel terpengaruh) dalam mengkonstruksi mimpi yang masih dirajut dalam
pintalan benang-benang kusut. Intrik-intrik menggelitik satu ini boleh jadi
sebagai satu diantara fondasi menuju generasi perkasa yang gesit, lincah dan
intelek pastinya.
Titip Absen
Nah, mendengar frasa yang satu ini sudah tidak asing lagi atau bahkan sudah
akrab ditelinga kita terkhusus mahasiswa. Pamornya yang menggaung keseluruh
penjuru Unsri membuatnya begitu fenomenal. Baik dari sudut historisnya maupun
mekanismenya. Tradisi menahun yang tak pernah berujung, titip absen.
Menjadi keseharian yang paling lumrah terjadi di kalangan mahasiswa dewasa ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka semakin cepat pula perkembangan pola/method
titip absen yang dikreasikan mahasiswa. Semakin cerdas dosen dan cekatan dalam
menindak oknum mahasiswa yang mencoba berbuat tidak jujur, maka semakin cermat
pula mahasiswa merubah mekanisme dengan tatanan yang lebih rapi dan cantik.
Malah, tak ada kesan malu-malu kucing sedikitpun dalam mengoperasikan
praktik titip absen. Pola pikir mahasiswa dibuat bergerak dinamis, untuk
menghindari tertangkap tangannya oknum mahasiswa nakal tersebut kedapatan
tengah melakukan praktek titip absen. Lazimnya, praktek titip absen ini kerap
kali dilakukan ketika dosen-dosen yang tengah mengajar terindikasi memiliki
pengawasan lemah dan sering lengah dengan gerak-gerik mahasiswa. Mahasiswa
memang lebih lincah dan gesit dalam kondisi urgensi sekalipun. Saya yakin,
selagi sistem absensi masih tradisionil seperti sekarang ini (kertas yang ditanda
tangani dosen), sampai berpuluh-puluh tahun kemudian, tradisi ini akan tetap
ada selagi ideologinya tertanam melalui proses regenerasi praktikal.
3A
Ada
yang tahu apa itu 3A ? ini bukan doktrin Jepang dalam rangka memanis-manisi Indonesia
untuk menyerahkan hasil buminya kepada mereka lho. 3A dilihat dari
konteks mahasiswa adalah sebuah prinsip dimana hakekat seorang mahasiswa itu
sebagai seorang yang berpengaruh. Agent of Change, Agent of Control Social dan
Agent of Development. Ketiganya merupakan esensi seorang mahasiswa yang
prinsipil. Hal tersebut dikarenakan, pemuda dirasa memiliki kemampuan lebih
dalam hal ide dan gagasan. Pemikiran-pemikiran mahasiswa yang inovatif dan
penuh dengan ide-ide menjadi salah satu faktor kenapa prinsip 3A pantas
disematkan kepada mahasiswa/pemuda. Formulasi dari ketiga aspek filosofis yang
fungsional tersebut adalah konsepsi yang paling lazim ditemukan dalam kancah
kemahasiswaan. Ide dan gagasan yang inovatif dan dinamis itulah yang mendasari
sejumlah petinggi negeri ini berkonsensus menyebut pemuda adalah
golongan/komunitas pembaharuan. Pameo yang menyebutkan “Pemuda belum saatnya
jadi pemimpin, namun menjadi pemicu terbentuknya seorang pemimpin”
dirasa tepat bersemayam dalam jiwa-jiwa pemuda dalam hal ini mahasiswa. Tak
dipungkiri, sejumlah gebrakan besar yang tercatat dalam sejarah negeri ini,
paling tidak peran pemuda terlalu naif untuk dikesampingkan. Keberadaanya yang
vital, membuat petinggi negeri ini begitu menghormati jasa pemuda dalam
membangun negeri. “yang muda yang berkarya” juga menjadi akronim luas secara
definitif kausalitas pemuda. Namun, filosofi pemuda di era sekarang ini
menggeser sendiri nilai-nilai historis dan sosilogis dari 3A tersebut. pemuda
yang menjadi planner-nya, mereka juga yang menjadi destroyer-nya.
Lihat saja, kasus narkoba bergelimangan bak air terjun niagara yang terus
mencucurkan airnya tanpa henti. Sehingga, ikhwal yang satu ini meng-create
stigma bahwa subjek narkos adalah pemuda. Pemuda lambangnya kebebasan tanpa
batas. Padahal salah, apabila menafsirkan demikian. Kebebasan tanpa batas dalam
berekspresi tidak diwujudkan dalam konstelasi yang berujung pada perbuatan
negatif. Kebabasan tanpa batas adalah, pemberian hak politik kepada pemuda
mengekspresikan dirinya dalam konteks abdi masyarakat. Bukan sebagai sampah
masyarakat. Sekedar merefleksikan kontenitas yang kontinyuitas, semua itu harus
segera direstrukturisasi kembali. Mengkonstruksi kembali prinsip pemuda dalam
hal ini mahasiswa adalah pilihan arif ketika tak ada yang mampu mengubahnya.
Namun, tak serta merta pemuda dibebankan untuk mengkonstruksi kembali dirinya.
Mereka tidak bisa me-manage diri mereka sendiri. Mereka mesti
distimulasi, diberikan stimulan agar nantinya komponen yang ada terjalin secara
sinergis.
IP Gede
Apalagi
kalau bukan ini tujuan abadi yang hakiki dari seorang mahasiswa. Angan-angan
untuk mendapatkan tujuan yang sempurna, rela mereka tempuh meski harus
berjibaku dengan beragam cara. Rahasia umum dunia pendidikan Indonesia,
urbanisasi kecanggihan teknologi memicu kreatifitas demi ‘mendesak’ agar IP
(Indeks Prestasi) beranjak naik. Setidaknya, IP 3.0. Namun, apabila mahasiswa
lebih jeli dalam menyikapi legalitas IP sebagai prestasi diri, bukan prestise diri
maka hal itu akan berujung pada terbukanya pintu kesuksesan kedepan. Begitu
akrab ditelinga kita, IP diatas 3.0 mereka gadang sebagai satu diantara harta
mereka yang pantas mereka pamerkan ke khalayak. Padahal, jika ditinjau lebih
cermat mendapatkan IP 3.0 keatas adalah sebuah prestasi. Namun, perlu dicatat
keberhasilan merengkuh IP setinggi itu diraih atas dasar kemampuan dan
aktualisasi diri. Bukan bantuan orang lain ataupun alat bantu yang
menguntungkan dirinya (cth : Nyontek). Toh, jikalau terjun kedunia
kerja, IP hanyalah formalitas memenuhi syarat administrasi awal ketika beralih
ke tataran yang lebih kompetitif. Tentunya, skill dan improvisasi diri
lebih diapresiasikan ketimbang ‘main-mainan’ IP di dunia kerja. Sistem di
negeri ini yang fluktuatif juga mempengaruhi keberadaan IP itu sendiri. Bukan
lagi sebagai sebuah fenomena baru, perolehan skor/nilai IP diatas 3.0 tak serta
merta diinterpretasikan sebagai murni prestasi mahasiswa. Lazim di dunia
pendidikan Indonesia, aneka cara memuluskan prestasi yang bermuara pada
prestise itu kerap dilakukan.
Aktifis Mahasiswa
HIDUP
MAHASISWA ! “kita bangun negeri ini menjadi negara yang lebih baik kedepannya,
kita serukan REFORMASI !!!”. Sangat jamak kita dengar petikan-petikan
orator dari sang mahasiswa idealis. Inilah konstelasi yang cukup untuk
merepresentasikan generasi yang perkasa nantinya. Rajutan-rajutan idealis
berbalut tuntutan kritis mewakilkan konteks umum seorang aktifis. Demonstrasi,
aksi, kritikan publik adalah bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian
sebagai seorang aktifis. Jangan tanya berapa banyak orang-orang berpengaruh
dinegeri ini mengawali kiprah sebagai seorang aktifis. Deretan nama besar tak
pelak adalah hasil doktrinisasi aktifis yang mewarisi ideologinya secara hierarki
vertikal tercetak. Keberadaan organisasi mahasiswa/kepemudaan dewasa ini adalah
salah satu wadah penyalur aspirasi pemuda dalam rangka donasi ideologi untuk
negeri. Suatu keniscayaan apabila mahasiswa/pemuda berlaku sebagai organ yang
‘ditunggangi’ oleh elit penguasa. Oleh karena itulah, sekali lagi eksistensi
mahasiswa/kepemudaan sebagai organ independen jarang sekali ‘termakan’ rayuan
populis yang pragmatis bisa ‘dijamah’ dalam tubuh maupun pemikiran mereka.
Pemuda/mahasiswa adalah pemicu perubahan. Kisah dramatis 1998 adalah satu
diantara contohnya yang dapat mewakilkan gebrakan pemuda/mahasiswa dalam memicu
perubahan dinegeri ini. Tahun 1998 adalah tahun dimana titik kulminasi dari
rasa frustasi sosial yang semakin meningkat akibat dari kelakuan elite politik
pada masa itu. Perjuangan mereka seolah menjadi pemicu perubahan besar di
negeri ini. Sejumlah petisi agung yang efeknya luar biasa bagi masa depan
negeri adalah produk perubahan/reformasi 1998. Sebut saja, amandemen UUD
(bahkan sampai empat kali), dijunjung tingginya HAM, rekonstruksi/reformasi
hukum nasional, dan formulasi paham demokrasi yang demokratis. Produk reformasi
diatas adalah salah satu income yang didapat masyarakat Indonesia
konteks sekarang ini, akibat dari titik balik aksi dan reaksi pemuda Indonesia
dalam mewujudkan tataran negara Indonesia yang lebih adil dan beradab. Selaku
sebagai aktifis ! why not ?
‘Hidup
berawal dari mimpi’ (Bondan Prakoso) sejenak kita
mengkontemplasikan diri dalam rangka memenuhi asa hidup meretas menjadi
generasi-generasi perkasa nantinya. Perlu diingat, apa tujuan kita sebagai
pemuda/akademisi/mahasiswa dalam mengemban visi dan donasi untuk negeri
kedepannya. Have fun perlu, cuma manakala kita kembali mentransformasi mindset
kita mengarah kearah yang lebih sensitif. Perlu disadari, kita memiliki
tanggung jawab moral beriring secara paralel dengan mahasiswa-mahasiswa dari
PTN/PTS lain dipenjuru negeri untuk memegang erat panji dibawah Bumi Pertiwi.
Pengabdian untuk negeri adalah frasa abstrak nan sakral yang mesti kita
wujudkan sebagai akademisi/pemuda/mahsiswa. Kuasi dan fusionisasi dari
kompleksitas pola pikir anak negeri dapat mewujudkan konstelasi/tataran negara
Indonesia yang lebih bijaksana dan berwibawa. Sehingga, amanat Konstitusi UUD
1945 ‘menciptakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia’
bukan lagi sebuah angan belaka. Namun, hal tersebut adalah sebuah tantangan
kedepannya. Pola/kreatifitas mahasiswa dalam mengcreate jalan hidupnya
mestilah dicermati secara arif agar dapat menghasilkan laskar dan srikandi yang
mumpuni untuk membangun negeri. Pola-pola instan/pragmatis sebaiknya perlahan
(harus) mulai ditinggalkan. Karena, negeri ini butuh orang-orang bermoral yang
mampu memanajerial bangsa kearah yang lebih normatif dan preskriptif. Birokrat
sekarang (era SBY) sudah terkontaminasi ulah kotor yang menebar ‘harum’ bunga
bangkainya secara komprehensif sampai ke anak cucunya. Untuk mengantisipasinya
adalah sebuah hal yang nestapa dan menggunakan cara apa yang paling jitu untuk
meredam penggerogot wibawa bangsa tersebut. Kecuali apabila mereka semua
‘lenyap’ dimuka bumi. Selanjutnya, pola titip absen juga mesti dijadikan
sebagai suatu hal yang ‘haram’. Karena apa ? biasa karena kebiasan adalah
embrio cikal bakal janin yang lahir adalah individu yang amoral dan tidak
jujur.
Filosofi
dibalik makna tersirat yang terungkap dalam prinsip 3A mesti direlung kembali
segenap mahasiswa. Siapa mereka sebenarnya ? apa tugasnya ? agar mereka tak
kehilangan arah. Kenapa ? karena dampaknya secara nasional, pemuda/mahasiswa
kita akan kehilangan jati diri dan eksistensi diri. Fenomena-fenomena tersebut
perlahan ibarat pribahasa ‘patah tumbuh hilang berganti’ banyak sebagian jiwa
pemuda yang nasionalis kemudian lenyap ditelan masa. Entah, bagaimana tindak
tanduk kelanjutannya. Keberadaan tokoh-tokoh muda potensial terkesan fluktuatif
dalam menetukan sikap dan tindakan. Mungkin, karena intensitas/kadar emosional
pemuda/mahasiswa masih labil, meledak-ledak, mudah didoktrin menjadi pemicu ‘tersengatnya’
mereka oleh doktrin tajam dari para penguasa. Untuk meredam penetrasi penguasa
dalam mendoktrin pemuda/mahasiswa, sebaiknya aktiflah sebagai mahasiswa.
Bergabung kedalam organisasi kemahasiswaan/kepemudaan nasionalis, agamis
ataupun radikalis sekalipun akan membuat kedewasaan dalam menetukan sikap
semakin terbina. Guna, memantapkan mindset dalam menemukan pola jati diri
sesuai koridor masing-masing pemahaman. Mau kemana saya ? apa jadinya saya
nanti ? adalah sekelumit pertanyaan yang erat kaitannya dengan membangun
karakter diri lewat organisasi. Metode kebersamaan, prinsip ke-independensian
adalah hal yang utama dalam berorganisasi sebagai tolok ukur pengembangan diri.
Hingga pada akhirnya, pendewasaan dan penemuan jati diri itu akan terbentuk
secara otomatis. Tetapi, satu hal. Menjadi organisatoris yang memang
benar-benar aktif dan vokal dalam menyuarakan kejanggalan terhadap ketidak
selarasan disekitarnya mesti dipahami betul kontenitas dan kontinyuitasnya.
Karena, tak selamanya kita mengenggam label sebagai seorang mahasiswa. Intens
di bidang akademik juga mesti menjadi acuan terciptanya kaum intelek yang
benar-benar intelektualistis. Jangan hanya berkutat dengan sejumlah agenda
rapat-rapat di organisasi, bergumam dan bercengkrama dengan buku-buku serta
literatur adalah konsepsi mutlak yang mesti dipegang mahasiswa. Keduanya harus
sinergis. agar nantinya, judge mahasiswa berjiwa sosial yang akadmis itu
diraih. Tapi, jangan pula dianggap berlebihan. Emosi dan ego untuk menggapai IP
tinggi juga jangan sampai ‘menghalalkan’ segala cara untuk meraihnya, kejujuran
adalah harga mati. Ingat IP (Didapat dengan cara yang jujur) bukanlah sebuah
kesuksesan, IP hanyalah pembuka kesuksesan
0 comments:
Posting Komentar