Birokrasi Sulit, Perpustakaan Daerah Makin Sulit

on Sabtu, 03 Desember 2011
Perpustakaan Daerah/Net
Ada adagium dalam kalangan akademisi yang menyatakan bahwa seseorang itu bisa dideskripsikan lewat bacaannya. terang saja, penggambaran diri seseorang bisa ditebak dengan apa yang ia baca lewat komunikasi verbal yang ia lakukan. semakin banyak (kuantitas) dan berkualitas bacaan seserorang maka bukan tidak mungkin kualitas SDM sang empunya dapat diklasifikasikan dalam kategori baik. semakin sedikit dan kurang bermutu bacaan seseorang besar kemungkinan orang tersebut unknowledge.
begitupun dengan SDM-SDM Indonesia, bagaimana bisa maju bilamana warga tidak diberikan secara efektif sumber bacaan yang representatif. contoh paling konkrit adalah ketersediaan kuantitas dan kualitas sumber bacaan yang disediakan pemerintah kepada rakyat.
minimnya fasilitas publik yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang bebas secara sederhana memungkinkan terjadinya segregasi bangsa dalam lalu lintas internasional. fasilitas publik yang bernilai edukasi tinggi akan berimplikasi pada penataan kecenderungan sosial masyarakat yang lebih intelektual.
namun, untuk menggapai capaian visioner tersebut tentu memakan jangka waktu yang cukup lama. akan tetapi, hal tersebut bukan tidak mungkin dapat diraih. demi mewujudkan amanat konstitusi yang termaktub dalam preambule UUD 1945 "... ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga ketertiban dunia ...".
berbanding terbalik dengan cita konstitusi dan implementasi di Indonesia. bagaimana sebuah bangsa bisa maju bila pemerintah kurang arif memberikan suapan nutrisi kepada anak bangsa ?
contoh paling faktual bisa anda simak dalam penggalan cerita berikut ini :
"... pagi-pagi hari seperti biasa akhir pekan kuhabiskan waktu untuk bercumbu mesra dengan literatur disebuah perpustakaan milik pemerintah dibilangan demang lebar daun. sengaja ku luangkan waktu untuk dapat  menjamah kearifan penulis yang ia ekspresikan lewat karya dalam sebuah buku. ditengah kondisi cuaca Palembang yang tengah memasuki musim pancaroba kuberanikan diri menembus kerikil hujan yang menghentak lajuku dengan sebuah sepeda motor andalan. kendati kondisi sepeda motor yang baru saja dibersihkan itu kembali dekil, namun derai desahan mengeluh lantas sirna setibanya didepan gedung perpustakan. kuparikirkan sepeda motor disisi gerbang utama perpustakaan. seperti biasa, kedatanganku disambut dingin pengunjung yang tak sedikitpun mengeluarkan suara. terang saja, aku kini berada diperspustakaan. identiknya, perpustakaan adalah tempat yang tenang dan steril dari polusi suara. lantas, setibanya didalam dan menitipkan barang bawaan ke tempat penitipan barang kutemui temanku yang duduk termangu disebuah kursi sembari menunggu diriku yang sebenarnya lama menunggu dirinya. setelah bertemu dengan temanku (Agung namanya) langsung ku aja perbincangan kecil mengenai obrolan lelaki. tak ayal, sinyal koneksi agung yang dahsyat itu pun langsung menyeruak. namun, sadar akan tempatku sekarang, ku ajak agung untuk ketempat yang paling tidak membuat orang kurang nyaman akan keberadaan kami.
disebuah ruangan bawah di perpustakaan kuberanikan diri untuk mencari beberapa judul buku yang agak terbilang langka dan asing didengar kebanyakan mahasiswa. kendati sudah begitu jeli memerhatikan detil buku yang dipajang namun tetap tak kutemui identifikasi buku yang akan kucari tersebut. lantas, sebuah seruan kecil melintas ditelinga seraya memanggil dan seolah hendak memberikan sesuatu. ternyata, seorang ibu penjaga perpustakaan. ia menanyakan kepada kami mengenai buku apa yang tengah dicari. lantas kusebut saja buku " Hukum Konstitusi". padahal dalam nurani ini hanya sekedar melihat buku-buku asing nan langka. akan tetapi, kusambut baik respons sang penjaga perpustakaan dengan perbincangan syarat makna. sang ibu mengakui bahwa perpustakaan daerah memang memiliki koleksi buku yang minim untuk sekelas perpustakaan publik milik Sumatera Selatan."
hidup disebuah daerah terkaya nomor V di Indonesia tidak serta merta fasilitas buat publik dapat didapat dengan efisien. ironi memang, sekelas perpustakaan daerah yang seharusnya berkewajiban menyediakan segala bentuk kebutuhan publik demi mewujudkan visi negara dalam mencerdakan kehidupan bangsa. tak hanya itu, sang Ibu bahkan mengurai bentuk ketidak efektifan manajemen pusda. kerap kali ia menyampaikan bentuk kontemplasi perpustakaan agar dapat menjadi perpustakaan yang representatif dengan jumlah koleksi buku yang memadai. birokrasi yang sulit terpaksa membuat kebutuhan rakyat semakin terhimpit. rakyat butuh refrensi terpercaya dengan kualitas dan kuantitas buku yang aktual. karena dunia berkembang dengan sangat cepat, maka literatur mengenai kajian disiplin ilmu dalam ilngkup ilmiah tentulah harus diperbaharui. koleksi buku-buku pusda yang kini dimilki dapat dinilai adalah satu bentuk kemunduran peradaban. ketika dunia tengah mengalami pergulatan kemajuan teknologi dan informasi, rakyat Indonesia masih gamang dengan pembahasan lintas sejarah buku lama yang tak berkesudahan. koleksi buku-buku jadul hingga kini masih tertata rapi disetiap rak buku. yang berubah dari penampilan sibuku adalah tag name pusda lengkap dengan nomor elektronik yang dapat didata secara online melalui mesin pemindai yang canggih. meskipun sudah berganti cara manajerial pendataan buku, tetap saja namanya buku lama meskipun diperbaharui model tampilan fisiknya. esensi sebuah buku bukan terletak pada fisiknya akan tetapi isinya/substansinya. tak hanya sebatas dengan koleksi buku jadul. penderitaan warga Sumsel akan kebutuhan fasilitas publik yang edukatif semakin menghimpit lantaran rasio waktu yang disediakan untuk mengunjungi pusda sangatlah sedikit. selain itu, sindikasi pusda ke masyarakat pun semakin minim lantaran sosialisasi eksistensi pusda tak begitu hingar bingar. bila mau membandingkan tentulah kondisi yang saat ini terpampang dihadapan pembaca sangatlah jauh berbeda dengan kondisi perpustakaan milik negara tetangga. iri memang melihat warga negara lain kenyang akan pengetahuan ditengah lapar dan semakin miskinnya kadar ilmu yang dimiliki anak-anak bangsa.






0 comments: