Konglomerat Media Bikin Jurnalis Melarat

on Minggu, 04 Desember 2011
Semenjak turunnya rezim Soeharto pada Mei 1998, perlahan tapi pasti pemerintah telah menatap keseriusan membangun sistem demokrasi yang lebih akomodatif. meretas jalan panjang menuju asa yang mulia itu ditandai dengan menghapus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
sudah menjadi rahasia umum, diterbitkannya regulasi SIUPP adalah satu bentuk mekanisme membatasi ruang gerak pers yang semakin direstriksi. kontrol pemerintah terhadap kebebasan pers semakin nyata dengan intervensi pemerintah yang dapat mencabut sewaktu-waktu perusahaan pers. pembredelan dapat saja dilakukan sewaktu-waktu bilamana terdapat ketidak sesuaian alur berpikir pemerintah dengan pers.
akan tetapi, ditengah-tengah 12 tahun euforia reformasi kebebasan pers kini dapat dikatakan lebih baik dan laik ketimbang rezim orde baru. pada tahun 2010 saja, Indonesia masih bertengger mendahului negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam indeks kebebasan pers (IKB). menurut data yang dirilis www.freedomhouse.org pemeringkatan IKB seluruh negara menempatkan Indonesia masih bertengger pada peringkat 107 dunia dengan meraih poin 52. angka ini cukup membawa Indonesia mendahului negara-negara Asean lainnya dalam hal kebebasan pers.
kendati demikian, bukan berarti kebebasan pers di Indonesia bukan tanpa masalah. pemaknaan kebebasan pers seringkali mengalami disorientasi makna perihal pewartaan yang dilakukan jurnalis. tak hanya itu, kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis kerap mewarnai percaturan si kuli tinta.
sebagai komparasi, implementasi sistem demokrasi yang lebih baik lewat kebebasan pers dapat dilihat dengan semakin menjamurnya media-media alternatif di Indonesia. pers mahasiswa kerap menjadi satu wahana alternatif publik dalam hal penyampaian informasi publik. meskipun media satu ini kerap terkendala masalah finansial lantaran berorientasi non profit. pers mahasiswa tumbuh bak jamur. hampir disetiap institusi perguruan tinggi, persma yang bertansformasi lewat UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) perlahan menamapakkan eksistensinya.
khas dengan balutan kritis ala mahasiswa membuat pers mahasiswa mendapatkan tempat tersendiri ditengah-tengah masyarakat. sterilnya berbagai macam kepentingan yang masuk didalamnya membuat media ini tetap fokus dalam ranah independensinya. kendati, bukan tidak mungkin masih saja ada unsur-unsur kepentingan golongan (Vested Interest) yang masuk dalam ranah pers mahasiswa.
hal inilah yang coba saya singkap betapa semangat ala pers mahasiswa seharusnya dapat menjadi cerminan pers konvensional (media mainstream). sangat kontraporduktif. persma yang non profit harus mendapat cambukan keras dari sang kakak yang kerap goyah dengan semangat independensinya. muaranya bermula pada kepemilikan media yang terpusat. pusaran media di Indonesia yang sentralistik membuat kinerja wartawan semakin sulit. masuknya pusaran media di Indonesia ke ranah politik kerap menjual independensi pers yang mendapatkan "titipan". tak hanya itu wacana industrialisasi media semakin mereduksi prinsip kerja pers yang dipaparkan Bill Kovach berupa 9+1 elemen jurnalistik. Aliansi Jurnalis Independen bahkan merilis Annual Report tahunan yang menyebutkan pertumbuhan dan laju kepemilikan media yang terpusat merundung banyak masalah. tak hanya itu, wacana industrialisasi media kerap memunculkan adagium baru yakni "wartawan amplop". kualitas jurnalistik yang khas dengan kritik sosialnya berubah menjadi berita advertorial ala politis yang semakin menunjukan pancaran pencitraan politisi. porsi berita dan iklan pun kini relatif seimbang. padahal, karya jurnalistik lewat berita merupakan hal yang utama. sebagai contoh konkrit, KKG  adalah bentuk industrialisasi media yang berhasil dengan komersialisasi melimpah ruah. pada tahun 2001 saja lewat Annual Report AJI 2004 total omset KKG mencapai Rp 1,05 Triliyun. bayangkan, berapa banyak percikan rupiah yang mampir kekantong Jakob Oetama pada 2011 ini.
kepemilikan media yang sentralistik dan syarat kepentingan berimplikasi pada kualitas karya jurnalistik yang disodorkan jurnalis kepada pembaca. dapat anda bayangkan ketika Dodi Reza yang merupakan anak kandung gubernur Sumsel Alex Noerdin melakukan pencalonan kepala daerah Bupati Musi Banyuasin, HU Berita Pagi yang dinakhodainya menjadi sarana ekspos jitu bagi pencalonannya. sebelumnya, sang ayah telah mendahului strategi politik dengan menguasai media pada pilgub 2008 yang berhasil ia menangkan pasca mengalahkan Syahrial Oesman. ekspos negatif kepada calon lawan politik kerap menghiasi halaman per halaman koran yang berdiri pada awal 2000-an tersebut. Pun, dengan Surya Paloh setali tiga uang. tak tanggung-tanggung sebuah stasiun televisi dan koran harian ia dirikan. betapa rakyat disuguhi berita-berita superioritas Surya Paloh. indikasinya adalah pencalonan sebagai wakil Golkar dalam pencalonan Presiden pada 2004. kendati akhirnya Jend. (purn) Wiranto yang memenagkan persaingan tersebut, kini Surya Paloh tengah merintis jalan baru menuju Indonesia Satu lewat Partai Nasional Demokrat. kendati telah berganti baju, strategi politik dengan menguasai media menjadi jurus yang jitu. tak ketinggalan, konglomerat media lain digandeng demi hasrat politik menuju hirarki tertinggi. CEO MNC Grup, Harry Tanoesodibjo bahkan kepincut bergabung bersama Surya Paloh.
terang saja, keberadaan konglomerat media dapat membuat jurnalis semakin melarat. lain halnya bila jurnalis tersebut hanya sekedar wartawan amplop atau wartawan titipan yang mendapat job liputan agenda poltisi. rakyat terpaksa dibohongi dengan agenda politik politisi yang syarat pencitraan. karya jurnalistik yang bermutu semakin miskin lantaran wartawan yang menjunjung idealisme profesi semakin dipersempit ruang geraknya. bukankah hak setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ? bila kasus demikian, akan banyak jurnalis menanggur bergelimpangan bak deburan ombak yang menghantam kerasnya batu. ironi memang, jurnalis berada pada persismpangan jalan yang dilematis. disatu sisi kebutuhan keluarga semakin sulit ditambah lagi dengan komitmen profesi yang tetap dijunjung tinggi. konglomerat media dapat membuat jurnalis melarat.

0 comments: