Perpustakaanku.wordpress.com |
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas RI) kata dasar dari
perpustakaan adalah Pustaka. Secara etimologi, pustaka berartikan sebagai
sebuah kitab ataupun buku primbon (lihat http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php).
Sedangkan, kata perpustakaan adalah sebuah kata yang telah mengalamai revolusi
perkembangan kata dengan penambahan awalan per- dan –an. Secara
definitif, perpustakaan dapat diartikan sebagai tempat, gedung, ruang yg
disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, majalah, dan bahan
kepustakaan lainnya yg disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan.
Relevansinya dengan makna secara definitif yang diterbitkan oleh lembaga pusat
bahasa nasional tersebut, lebih sederhana perpustakaan dapat diorientasikan
sebagai tempat/pusat untuk meminjam buku. Apalagi, konteksnya mahasiswa
perpustakaan boleh jadi adalah surga bagi mereka yang haus akan ilmu. Betapa
tidak, saban hari perpustakaan disambangi demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Tak pelak, secara realistis dapat kita apresiasikan bahwa eksistensi
perpustakaan sudah sangat urgen bagi masyarakat kita. Terlebih, bagi mahasiswa.
Bahkan, evolusi perpustakaan tak hanya berwujud pada statisnya fasilitas yang
disediakan. Sekarang ini, demi mengakrabkan telinga masyarakat akan keberadaan
budaya membaca membuat pemerintah memberikan akses yang efisien bagi masyarakat
yang barangkali sulit untuk menyempatkan diri datang ke perpustakaan,
aksesivitas yang efisien tersebut diwujudkan dalam bentuk program Perpustakaan
Keliling.
Di
Universitas Sriwijaya, tercatat hampir puluhan perpustakaan dan taman baca yang
dapat dijadikan rujukan mahasiswa dalam menggali ilmu yang mereka tekuni.
Sebagai induk dari perpustakaan dan taman baca di Universitas Sriwijaya,
disediakanlah dua buah gedung khusus yang berlokasi di kampus Bukit Besar,
Palembang dan gedung yang berada di kampus Indralaya, Ogan Ilir. Hingga kini,
klaim pihak UPT Perpustakaan Unsri mencatatkan bahwa koleksi buku yang
disediakan di perpustakaan Unsri sejumlah 160.000 eksemplar.
Namun,
acapkali pertanyaan yang menyembul tatkala kita menyambangi perpustakaan
sekolah/universitas adalah berapa ‘rupiah’ yang mesti kita bayar ketika buku
yang kita pinjam terlambat dari tenggat waktu yang telah ditentukan.
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya mematok ‘harga’ sebesar Rp 2.500 untuk
satu hari dan satu buku yang terlambat dikembalikan sesuai waktu yang telah
ditentukan. Jadi, jangan heran jikalau ada mahasiswa yang secara spektakuler
merogoh kocek hingga puluhan ribu rupiah hanya demi membayar denda
ganti rugi akibat keterlambatan dirinya mengembalikan sesuai tenggat watu yang
ditentukan. Padahal, bila dihitung secara matematis harga dari buku yang
dipinjam acap kali jauh lebih murah dibandingkan dengan rasio denda yang
diterima. Lain lagi dengan perpustakaan Unsri kampus Indralaya, nilai fantastis
sejumlah ratusan ribu rupiah bahkan sudah cukup lumrah menghiasi buku catatan
denda UPT perpustakaan Unsri kampus Indralaya.
Hingga berita ini diturunkan, nominal sebesar Rp 390.000 adalah torehan
fantastis yang tertera dalam buku catatan denda UPT Unsri. Ironi, nominal
sebesar itu sangat tidak berbanding dengan harga buku normal yang dikembalikan.
Perlu, tinjauan ulang dari pihak UPT Unsri untuk merevisi kebijakan mereka
menetapkan sistem denda bagi mahasiswa yang meminjam buku terlambat dari
tenggat waktu yang ditetapkan.
Mengapa ? karena, sistem denda yang diterapkan saat ini sungguh tidak mendidik
perilaku dan iklim ber-pustaka ria mahasiswa di Universitas Sriwijaya. Tentu
saja, esensi perpustakaan yang menginginkan kuantitas pengunjung datang dengan
persentase yang besar akan direduksi sendiri oleh pihak UPT Universitas
Sriwijaya. Hal ini justru memunculkan sikap anti pati dan enggan para mahasiswa
untuk datang ke perpustakaan. Animo mereka untuk berduyun-duyun datang
menyambangi perpustakaan terhambat oleh arogansi pihak UPT dalam memberlakukan
sistem denda. Kebanyakan dari mereka yang datang ke perpustakaan hanya sekedar
untuk mengisi waktu luang dengan ber-online ria di beberapa net
corner yang disediakan oleh pihak stakeholder dari pihak swasta.
Memang benar, diberlakukannya sistem denda oleh pihak UPT Universitas Sriwijaya
ini untuk menindak tegas dengan cara yang lebih preventif oknum mahasiswa nakal
yang lambat mengmbalikan buku yang telah ditentukan. Tapi, yang menjadi
pertanyaan ialah apakah semua mahasiswa berperilaku sama ? yang jelas,
kebijakan ini sungguh sangat disayangkan oleh kalangan mahasiswa. Mereka
menganggap, arogansi pihak UPT Unsri dengan memberlakukan sistem denda membuat
aktifitas mereka ber-pustaka ria semakin direstriksi.
Seiring dengan besarnya nominal yang kerap dialami mahasiswa, hal tersebut
justru berbanding terbalik dengan fasilitas yang mereka terima. Terlebih
ditilik dari hal yang kecil semacam kenyamanan dalam menemukan/mencari
buku-buku yang dituju ternyata sangat sulit untuk didapati. Bahkan, ketidak
sinkronan validitas data yang terdapat dalam katalog online di UPT Unsri dan
kondisi di lapangan sangat mengganggu efektifitas aktifitas yang dilakoni
mahasiswa. Selain itu, kenyamanan dalam ber-pustaka juga menjadi kredit
tersendiri yang mesti diperhatikan pihak UPT Unsri. Kebebasan mahasiswa dalam
melakukan aktifitasnya di perpustakaan seringkali digunakan mahasiswa untuk
merokok dan berdiskusi. Tak pelak, disalih fungsional penggunaan perpustakaan
ini sungguh menggangu kenyamana ber-pustaka bagi mahasiswa lainnya.
Lantas, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi polemik yang terjadi
sekarang ini. Pemberlakuan sistem denda yang diterapkan di perpustakaan/taman
baca di Universitas Sriwijaya sudah cukup baik dalam rangka mengatasi atau
menindak tegas oknum mahasiswa nakal yang seringkali lambat mengembalikan buku
dari waktu yang telah ditentukan. Namun, pihak UPT Unsri mesti segera
mewacanakan revisi kebijakan sistem denda yang mereka tetapkan. Kenapa ? hal
tersebut untuk mengantisipasi nominal-nominal denda spektakuler lainnya jatuh
bergelimangan baik dedaunan yang jatuh dari rantingnya. Misalnya, dengan
membatasi ‘tarif’ denda tertinggi dengan patokan ‘tarif’ sebesar Rp 50.000 saja
seiring dengan berapapun rasio hari keterlambatan mengembalikan buku dari waktu
yang ditetapkan. Selain itu, perlu juga wacana khusus dari pihak UPT Unsri
untuk memberikan semacam reward/penghargaan bagi mahasiswa yang secara
teratur datang ke perpustakaan Unsri saban hari dan mengembalikan buku sesuai
dengan tanggal yang disediakan. Sehingga, hal ini memunculkan iklim ber-pustaka
ria yang lebih kondusif dan animo mahasiswa untuk datang ke perpustakaan akan
semakin meningkat. Jangan Cuma punishment/hukuman yang diterima
mahasiswa. Oase ditengah fatamorgana semacam itu akan mengambalikan keinginan
mahasiswa untuk datang ke perpustakaan. Selain itu, jikalaupun sistem denda ini
ditertibkan secara komprehensif juga harus diperhatikan keuntungan relatif
antara mahasiswa dan pihak UPT Unsri agar tidak ada yang dirugikan.
Revitalisasi sejumlah fasilitas perlu diperbaiki demi tercapainya kenyamanan
mahasiswa dalam berpustaka ria. Semisal, penyesuaian sinkronisasi validitas
data yang tertera di katalog online dan kenyataan dilapangan mesti segera
diperbaiki. Selain itu, pihak UPT Unsri juga mesti menindak tegas oknum
mahasiswa yang merokok disepanjang area terbuka di UPT Unsri. Karena, hal
tersebut sungguh mengganggu keberadaan mahasiswa lainnya dalam rangka
menjalankan aktifitasnya. Sehingga nantinya, perpustakaan Unsri ini bisa
kembali ke selayaknya sebuah perpustakaan yang nyaman dan kondusif. Karena,
perpustakaan Unsri adalah perpustakaan kita semua.
0 comments:
Posting Komentar